Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paus adalah jabatan seumur hidup: Yohanes Paulus II tak goyah meyakini hal ini, walau penyakit parkinson yang ia idap sejak awal 1986 menggerus habis keperkasaan fisiknya. Pada 1994, isu "meminta Paus mundur" sempat muncul. Paus meyakinkan para pembantunya bahwa beban fisik itu adalah salib yang akan ia pikul dalam memimpin Gereja Katolik. "Saya harus memimpin dengan derita," ujarnya ketika itu.
Penderitaan karena penyakit memang menjadi bagian dari kisah pelayanan Paus Yohanes Paulus II selama hampir dua dekade terakhir. Dan bulan lalu, pemimpin Gereja Katolik itu dua kali dirawat di Rumah Sakit Gemelli, Roma, serta menjalani operasi batang leher (tracheotomy). Maka, isu "siapa yang kelak menggantikan Paus" tiba-tiba ramai kembali. "Manakala kesehatan Paus memburuk, amatlah tidak bertanggung jawab jika kita tak mau memikirkan siapa penggantinya," ujar Kardinal AS, Francis George, 68 tahun, satu dari 120 kardinal yang berhak memilih, sekaligus papabili (bisa dicalonkan sebagai Paus).
Nama-nama kardinal pun mulai ramai masuk bursa. Di antaranya ada enam kandidat yang disebutkan paling berpeluang mewarisi Takhta Suci. Inilah profil singkat mereka.
Joseph Ratzinger 77 tahun Kelahiran Jerman, Ratzinger pernah menjadi uskup agung di Munich. Tokoh konservatif ini dijuluki "kardinal panser" karena ia sering memojokkan para pemikir liberal dalam Gereja Katolik. Para pengkritiknya menyebutnya "pengawet Gereja Katolik di abad pertengahan". Ratzinger dekat dengan Paus dan amat berkuasa di Vatikan.
Francis Arinze 72 tahun Teman dekat Yohanes Paulus II ini adalah seorang kardinal dari Nigeria. Dia memainkan peran penting dalam meningkatkan dialog antara Vatikan dan kelompok Islam, Buddha, dan Hindu. Orientasi teologinya yang konservatif sejalan dengan keyakinan Vatikan pada saat ini. Tahun lalu ia menjadi berita ketika, dalam sebuah konferensi pers di Roma, ia meminta para politisi yang mendukung aborsi agar tidak menerima komuni.
Dionigi Tettamanzi 70 tahun Uskup Agung Milan ini amat dijagokan umat Katolik di Italia. Dikenal moderat, ia kerap menjadi penengah bagi kelompok liberal dan konservatif di Gereja. Dia punya perhatian khusus pada globalisasi. Menurut Tettamanzi, jika tidak dikawal, globalisasi bisa menjadi "bentuk baru penjajahan oleh yang kuat terhadap yang lemah, yang kaya terhadap yang miskin".
Godfried Danneels 71 tahun Uskup Agung Brussels dan Mechelen, Austria, adalah satu dari sedikit tokoh moderat di jajaran petinggi Gereja Katolik. Dia, misalnya, mendukung penggunaan kondom bagi pengidap HIV (human immunodeficiency virus)hal yang bertentangan dengan sikap Yohanes Paulus II. Lima tahun lalu Danneels mengejutkan Vatikan karena mengusulkan agar pemerintahan paus tak perlu seumur hidup dan sebaiknya diberi batas waktu.
Oscar Andres Rodriquez Maradiaga 63 tahun Maradiaga termasuk "golongan muda" di jajaran kardinal. Diangkat menjadi kardinal pada Februari 2001, Uskup Agung Tegucigalpa, Honduras, ini tergolong konservatif. Dia dikenal amat menentang gagasan pastor wanita dan menentang tuntutan yang berlebihan untuk mengubah tradisi dan doktrin Gereja. "Ada hal-hal dalam Gereja yang harus berubah. Tapi ada yang tidak boleh, termasuk pastor wanita," ujarnya.
Christoph Schoenborn 60 tahun Schoenborn merupakan ahli teologi yang dihormati. Uskup Agung Wina, Austria, kelahiran Chekoslowakia, ini dipercaya Yohanes Paulus II meramu katekisme (metode pengajaran agama) baru Gereja. Dia adalah tokoh yang gigih mengimbau gereja-gereja, terutama di kota besar, agar buka 24 jam. "Membiarkan pintu gereja terbuka sehingga menjadi tempat berdoa yang tenang memungkinkan hadirnya pengalaman iman yang luar biasa," kata Schoenborn.
Philipus Parera (Newsweek/BBC/CWNews.com/NYT/Dailycatholic.org )
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo