NASIB Rajiv Gandhi sudah ditentukan, oleh ramalan. Sri Anand, peramal India terkenal yang baru saja mendapat hadiah dari Hakim Agung New Delhi, menebak Partai Kongres -- partainya Rajiv -- tak akan menang mutlak. India akan dipimpin oleh koalisi, dan "Pemerintahan koalisi kali ini hanya berumur 32 bulan. India akan secara bergantian dipimpin oleh Rajiv Gandhi dan Vishwanath Pratap Singh," ujar Sri Anand. Tentu saja, di negeri yang mampu membuat bom atom sendiri ini terasa aneh bila orang bersandar pada ramalan. Tapi, menjelang pemilu Rabu, Jumat, dan Minggu pekan ini, analisa para pengamat politik India tak jauh berbeda dengan kata peramal: kemenangan Rajiv yang mutlak 5 tahun lalu tak akan terulang kini. Benar, Rajiv yang tampan itu berkali-kali dalam kampanye menjamin, "India akan aman sentosa tanpa kerusuhan etnis dan agama, bila saya terpilih kembali." Tapi lawan politiknya, Vishwanath Pratap Singh, yang tampak serius dengan kaca mata tebal dan rambutnya yang tipis, adalah orang yang lagi populer. Banyak kritik terhadap cucu Mahatma Gandhi itu. Antara lain, Rajiv, 45 tahun, seorang bekas pilot, dinilai bergaya bak seorang raja yang hidup dalam dunia tertutup. Ia melihat dunia politik dari balik kaca mata riben seorang pilot yang naif. Ia melihat India hanya lewat "para teknokrat, dan pengusaha muda kaya", yang tentu saja kurang lengkap. Hobinya pun jauh dari mencerminkan seorang pemimpin yang separuh dari 820 juta rakyatnya ternyata masih buta huruf. Yakni, naik mobil balap mentereng, menghadiri upacara yang glamor, berlibur. Dan, konon, ia suka sekali duduk berjam-jam di depan komputer untuk menganalisa masa depan politik pemerintahannya. Pekan lalu, Rajiv menggunakan helikopter dan pesawat kenegaraan berkampanye ke daerah-daerah terpencil. Dengan seuntai kalung emas berkilat yang tersembunyi di balik baju kurta warna putih bersih, ia tampak glamor. Tatkala sejumlah orang menuduh para pembantu dan keluarganya terlibat skandal penyuapan pabrik senjata Swedia Bofors senilai US$ 1,3 milyar, Rajiv agak kewalahan. "Saya tak suka Rajiv. Ia semula dianggap sebagai Mr. Clean, tapi ternyata sama korupnya dengan yang lain," ujar Elizabeth Verghese, seorang warga India dari golongan menengah, kepada TEMPO. Sementara itu, Vishwanath Pratap Singh, 58 tahun, pemimpin koalisi 6 partai oposisi yang bernaung di bawah bendera Front Nasional, memanfaatkan situasi itu. Dalam setiap kesempatan, para juru kampanye oposisi memasang gambar "Senjata Bofors" berukuran besar di panggung kampanye. Perjalanan politik Singh memang menguntungkan penampilannya kali ini. Pada 1980 ia dipilih mengetuai dewan menteri Negara Bagian Uttar Prades oleh Indira Gandhi. Dua tahun kemudian ia mengundurkan diri karena merasa gagal melaksanakan program anti-kejahatan. Di India, dialah pejabat pertama yang mundur karena merasa gagal. Mudah ditebak, namanya segera populer. Ketika Rajiv Gandhi terpilih sebagai perdana menteri, 1984, ia dijuluki "Tuan yang Bersih". Dan ketika Singh terpilih sebagai menteri keuangan, ia disebut "Tuan yang Lebih Bersih." Dan Singh tak menyia-nyiakan sebutan itu. Pada 1986 ia membuat gebrakan yang mengguncangkan dunia usaha India: penelitian pembayaran pajak. Masyarakat, pertama-tama, menanggapinya dengan sinis. Itulah cara pemerintah menekan pengusaha yang oposan. Mereka yang dekat dengan New Delhi pasti terbebas dari penelitian. Tapi tidak. Reliance Industri Corp., konglomerat yang disebut-sebut dekat dengan Rajiv, diusut pembayaran pajaknya. Tak tanggung-tanggung, Departemen Keuangan minta tolong agen detektif Amerika untuk mengusutnya. Tapi, begitu soal ini menjadi berita di media massa, segera Rajiv Gandhi menggeser Singh menjadi menteri pertahanan. Singh, yang mengaku bukan dia yang menyewa detektif dari Amerika itu, di tempatnya yang baru menemukan pula skandal suap -- itu tadi, penyuapan pabrik senjata Swedia terhadap sejumlah pembantu dekat Rajiv. Pada 11 April 1987 Singh mengundurkan diri, dan sejak itu ia menjadi musuh besar bekas bosnya. Di kertas, Singh, yang mengaku lebih cocok menjadi penyair atau pelukis, memang lebih besar kemungkinan memenangkan pemilu memilih anggota majelis rendah ini. Cuma saja, pertentangan agama Islam dan Hindu yang merugikan citra kepemimpinan Rajiv ternyata juga merugikan Singh. Kerusuhan yang sedikitnya makan korban 600 orang tewas, di kawasan timur laut India, dua bulan lalu itu, mendatangkan kecaman dari PM Pakistan Benazir Bhutto dan para pemimpin Arab terhadap Rajiv. Juga pemimpin tertinggi dari 100 juta orang muslim India, Syekh Abdullah Bukhari, menyalahkan Pemerintah India, yang mengizinkan pihak Hindu membangun sebuah pura di dalam wilayah Masjid Babri di Kota Ayodhya. "Pemerintahan Rajiv telah menciptakan neraka bagi rakyatnya," ujar Bukhari berapi-api dalam khotbahnya Jumat pekan lalu. Bukhari meminta kepada seluruh rakyat India -- tak hanya yang muslim -- agar memilih wakil-wakil oposisi dan mencalonkan V.P. Singh sebagai calon PM. Tapi, karena kerusuhan itu, Singh -- pemimpin Partai Janata Dal -- menolak bekerja sama dengan Partai Bharatiya Janata yang nasionalis, yang mendukung Hindu radikal yang hendak mendirikan kuil di Ayodhya itu. Ini menjadikan banyak orang menyangsikan kemampuannya menyatukan rakyat India yang terdiri dari banyak suku. Sementara itu, ada pula isu yang menguntungkan Rajiv. "Rajiv masih kuat, karena ia membangun pabrik, membuat sarana telepon dan alat elektronik lainnya, serta jalan-jalan yang mulus," ujar Rajinder Singh, seorang pegawai negeri. Rajiv pun dipuji telah menjalankan politik luar negeri dengan tepat, ketika secara dramatis meningkatkan hubungan dengan Pakistan dan Cina. Sebaliknya Singh dinilai tak punya pengalaman dalam politik luar negeri. Tampaknya rakyat India dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bisa jadi, peramal itu benar: jalan terbaik bagi India adalah membentuk pemerintahan koalisi, seperti yang pernah terjadi pada 1977-1980. Tapi mungkinkah Rajiv yang dianggap tak bersih lagi bekerja sama dengan Singh? Richard S. Ehrlich (New Delhi) dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini