PATUNG batu Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta
itu tetap tegak dengan ekspresip, meski pemahatnya telah
direnggut maut, Minggu siang lalu di Denpasar. Hendra Gunawan,
pemahat patung itu yang kemudian lebih banyak melukis, kena
serangan jantung dan muntaber, sementara maagnya sedang kumat.
Orang Sunda ini sejak 3 tahun lalu memang bermukim di Bali,
memindahkan kehidupan Bali ke kanvas-kanvasnya. Ia malahan
sempat memamerkan 27 lukisannya di Pulau Dewata itu, November
tahun lalu.
Lahir di Bandung, 11 Juni 1918, sebagai anak pegawai rendah
perusahaan kereta api, masa kecil Hendra boleh dikata suram.
Orangtuanya cerai, dan ia terpaksa ikut ayahnya yang suka
mabuk-mabukan. Toh, ia sempat masuk sekolah menengah dan belajar
melukis kepada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Tapi suasana
rumah tangganya membuat Hendra pada usia 19 tahun mengembara ke
kota-kota di Jawa Barat. Lalu bergabung dengan sebuah grup
sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor.
Dua tahun kemudian ia ketemu pelukis Affandi. Dan pertemuan
itulah yang menentukan jalan hidupnya. Dengan niat yang besar ia
lantas menggunakan sebagian besar waktunya untuk bergumul dengan
pensil dan kertas, dengan cat dan kanvas. Bahkan pada 1940 ia
membentuk sanggar Pusaka Sunda bersama beberapa pelukis Bandung,
dan sempat mengadakan beberapa kali pameran bersama.
Revolusi pecah. Hendra pun ikut berjuang. Bau mesiu tak membuat
ia mengabaikan kesenian. Di front ia mendirikan Pelukis Front.
Dan justru di zaman inilah lahir lukisan-lukisannya yang
dianggap karya empu. Salah satu adalah Pengantin Revolusi.
Dengan kanvas ukuran besar, lukisan satu ini memang mencatat
sejarah dari sudut seni rupa. Di zaman perjuangan itu, dengan
langit yang biru gelap, tak menghalangi orang mengadakan pesta
perkawinan. Meski serba darurat, tentu saja: pengantin perempuan
didudukkan di dalangan sepeda dan pengantin pria, seorang
petani, agar sesuai zaman, mengenakan pakaian tentara.
Orang-orang yang mengiringkan pengantin pun cukup berkalung
sarung, dan seorang di antaranya tampak meniup terompet.
Hendra kemudian bermukim di Yogya. Pada 1947 ia mendirikan
sanggar Pelukis Rakyat bersama Affandi. Dari sanggar ini,
kemudian muncul senirupawan yang menonjol dalam dunia seni rupa
kita kini: Fadjar Sidik dan G. Sidharta -- antara lain.
Di zaman Pelukis Rakyat itulah terpikir oleh Hendra untuk
menghidupkan kembali seni memahat batu. Dari niat inilah
kemudian lahir patung batu Jenderal Sudirman tadi. Tapi entah
mengapa Hendra kemudian meninggalkan seni patung.
Orang yang mengaku menimba ilham dari kehidupan rakyat kecil
itu, terpaksa berurusan dengan penjara, ketika G30S meletus. Ia
ditahan 13 tahun (1965-1978), sebagai salah seorang tokoh
Lembaga Kebudayaan Rakyat. Masih agak beruntung, di penjara ia
diizinkan melukis, bahkan membuka kursus melukis. Dengan cara
itu Hendra bahkan bisa menghidupi istri dan tiga anaknya.
Hingga pada pamerannya di Bali tahun lalu, Hendra tetap
menyuguhkan lukisanlukisan dengan kanvas besar, warna kontras
dan sapuan garang. Meski, menurut pengamatan pelukis Popo
Iskandar, warna-warna Hendra akhir-akhir agak berubah. Banyak
berkurang hitamnya, lebih menyuguhkan warna-warna manis.
Yang hampir selalu hadir dalam kanvas Hendra ialah figur wanita.
Entah itu lukisan nelayan, abang becak, tukang ngamen selalu
digambarkannya dirubung wanita. Agaknya dalam dasar jiwanya ia
memang romantis. Coba saja: di zaman revolusi itu ketika
pelukis biasanya menggambarkan tampang tentara yang garang,
Hendra lebih suka melukis anak-anak atau, ya, itu tadi:
Pengantin Revolusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini