Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerhana di mangkunegaran

Kemelut terjadi di istana mangkunegaran. beberapa bangsawan dituduh melakukan "makar". sedangkan mangkunegoro viii sendiri dianggap "feodalistis" dan "diktator".

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACARA halal bihalal HKMN (Himpunan Kerabat Mangkunegaran) di Pendopo Agung Mangkunegaran, Solo, Minggu siang 17 Juli lalu, berjalan kurang mulus. Beberapa di antara hampir seribu hadirin, menolak menghaturkan bakti atau berjabatan tangan dengan Sri Mangkunegoro VIII sebagaimana lazimnya. Salah seorang di antaranya, K.R.M.T (Kanjeng Raden Mas Tumenggung) Sanyoto Sutopo, cuma tersenyum tatkala ditanya alasannya. Sebelumnya Kamis pekan lalu, acara serah terima jabatan antara dua pejabat Mangkunegaran gagal. Sanyoto Sutopo, wakil ketua Dinas Urusan Istana Mangkunegaran, yang ditunjuk sebagai penyelenggara upacara, menolak melaksanakannya. "Selama saya masih ada di sini, tak ada serah terima jabatan. Tak ada yang diganti," katanya. Kegagalan itu membuat gusar G.P.H. (Gusti Pangeran Haryo) Jiwokusumo, ketua Dinas Urusan Istana. "Akan ada sanksi buat mereka yang menghambat kelancaran tugas," katanya. Sanksi apa yang akan diambil, menurut Jiwo, akan dirundingkan dulu dengan ayahnya, Mangkunegoro VIII. Kemelut memang sedang terjadi di Mangkunegaran, salah satu dari dua istana di Solo, di samping Kasunanan. Pertentangan terbuka diawali tatkala pada 10 Juni lalu secara serentak kelima anggota Dewan Iradat Mangkunegaran mengundurkan diri. Dewan Iradat, dibentuk Mangkunegoro VIII pada 1978. Tugasnya sebagai pendamping Mangkunegoro VIII dalam menjalankan tugas sehari-hari. Dalam surat sepanjang 4 folio kepada Mangkunegoro VIII, kelima anggota Dewan Iradat: K.R.M.T. Sanyoto Sutopo, K.R.T.H. Waluyo Harjolukito, K.R.T. Sudaryo Harjosantono, K.R.T. Sarjono Darmosaskoro dan K.R.T. Sundoro Mintono, menyatakan mengunduran diri, karena menganggap duduknya mereka dalam Dewan Iradat "tidak ada gunanya lagi." Dewan Iradat, menurut mereka, selama ini bekerja tanpa mendapat imbalan atau biaya lain. Mereka merasa kurang dihargai. Mereka beranggapan, Mengkunegoro VIII tak pernah menanggapi inisiatif mereka. Di bagian lain, surat itu menuduh "Sri Paduka telah melanggar tata-tertib istana, hingga terjadi keruwetan dan kegelisahan." Yang paling sengit adalah munculnya pertanyaan: "Apa yang sudah dicapai selama ini oleh Mangkunegaran? Tak ada. Segalanya masih telantar, kecuali keadaan Sri Paduka sendiri dalam bidang materi yang kelihatan maju." Apa yang sebenarnya terjadi ? Ditemui Kastoyo Ramelan dari TEMPO dua pekan lalu di Balai Peni Mangkunegaran, Mangkunegoro VIII, 63 tahun, yang siang itu memakai sarung dan baju lengan pendek, tampak lesu karena baru sembuh dari flu. Toh sikapnya terhadap Dewan Iradat keras. "Mereka tidak saya perlukan lagi. Sukanya merongrong dan menjelek-jelekkan pribadi saya di masyarakat." Ia juga membantah tuduhan Dewan Iradat. "Saya dinilai berfoya-foya, menghamburkan uang di luar negeri, memperkaya diri, tak memperhatikan istana, dan hal lain yang buruk. Itu semua tak benar," katanya. Menurut Mangkunegoro VIII, pembentukan Dewan Iradat dimaksudkan sebagai pengganti fungsi patih. Waktu akan membentuk dulu, ia berkonsultasi dengan Ny. Tien Soeharto, yang termasuk kerabat Mangkunegaran, dan Ny. Tien merestui. "Tetapi sekarang Dewan Iradat selalu menghambat dan menjegal kebijaksanaan saya," ujarnya. Ia juga menuduh "Mereka akan menjatuhkan saya, dengan melihat sikapnya yang selalu memburuk-burukkan nama saya." Menantu Mangkunegoro VIII, R.M.H. Hudionoto malah menganggap tindakan Dewan Iradat "sudah mirip makar." "Kalau Sri Paduka kadang-kadang ke luar negeri, bukan berarti kaya raya," katanya. Perjalanan itu, menurut Hudionoto, berkat pertolongan dan gotong-royong para famili. Dewan Iradat, katanya, telah salah tafsir. Juru bicara bekas Dewan Iradat, Sanyoto Sutopo, 62 tahun, menolak tuduhan tersebut. "Terserah kalau tindakan kami dinilai seperti makar. Kami hanya mengoreksi tindakan Mangkunegoro. Kami menginginkan ketertiban. Sebagai kerabat Mangkunegaran, kami wajib mengoreksi, demi keselamatan Mangkunegaran," katanya. Tindakan koreksinya, menurut Sanyoto, sesuai dengan ajaran Tri Dhanma Mangkunegoro I "mulat sariro hangrasa wani" (berani mengoreksi dan menderita demi kebenaran), rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki) dan wajib melu hanggondeli (wajib ikut mempertahankan). Sanyoto menolak mengungkapkan tindakan Mangkunegoro VIII yang dinilainya tidak tertib. "Semua sudah jelas tertuang dalam surat pengunduran diri Dewan Iradat," ujarnya. Walau sudah mengundurkan diri, ia akan tetap bekerja di Mangkunegaran. "Tak ada yang bisa mengusir saya. Gaji saya dari pemerintah. Lama saya mengabdi di sini, bersikap toleran. Tapi lama-lama tak tahan," katanya. Menurut suatu sumber TEMPO, ketidakpuasan terhadap Mangkunegoro VIII, antara lain, menyangkut penggunaan dana yang berasal dari sumbangan, misalnya, dari Caltex dan Gubernur Soepardjo Roestam. Meruncingnya hubungan Dewan Iradat dengan Mangkunegoro VIII kabarnya menyangkut kasus R.M. Satriyo Sutopo, adik dari Sanyoto Sutopo. Kabarnya Dewan Iradat menolak permintaan Mangkunegoro VIII untuk memecat R.M. Satriyo, setelah Satriyo tak menggubris dawuh (perintah) Mangkunegoro VIII agar mengundurkan diri dari jabatannya dalam lingkungan Mangkunegaran. Akibatnya, akhir Juni lalu Jiwokusumo memecat Satriyo. "Itu kehendak Sri Paduka," kata Jiwokusumo. Mangkunegoro VIII membenarkan. "Memang itu kehendak saya. Saya yang berkuasa di sini. Dia terlalu, selalu merongrong," ucapnya. Tak dijelaskannya tindakan apa yang dianggapnya merongrong. Satriyo, 52 tahun, menolak pemecatan tersebut. Ia tak merasa melakukan kesalahan dalam tugasnya. "Saya bukan abdi (hamba) di sini. Saya pegawai Mangkunegaran. Saya memperoleh gaji dari pemerintah, bukan dan kantung Mangkunegoro VIII," katanya. Statusnya di Mangkunegaran sebagai juru tulis ("Tapi prakteknya saya mengerjakan apa saja") dengan gaji sekitar Rp 35 ribu sebulan. Dalam suratnya kepada Jiwokusumo, Satriyo menganggap tindakan Mangkunegoro "feodalistis" dan "diktatoris", tak sesuai dengan Pancasila dan Tri Dharma Mangkunegaran. Hubungan Mangkunegoro VIII dengan Sanyoto dan Satriyo sebenarnya cukup dekat. Ibu dari kedua bersaudara ini adalah kakak dari Almarhumah Gusti Putri, istri pertama Mangkunegoro VIII. Sebelum Gusti Putri meninggal (pada 1978), Mangkunegoro VIII telah menikah dengan B.R.A. Setiowati yang mendampinginya hingga kini. Jiwokusumo adalah salah satu dari enam anak Mangkunegoro VIII dari Gusti Putri. Sumber kemelut di Mangkunegaran tampaknya bukan cuma pertentangan mengenai kebijaksanaan Mangkunegoro VIII. Sejak awal tahun ini di kalangan masyarakat Solo beredar isu: Sanyoto Sutopo adalah calon pengganti Mangkunegoro VIII. Kemungkinan ini memang ada, sebab dalam tradisi Mangkunegaran, yang menjabat Mangkunegoro tidak mesti harus putra lelaki, tapi kerabat yang dianggap terbaik prestasinya. Mangkunegoro I, misalnya, digantikan oleh cucunya, walau ia mempunyai anak lelaki. Mangkunegoro III juga menyerahkan tahtanya kepada saudara sepupunya. Setelah Radityo Hamidjojo, putra tertua Mangkunegoro VIII, beberapa tahun lalu meninggal, Mangkunegoro VIII tampaknya menyiapkan Jiwokusumo, 32 tahun, sebagai calon penggantinya. Sejak beberapa tahun terakhir ini Jiwo tinggal di Solo, sedang istrinya, Sukmawati -- putri Almarhum Bung Karno -- tinggal di Jakarta. Kini Jiwo menjabat direktur merangkap manajer pelaksana Hotel Mangkunegaran, berbintang dua dengan 50 kamar di kompleks Mangkunegaran, berdiri sejak 1975. Tahun lalu Jiwo kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret. Pada akhir Februari 1983, Mangkunegoro VIII mengangkat Jiwokusumo sebagai ketua Dinas Urusan Istana, menggantikan Pangeran Notosuparto yang meninggal. Kabarnya tindakan ini membuat kecewa Sanyoto Sutopo, yang tetap memegang jabatan wakil ketua. Konon hal inilah yang makin memercikkan api pertentangan. Dalam bentrokan ini, Sanyoto yang termasuk Trah (keturunan) Mangkunegoro V, dikabarkan didukung kelompok tersebut. Dinasti Mangkunegaran didirikan R.M. Said, yang memimpin pemberontakan melawan Belanda pada abad ke-18. Pada 1757 tercapai perdamaian, dan Said dinobatkan dengan nama K.G.P.A.A. (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo) Mangkunegoro I. Mangkunegoro VIII memerintah sejak 1944. Setelah kemerdekaan RI, terjadi pergolakan karena mula-mula Kasunanan Solo dan Mangkunegaran menginginkan status daerah swapraja. Istana Mangkunegaran kini memiliki 219 karyawan. Gaji mereka paling tinggi Rp 40 ribu per bulan, dan yang terendah cuma Rp 3 ribu. Tiap tahun pemerintah memberi santunan Rp 1,5 juta ditambah Rp 400 ribu tiap kuartal. Mangkunegoro VIII sendiri, selain memiliki Hotel Mangkunegaran, juga mendirikan PT Retno Putri yang berusaha di bidang kontraktor. Selain itu ia juga punya hak menyalurkan gula dari pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu yang pernah dimiliki Mangkunegaran. Bagaimana akhir kemelut di Mangkunegaran? Suatu dewan baru yang menggantikan Dewan Iradat kabarnya kini tengah dipersiapkan, dan personalianya diambil dari HKMN. "Kami semua ingin Mangkunegaran tidak hilang lenyap seperti Singasari atau Majapahit," kata Mayjen (Pur) Suryosumpeno, bekas Pangdam VII/Diponegoro yang menjabat ketua Badan Pembina HKMN. Pemerintah Daerah Jawa Tengah rupanya akan ikut serta menyelesaikan kemelut tersebut. "Tugas kami memang membina pemerintah keraton," kata Agus Sumadi, pembantu Gubernur Ja-Teng untuk Surakarta. Agus mengakui, sebelum ini hubungan Mangkunegoro VIII dengan Dewan Iradat kurang kompak. "Kami menginginkan adanya hubungan yang serasi antara kerabat dengan Mangkunegoro VIII sebagai pemegang wewenang dan kekuasaan," ujarnya. Agus memandang jabatan Mangkunegoro sampai kini masih relevan. "Jabatan itu masih perlu dan penting pada zaman pembangunan ini. Mangkunegoro kami anggap sebagai tokoh dan pemimpin untuk menjaga kebudayaan dan pariwisata," katanya. Sanyoto Sutopo, yang dianggap penentang utama Mangkunegoro VIII, tampaknya bersikap pasrah. "Persoalan saya, saya serahkan pada komputer. Saya pasrah menunggu jawab komputer. Komputer yang saya maksud adalah komputer Allah yang Mahakuasa," katanya Minggu siang lalu. Hari itu dengan langkah pelan ia meninggalkan Pendopo Agung Mangkunegaran, sebelum acara halal bihalal selesai. Bagaimana penyelesaian kemelut itu masih harus ditunggu. Tapi nampaknya, yang tengah terjadi, adalah sebuah gerhana di Istana Mangkunegaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus