Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Song, perempuan pendiri situs pornografi Soranet, akhirnya divonis empat tahun penjara karena membantu dan bersekongkol dalam menyebarluaskan materi cabul di Internet. Pertengahan Januari lalu, Pengadilan Distrik Pusat Seoul, Korea Selatan, juga menjatuhkan denda 1,4 miliar won atau sekitar Rp 17,7 miliar kepada perempuan 46 tahun tersebut. Selain itu, Song diwajibkan mengikuti sesi pendidikan pencegahan kekerasan seksual selama 80 jam.
Bersama suami dan dua orang lainnya, Song mengelola situs berbagi video terbesar di Korea itu sejak September 1999 sampai Maret 2016. Soranet punya sejuta lebih anggota dan berisi puluhan ribu video porno ilegal, termasuk rekaman dari kamera tersembunyi yang merebak di negeri itu belakangan ini.
“Melampaui konsep dasar pornografi, situs itu telah melanggar dan menyesatkan nilai-nilai dan kehormatan anak-anak dan pemuda, juga manusia pada umumnya,” kata hakim dalam putusannya, seperti dikutip Korea Herald. “Sukar untuk mengukur seberapa besar kerusakan yang diakibatkan oleh situs itu terhadap masyarakat, baik yang tampak maupun tidak.”
Song membantah sebagai pendiri situs itu. Dia mengklaim situs itu didirikan oleh suaminya dan dua orang lain yang kini masih buron di luar negeri. Ketika polisi mulai memburu pengelola Soranet, Song melarikan diri ke Selandia Baru pada 2015. Namun ia terpaksa pulang ke Korea Selatan ketika paspornya dicabut.
Soranet ditutup pada Maret 2016 setelah polisi Korea bekerja sama dengan Investigasi Keamanan Dalam Negeri (HSI) Amerika Serikat. Server Soranet selalu berpindah-pindah selama bertahun-tahun, termasuk ke Amerika. Servernya akhirnya disita di Belanda dan admin pengelolanya ditahan di Korea Selatan dan Selandia Baru oleh polisi Korea.
Menurut The Verge, HSI sebetulnya hanya berwenang menyelidiki kejahatan lintas perbatasan, dari pencucian uang hingga perdagangan manusia dan penyelundupan senjata. Dalam kasus Soranet, HSI mengeluarkan “panggilan bea-cukai”, surat perintah pemanggilan yang aslinya ditujukan untuk, misalnya, menyelidiki kasus impor ilegal. Dengan surat itu, HIS dapat meminta informasi tentang Soranet dari Google, Yahoo!, dan Microsoft. Dari informasi itulah pengelola Soranet dapat dilacak dan akhirnya ditangkap.
Sora—sebutan untuk pendiri Soranet yang anonim—mengklaim bahwa mengakses materi erotis adalah hak demokratis. Dalam wawancara dengan situs Korea, Ilyo, pada 2000, dia mengaku ingin membangun platform tempat para anggotanya tak hanya bertukar materi cabul, tapi juga mengkritik budaya konservatif dan pemerintah Korea yang memantau ekspresi di Internet dengan ketat. Soranet mengklaim bahwa mereka akan menghapus foto yang diunggah tanpa izin pemiliknya atau subyek di foto itu. Namun, pada kenyataannya, upaya pemblokiran itu tak efektif.
Dalam perkembangannya, Soranet menjadi tempat yang subur untuk menyebarluaskan gambar dan video ilegal yang di-peroleh pengguna dengan merekam para perempuan di tempat umum, seperti toilet, kamar mandi, kamar hotel, dan ruang kelas, dengan kamera tersembunyi. Video dan gambar ini populer disebut sebagai molka.
Potongan video milik kepolisian Korea Selatan dalam kampanye menentang penggunaan kamera tersembunyi untuk tujuan pornografi./KEPOLISIAN KOREA SELATAN
Polisi mencatat, laporan tentang kejahatan dengan kamera tersembunyi ini melonjak, dari sekitar 1.100 penahanan pada 2010 menjadi lebih dari 6.600 pada 2014. Kebanyakan adalah video yang dibagikan atau dijual online. Menurut statistik resmi kepolisian, dari 16.201 pelaku yang ditahan selama 2012-2017, sekitar 98 persen adalah lelaki, dari guru dan profesor hingga pastor dan polisi. Adapun korbannya kebanyakan perempuan, sekitar 80 persen dari 26 ribu kasus.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengakui bahwa molka telah menjadi “bagian dari kehidupan sehari-hari” orang Korea. Dia meminta hakim menjatuhkan hukuman yang lebih keras kepada para pelaku. “Kami harus memastikan bahwa para pelaku lebih menderita daripada kerusakan akibat perbuatannya,” kata Moon dalam rapat kabinet, awal Oktober 2018.
