Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cory, moro, dan honasan

Pemerintah filipina mengadakan plebisit. mayoritas warga mindanao tak setuju pembentukan daerah otono mi muslim. oposisi meminta cory aquino mundur. kolonel honasan siap melakukan kudeta lagi.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pemungutan suara Ahad pekan lalu, adalah sejumlah teror. Gerilyawan Moro yang tergabung dalam Muslim Moro National Liberation Front (MNLF) melakukan gerakan mendadak di Mindanao. Puluhan kotak pemilu disandera dan dicat dengan tulisan besar-besar: "Boikot Pemilu". Kantor pusat Comelec, panitia pemungutan suara, di Manila dibom. "Mereka pun memblokade jalan besar menuju Kota Buldon, Matanog, Barira, dan Kabuntalan, untuk mencegah panitia Comelec agar tak masuk Mindanao," tutur Brigjen. Gumersindo Yap, komandan daerah militer Mindanao. Sebuah keluarga, terdiri 5 jiwa, dilempari granat di Zamboanga. Dua warga Austria yang bekerja di National Power Corporation tertembak mati tatkala gerilyawan MNLF menyerang pusat listrik di Kota Marawi. Maka, jumlah kertas suara di 8 provinsi dihitung dalam gelap. Hasilnya, 9 dari 13 provinsi di kawasan selatan Filipina itu menyatakan "tidak setuju pembentukan daerah otonomi Muslim Mindanao". Hasil itu dikumpulkan setelah 5 juta lebih pemilih dari 8 juta penduduk yang ikut pemilu kali ini mencoblos secarik kertas plebisit yang ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab. Kelompok Moro sejak semula memang menentang plebisit ini. Dengan kekuatan sekitar 12 ribu personel bersenjata lengkap, mereka memang bermaksud menggagalkan plebisit. "Hasil referendum itu menunjukkan bahwa kitalah yang menang," tutur Zain Jali. Juru bicara MNLF ini menyebutkan bahwa rencana otonomi Cory Aquino hanya membuat "kami seperti boneka yang dikendalikan dari Malacanang." Pemimpin MNLF Nur Misuari memang menganjurkan agar anak buahnya tak menghormati lagi gencatan senjata yang ditandatangani bersama Presiden Aquino pada 1968. Wali Kota Marawi menilai, "UU Otonomi itu tak memenuhi tuntutan orang-orang Islam di Mindanao," katanya kepada TEMPO Ahad pekan lalu. Penolakan akta yang bertujuan menjadikan wilayah Mindanao -- terdiri atas 13 provinsi dan 8 daerah khusus -- sebagai satu provinsi baru bernama Mindanao Muslim itu agaknya tak terlepas dari berbagai kelemahan mendasar yang terdapat di dalam akta itu sendiri. Ali Dimaporo, anggota kongres dari Lanao del Sur, Mindanao, menyebutkan bahwa akta itu sebenarnya dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Tapi kenyataannya tak dapat diterima oleh kaum Kristen, karena "khawatir kelompok minoritas muslim akan memerintah mereka," ujarnya. Bagi 5 provinsi yang lain, yang menjadi basis Islam, UU itu jelas bermanfaat karena mereka diberi hak penuh untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur dan pejabat tinggi daerahnya. Selain itu, mereka diberi hak mengelola bermacam perpajakan, ditambah bantuan 10 milyar peso (US$ 450 juta lebih), dalam 5 tahun mendatang. Otonomi lain yang diberikan termasuk pengelolaan tanah dan sumber alam, penerapan hukum yang menyangkut hak milik, warisan, perkawinan, dan hukum Syariah lainnya. Sementara masalah pendidikan, perencanaan dan administrasi kota dan pembangunan sektor ekonomi juga diserahkan pemda setempat. Tapi, bagi daerah yang mayoritasnya Katolik, akta yang bertujuan untuk meredakan pemberontakan Moro itu tidak mudah diterima. Masalahnya adalah akta baru ini disusun berdasarkan sejarah. Yakni bahwa 5 juta orang (kurang dari 10% penduduk Mindanao yang 65 juta) merasa bahwa Mindanao adalah warisan moyang mereka. Maka, akta memberikan hak bagi minoritas muslim mendirikan pemerintahan otonom. Tapi, kenyataan bahwa warga Kristen Mindanao yang kini berjumlah 60 juta tentulah merupakan persoalan yang tak mudah. "Pemerintahan Cory sudah salah langkah," ujar Homobono Adaza, seorang politikus dari oposisi. Jadi, apakah artinya plebisit di Ahad pekan lalu itu? "Ini menunjukkan Pemerintah Filipina telah gagal. Mereka terpaksa berunding dengan kami lagi," ujar Abdul Azis Lomondot, dari bagian politik MNLF, kepada TEMPO. Tapi dari Manila Presiden Cory Aquino Senin pekan ini menyatakan tak akan berunding dengan kelompok Moro, terutama bila hanya karena mereka memaksakan perundingan. Plebisit sudah dilaksanakan, dan pemerintah akan menjalankan hasilnya, katanya. Mungkin Cory tahu bahwa MNLF sendiri terancam perpecahan. Kelompok Nur Misuari tampaknya harus bertanding dengan rivalnya dari Sulu dan Tawi-Tawi serta kelompok Maranao dari Lanao del Sur. Meski pemimpin Moro ini merasa di atas angin, antara lain karena dukungan oleh 46 anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI). Segera suara oposisi menilai Cory tak lagi pantas jadi presiden. "Sudah waktunya Cory turun, bila ia tak ingin Filipina retak," kata Senator Juan Ponce Enrile, bekas Menhankam. Suara yang lebih keras muncul dari Kolonel Gregorio Gringo Honasan dari persembunyiannya. Dia bersama militer, katanya, siap melakukan kudeta lagi, yang mungkin sangat berdarah. Tapi Cory tenang-tenang saja. Ia dan para komandan tentaranya menganggap ancaman Honasan omong kosong. Kolonel itu cuma punya sedikit pengikut. Dan kata Cory: "Jika ia benar-benar seorang patriot, mestinya ia menghentikan ulahnya yang cuma bikin rakyat menderita." Yuli Ismartono (Manila) dan Didi Prambadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus