API mesiu masih tak padam-padam di Chad. Menjelang Lebaran,
pasukan pemberontak yang dipimpin bekas presiden Goukouni
Oueddei berhasil merebut dua kota strategis: Abeche dan Biltine.
Selang satu pekan kedua kota itu, terletak sekitar 700 km dari
ibu kota Ndjamena, kembali dikuasai oleh pasukan pemerintah.
"Para pemberontak berhasil dipukul mundur tanpa perlawanan
berarti," ujar Presiden Hissene Habre. Tentara pemerintah Chad
dalam merebut kedua kota itu disebut-sebut dapat senjata dari
Prancis dan bantuan pasukan dari Zaire.
Bantuan asing tak cuma untuk Habre. Juga bagi Oueddei. Kekuatan
yang berada di belakang Oueddei, yang digulingkan Habre tahun
silam, dikabarkan Libya. Pernyataan yang keluar dari mulut
pengikut Oueddei itu dibantah langsung oleh kepala negara Libya,
Moammar Qaddafi. "Mereka membuat pernyataan tersebut hanya untuk
menaikkan moral pasukan belaka," kata Qaddafi. Ia bahkan balik
menuduh Prancis, yang dulu menjajah Afrika, sebagai penyebab
perang saudara berkepanjangan di benua hitam itu -- terutama di
Chad.
Betulkah? Tuduhan Qaddafi itu tampak kurang berdasar. Perang
saudara yang senantiasa terjadi di Chad terutama disebabkan
negeri itu belum "satu bangsa". Penduduknya, berjumlah sekitar
4,5 juta jiwa, terdiri dari keturunan Arab dan menganut Islam di
bagian utara, serta penduduk asli dari berbagai suku Afrika yang
memeluk animisme, dan Kristen di wilayah selatan. Tahun 1965,
lima tahun, setelah Chad merdeka, penduduk keturunan Arab
memberontak pada presiden pertama, Ngarta Tombalbaye. Tapi
berhasil dipadamkan. Sepuluh tahun kemudian pihak militer
melakukan kudeta dan memilih presiden baru dari golongan
Kristen, Felix Malloum.
Tahun 1979, orang-orang Islam, yang dipimpin Menteri Pertahanan
Hissene Habre menggulingkan Malloum. Mereka kemudian mengangkat
Goukouni Oueddei sebagai presiden dan Habre tetap menjabat
menteri pertahanan. Tiga tahun berkuasa, Oueddei yang
pro-Qaddafi, digulingkan Habre yang mendapat bantuan militer AS.
Baru setahun Habre menduduki tampuk pemerintahan, pasukan
gerilya Oueddei kembali menyerbu, dan nyaris menggulingkan
kepala negara baru itu.
Sekalipun berulang kali dipukul mundur, pengikut bekas presiden
Oueddei tak menyerah begitu saja. Setiap ada kesempatan, mereka
selalu menyerang. Juni lalu mereka sempat menduduki Kota Faya
Largeau dan Oum Chalouba -- dua kota penting lain di wilayah
semigurun itu -- selama beberapa pekan. Dan kemudian diusir
lagi.
Ketika pengikut Oueddei menduduki Abeche, dua minggu lalu,
banyak yang meramalkan itu akan merupakan akhir pemerintahan
Habre. Sebab, di kota yang berpenghuni 30.000 jiwa itu, sebagian
besar suku asli Ouaddien, Massalit, dan Dajo, ada lapangan
terbang. Sehingga memudahkan pengiriman bantuan luar negeri bagi
penguasa di kota itu. Ternyata Habre yang mengambil inisiatif
lebih dulu dengan mendatangkan tentara Zaire untuk membantu
pasukannya di sana.
Habre rupanya sadar bila gagal mengusir para pemberontak dari
Abeche, ia bisa Jatuh. Hingga ia tak segan-segan mengerahkan
pasukan besar-besaran. Sebab untuk merebut Abeche lagi tidak
mudah. Kota itu terletak di tengah bukit-bukit karang.
Gebrakan Oueddei cukup mencemaskan Amerika Serikat. Sebab
diberitakan kemajuan Oueddei adalah berkat bantuan pasukan dan
persenjataan Libya. Sementara AS berdiri "di belakang" Habre.
"AS hanya bisa mendorong negara-negara lain menjaga Qaddafi
untuk tidak mengubah peta politih Afrika," tulis koran
Washington Post.
Tapi AS tak sendiri mendukung Habre Zaire, anggota Organisasi
Persatuan Afrika, bahkan mengirimkan 1.750 tentara (250 di
antaranya parakomando) untuk merebut Abeche dan mempertahankan
Ndjamena. Sementara itu Prancis, pembantu terbesar bekas wilayah
jajahannya ini, mengirim bantuan "terbatas" pada truk, bahan
bakar, dan senjata antitank. "Prancis harus mengulangi," ujar
Presiden Francois Mitterand! "bahwa ia tidak bisa berpeluk dada
membiarkan Chad jadi mangsa petualang asing.' Mitterand pun
pernah mengirim bantuan senjata kepada Oueddei sewaktu masih
jadi presiden Chad.
Dalam wawancara dengan wartawan harian Prancis, Le Matin,
Oueddei mengatakan persenjataan Prancis tak bisa menghentikan
gerakannya seperti di tahun 1978. "Namun kalau bantuan Prancis
kepada Habre tidak segera dihentikan, kami akan merambatkan
perang ke luar Chad . . . sampai ke jalan jalan di Kota Paris,"
tambahnya.
Untuk sementara, keamanan di Chad telah pulih kembali. Namun
denyut pergolakan di jantung Afrika itu bisa timbul lagi
sewaktu-waktu. Presiden Habre adalah pemimpin Chad yang tak
disukai Qaddafi. Sebab, Qaddafi berambisi membentuk satu negara
Islam dari Libya hingga ke Gurun Sahara di selatan. Tahun 1981
Chad dan Libya telah mengumumkan persetujuan penggabungan yang
ditandatangani oleh Qaddaf dan Oueddei. Tapi belum sampai
terealisasi Oueddei sudah digulingkan Habre.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini