Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang saudara meledak lagi

Pembrontakan di chad, dipimpin oleh bekas presiden goukouni ouddei. libya diduga memberikan bantuan kepada pembrontak.(ln)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

API mesiu masih tak padam-padam di Chad. Menjelang Lebaran, pasukan pemberontak yang dipimpin bekas presiden Goukouni Oueddei berhasil merebut dua kota strategis: Abeche dan Biltine. Selang satu pekan kedua kota itu, terletak sekitar 700 km dari ibu kota Ndjamena, kembali dikuasai oleh pasukan pemerintah. "Para pemberontak berhasil dipukul mundur tanpa perlawanan berarti," ujar Presiden Hissene Habre. Tentara pemerintah Chad dalam merebut kedua kota itu disebut-sebut dapat senjata dari Prancis dan bantuan pasukan dari Zaire. Bantuan asing tak cuma untuk Habre. Juga bagi Oueddei. Kekuatan yang berada di belakang Oueddei, yang digulingkan Habre tahun silam, dikabarkan Libya. Pernyataan yang keluar dari mulut pengikut Oueddei itu dibantah langsung oleh kepala negara Libya, Moammar Qaddafi. "Mereka membuat pernyataan tersebut hanya untuk menaikkan moral pasukan belaka," kata Qaddafi. Ia bahkan balik menuduh Prancis, yang dulu menjajah Afrika, sebagai penyebab perang saudara berkepanjangan di benua hitam itu -- terutama di Chad. Betulkah? Tuduhan Qaddafi itu tampak kurang berdasar. Perang saudara yang senantiasa terjadi di Chad terutama disebabkan negeri itu belum "satu bangsa". Penduduknya, berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa, terdiri dari keturunan Arab dan menganut Islam di bagian utara, serta penduduk asli dari berbagai suku Afrika yang memeluk animisme, dan Kristen di wilayah selatan. Tahun 1965, lima tahun, setelah Chad merdeka, penduduk keturunan Arab memberontak pada presiden pertama, Ngarta Tombalbaye. Tapi berhasil dipadamkan. Sepuluh tahun kemudian pihak militer melakukan kudeta dan memilih presiden baru dari golongan Kristen, Felix Malloum. Tahun 1979, orang-orang Islam, yang dipimpin Menteri Pertahanan Hissene Habre menggulingkan Malloum. Mereka kemudian mengangkat Goukouni Oueddei sebagai presiden dan Habre tetap menjabat menteri pertahanan. Tiga tahun berkuasa, Oueddei yang pro-Qaddafi, digulingkan Habre yang mendapat bantuan militer AS. Baru setahun Habre menduduki tampuk pemerintahan, pasukan gerilya Oueddei kembali menyerbu, dan nyaris menggulingkan kepala negara baru itu. Sekalipun berulang kali dipukul mundur, pengikut bekas presiden Oueddei tak menyerah begitu saja. Setiap ada kesempatan, mereka selalu menyerang. Juni lalu mereka sempat menduduki Kota Faya Largeau dan Oum Chalouba -- dua kota penting lain di wilayah semigurun itu -- selama beberapa pekan. Dan kemudian diusir lagi. Ketika pengikut Oueddei menduduki Abeche, dua minggu lalu, banyak yang meramalkan itu akan merupakan akhir pemerintahan Habre. Sebab, di kota yang berpenghuni 30.000 jiwa itu, sebagian besar suku asli Ouaddien, Massalit, dan Dajo, ada lapangan terbang. Sehingga memudahkan pengiriman bantuan luar negeri bagi penguasa di kota itu. Ternyata Habre yang mengambil inisiatif lebih dulu dengan mendatangkan tentara Zaire untuk membantu pasukannya di sana. Habre rupanya sadar bila gagal mengusir para pemberontak dari Abeche, ia bisa Jatuh. Hingga ia tak segan-segan mengerahkan pasukan besar-besaran. Sebab untuk merebut Abeche lagi tidak mudah. Kota itu terletak di tengah bukit-bukit karang. Gebrakan Oueddei cukup mencemaskan Amerika Serikat. Sebab diberitakan kemajuan Oueddei adalah berkat bantuan pasukan dan persenjataan Libya. Sementara AS berdiri "di belakang" Habre. "AS hanya bisa mendorong negara-negara lain menjaga Qaddafi untuk tidak mengubah peta politih Afrika," tulis koran Washington Post. Tapi AS tak sendiri mendukung Habre Zaire, anggota Organisasi Persatuan Afrika, bahkan mengirimkan 1.750 tentara (250 di antaranya parakomando) untuk merebut Abeche dan mempertahankan Ndjamena. Sementara itu Prancis, pembantu terbesar bekas wilayah jajahannya ini, mengirim bantuan "terbatas" pada truk, bahan bakar, dan senjata antitank. "Prancis harus mengulangi," ujar Presiden Francois Mitterand! "bahwa ia tidak bisa berpeluk dada membiarkan Chad jadi mangsa petualang asing.' Mitterand pun pernah mengirim bantuan senjata kepada Oueddei sewaktu masih jadi presiden Chad. Dalam wawancara dengan wartawan harian Prancis, Le Matin, Oueddei mengatakan persenjataan Prancis tak bisa menghentikan gerakannya seperti di tahun 1978. "Namun kalau bantuan Prancis kepada Habre tidak segera dihentikan, kami akan merambatkan perang ke luar Chad . . . sampai ke jalan jalan di Kota Paris," tambahnya. Untuk sementara, keamanan di Chad telah pulih kembali. Namun denyut pergolakan di jantung Afrika itu bisa timbul lagi sewaktu-waktu. Presiden Habre adalah pemimpin Chad yang tak disukai Qaddafi. Sebab, Qaddafi berambisi membentuk satu negara Islam dari Libya hingga ke Gurun Sahara di selatan. Tahun 1981 Chad dan Libya telah mengumumkan persetujuan penggabungan yang ditandatangani oleh Qaddaf dan Oueddei. Tapi belum sampai terealisasi Oueddei sudah digulingkan Habre.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus