Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa di pusat repatriasi bagi migran di Roma, Italia, berubah menjadi kerusuhan yang menyebabkan 14 orang ditahan dengan tuduhan melukai petugas, demikian menurut keterangan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dikutip dari Anadolu, Selasa 6 Februari 2024, para migran mulai mengadakan protes pada Minggu pagi setelah seorang pria berusia 21 tahun asal Guinea ditemukan tewas gantung diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi Italia mengatakan, para migran membakar kasur dan sebuah mobil, merusak perabot di kantor repatriasi dan kemudian terlibat bentrokan dengan polisi, melukai tiga petugas yang berusaha mengatasi unjuk rasa.
Menurut otoritas setempat, mereka terpaksa menggunakan gas air mata karena unjuk rasa berubah menjadi aksi kekerasan sehingga meminta tambahan petugas keamanan untuk mencegah migran yang berusaha melarikan diri.
Situasi baru terkendali sekitar Minggu malam pukul 22.00 waktu setempat. Para migran tersebut berasal dari Maroko, Pakistan, Kuba, Chile, Senegal, Tunisia, Nigeria dan Gambia. Para migran dari negara-negara tersebut tidak mempunyai hak otomatis untuk mendapatkan suaka di Italia.
Mereka ditampung di pusat penahanan sambil menjalani prosedur untuk identifikasi sebelum dipulangkan ke negara asal.
Prosedur-prosedur tersebut seringkali memakan waktu lama karena kesulitan dalam mengidentifikasi migran yang tidak memiliki dokumen, atau karena tidak adanya perjanjian repatriasi dengan negara asal mereka.
Banyak organisasi nonpemerintah dan politisi mengeluhkan kondisi beberapa pusat tersebut.
"Ia merasa putus asa dan menggantung diri di dinding, meninggalkan catatan yang menyatakan bahwa ia tidak sanggup lagi bertahan, berharap jasadnya bisa dibawa kembali ke Afrika, di mana jiwanya bisa beristirahat dengan tenang," kata Riccardo Magi, seorang pengacara dari Partai More Europe, mengomentari kejadian pria yang bunuh diri tersebut.
Magi menambahkan bahwa “tempat repatriasi tersebut ibarat lubang hitam dalam penerapan hukum dan neraka dari sudut pandang mana pun. Tempat tersebut harus ditutup.”
Sementara itu Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang berkuasa sejak 2022 dan bertekad untuk menindak imigrasi ilegal, telah meminta solidaritas dari sesama negara Uni Eropa untuk membantunya menangani puluhan ribu migran yang datang setiap tahun.
Pilihan Editor: 61 Migran Tenggelam di Laut Mediterania
THE NEW YORK POST | ANADOLU