Pemerintah berencana menganggarkan sekitar Rp 63 miliar untuk melengkapi pemerintah daerah dengan lebih banyak kamera pengawas. Peralatan itu untuk mendeteksi dan memperkuat inspeksi kamar mandi di tempat umum dan bangunan-bangunan swasta. Juga ada rencana memperluas inspeksi ke sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Di bawah hukum Korea, membuat foto atau video adegan seksual yang intim tanpa persetujuan diancam dengan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda hingga sekitar Rp 184 juta. Menyebarluaskannya untuk tujuan memperoleh keuntungan dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara atau denda Rp 558 juta.
Namun sejumlah aktivis menuduh penegakan hukumnya masih lemah. Banyak pelaku hanya diperintahkan membayar denda secukupnya dan dalam sejumlah kasus malah tidak dihukum.
Han—nama samaran—adalah salah satu korban molka yang bekerja di sebuah perusahaan. Dia mengaku terteror ketika tahu ia telah direkam secara diam-diam oleh wakil direktur perusahaan itu. Dia menemui sang tersangka, yang mengaku memang telah memasang kamera tersembunyi tapi membantah menonton rekaman karena kamera itu cuma dinyalakan sehari. Tapi Han kemudian menemukan ratusan video dan foto dia serta perempuan lain telah lama disimpan si pelaku.
Han mengadu ke polisi, yang pada mulanya mencoba menolak laporannya. Sang wakil direktur, koleganya selama lima tahun, menjelaskan kepada polisi bahwa dia jatuh cinta kepada Han dan mengeluh tak lagi bisa berhubungan intim dengan istrinya yang sedang hamil besar. “Polisi percaya semua yang dia katakan,” ucap Han kepada The Guardian. Dia kemudian keluar dari perusahaan itu dan sang pelaku didenda sekitar Rp 6,3 juta.
Polisi membantah tuduhan bahwa mereka gagal menangani pengaduan para perempuan itu. Mereka mengaku kesulitan membuktikan dugaan itu yang kadang berdasarkan gambar-gambar yang tak menunjukkan wajah korban.
Kasus-kasus semacam ini akhirnya berujung pada demonstrasi besar berkali-kali di Seoul, sejak Mei tahun lalu. Puluhan ribu perempuan turun ke jalan memprotes pornografi kamera tersembunyi. Aksi ini berjalin dengan gerakan #MeToo di negeri itu, yang dimulai pada Januari 2018.
Menurut polisi, sekitar 18 ribu perempuan berunjuk rasa pada awal Oktober 2018 di Seoul. Mereka menuntut pemerintah menyelidiki lebih serius dan menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada para pelaku. Kebanyakan demonstran menutupi wajah mereka dengan topi, kacamata, dan topeng sesuai dengan instruksi panitia. Mereka umumnya berkaus merah dengan tulisan “Perempuan marah akan mengubah dunia”.
“Ayo berjuang sampai benih terakhir film ilegal mati!” teriak seorang demonstran melalui pelantang, seperti dilaporkan media Selandia Baru, Stuff. “Ini pesanku kepada para lelaki: aku bukan obyek berahi seksmu! Aku warga negara peringkat pertama, sama seperti kamu!”
Pemerintah kemudian menanggapinya dengan melakukan pencegahan, seperti mengecek secara rutin puluhan ribu toilet umum dan menginspeksi gedung-gedung publik.
Wee Eun-jin, ketua komisi Lawyers for a Democratic Society, lembaga yang mewakili para korban molka, mengatakan hukum yang berlaku sekarang hanya sedikit membantu para korban. “Ada kasus-kasus yang tak bisa ditindaklanjuti karena rekaman itu berisi kaki atau pantat tertutup dan hakim percaya bahwa hal semacam ini tak menimbulkan perasaan terhina,” ujarnya kepada The Guardian.
Para korban, kata Wee, hidup dalam ketakutan terus-menerus. Namun dia sering menasihati mereka agar tidak membawa kasus ini ke pengadilan karena ia tahu hasilnya tak seperti yang mereka harapkan.
IWAN KURNIAWAN (KOREA HERALD, THE VERGE, ILYO, THE GUARDIAN, STUFF)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo