BERMIMPIKAH Samantha Smith? Tidak. Sambutan "permadani merah" di
bandar udara Moskow memang ditujukan untuknya. Setelah itu
sebuah sedan limousine hitam yang dikawal polisi membawa
Samantha dan rangtuanya ke hotel. Puncak acara pada Jumat pekan
silam itu ialah tanya jawab santai dengan sekelompok wartawan.
"Samantha diperlakukan tak ubahnya tokoh mahapenting," tulis
International Herad Tribune.
Siapakah wanita yang tiba-tiba menjadi pembicaraan orang banyak
itu? Samantha, 11 tahun, berambut hitam dan bermata redup,
berasal dari negara bagian Maine, Amerika Serikat. Ia pada suatu
hari di bulan April silam, menulis surat kepada Presiden Uni
Soviet Yuri Andropov. Dan bertanya mengapa Soviet ingin
menyerang AS? Surat pertama yang dialamatkannya ke Kedutaan
Besar Uni Soviet di Washington itu tidak beroleh jawaban. Lalu
Samantha menulis surat kedua. Setelah surat itu disampaikan dan
dibaca Andropov, ia tergugah. Atau barangkali juga ia bermaksud
lain. Yang pasti pemimpin tertinggi Uni Soviet tersebut langsung
mengundang gadis cinta damai itu ke Rusia.
Kunjungan Samantha di Uni Soviet direncanakan dua pekan. Sesudah
dua hari di Moskow, dia dan kedua orangtuanya berkunjung ke
sebuah gelanggang perkemahan musim panas anak-anak pejabat di
tepi Laut Hitam. Dalam acara perpisahan di Yalta, Samantha
meneriakkan, "I love you" kepada 400 anak yang mengelu-elukannya
di sana.
Di Leningrad, kota tua yang anggun, Samantha mengunjungi makam
pahlawan, Institut Smolny, markas Lenin waktu menggerakkan
Revolusi Oktober, dan reruntuhan kapal perang Aurora. Dia juga
menerima telepon dari kosmonaut wanita pertama di dunia,
Valentine Tereshkova.
Sambutan hangat buat Samantha bukan tak mengundang curiga di AS.
Bekas duta besar AS di Moskow, Malcolm Toon, menuduh Soviet
mengeksploitasi Samantha dengan maksud menampilkan negara itu
sendiri sebagai pemrakarsa perdamaian dunia. "Moskow ingin
menunjukkan pada dunia betapa berminatnya mereka pada
perdamaian. Dan jika damai tidak tercapai, maka itu bukan salah
mereka," tuduh Toon.
Kunjungan Samantha ke Uni Soviet agaknya perlu dilihat sebagai
cermin dari sikap Moskow yang sukar ditebak -- khususnya dalam
hal perlucutan nuklir. Ketika Samantha disambut meriah, utusan
Soviet ke perundingan perlucutan senjata nuklir di Jenewa justru
ditantang mahasiswa Jerman. Para mahasiswa itu menyeberangi
Swiss khusus buat melancarkan protes, karena perundingan
perlucutan nuklir di negeri itu belum juga membuahkan hasil
konkret.
Pejabat Amerika di Washington mengungkapkan sebuah usul baru
Soviet yang menetapkan jumlah 1.100 rudal berkepala nuklir
banyak untuk kedua pihak: AS dan Soviet. Dalam jumlah ini
termasuk 640 rudal SS-18 dan SS-19 yang sejak mula dituntut
Amerika supaya dibongkar. Seiring dengan upaya mempertahankan
kedua jenis rudal itu, Soviet tidak lagi menuntut agar AS
membatasi jumlah rudal bawah laut dan rudal jelajahnya.
Usul ini sebenarnya hampir sama dengan formula persetujuan
SALT-2 yang tidak diratifikasi oleh Senat AS. Menurut
pasal-pasal dalam SALT-2, kedua pihak harus membekukan rudal dan
kekuatan bom mereka pada batas 2.250, dengan batas terendah
1.320 rudal berkepala banyak plus 820 rudal yang terpasang di
daratan. Di Jenewa, Soviet mengusulkan batas 1.800 dengan
perincian: 1.100 rudal berkepala banyak plus 700 yang terpasang
di daratan.
Di pihak lain Washington mengusulkan pembatasan rudal sebanyak
850 saja. Tapi belakangan Presiden Ronald Reagan mengancam akan
memperbanyak sampai 1.100 atau 1.200. Meski dalam jumlah,
persenjataan Soviet masih lebih unggul, soal ketangguhannya
belum tentu. Apalagi jenis-jenis senjata itu dan daya musnahnya
masih belum terungkap -- satu sebab yang diduga juga menghambat
keberhasilan perundingan Jenewa.
Kantor berita Soviet, Tass, dalam pada itu tiba-tiba menuduh AS
berusaha menciptakan pedang nuklir yang panjang dan tajam agar
bisa mendiktekan keinginannya pada pihak lain. Kendati demikian
Tass menyambut baik usul pertemuan puncak Reagan-Andropov, yang
diharapkannya akan dapat mengatasi masalah-masalah besar.
Sementara itu dikabarkan duta kecil "tak resmi" Samantha akan
lebih dulu bertemu Andropov, sebelum kembali ke AS. "Dia
berjanji Rusia tidak akan mencetuskan perang," ujar Samantha.
"Amerika juga tidak." Ia kemudian menambahkan: "Tapi mengapa dua
negara itu terus saja membuat senjata dan saling mengancam?"
Barangkali saja Andropov bersedia menjawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini