Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas negara bagian Missouri, Amerika Serikat mengeksekusi mati seorang tahanan Muslim, Imam Marcellus Khalifah Williams, pada Selasa pukul 18.00 waktu setempat atau Rabu 25 September 2024 pukul 06.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Williams, 55 tahun, menghembuskan nafas terakhir setelah disuntik mati di penjara negara bagian di Bonne Terre. Eksekusi mati Williams memicu kontroversi karena jaksa yang menuntut kasusnya telah meminta Gubernur dan Mahkamah Agung setempat untuk membatalkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2001, Williams dijatuhi hukuman mati dalam kasus pembunuhan Felicia Gayle, mantan reporter surat kabar yang ditemukan tewas ditikam di rumahnya pada 1998.
Gubernur dan Mahkamah Agung Missouri pada Senin menolak untuk menghentikan eksekusi terhadap Williams meski jaksa percaya mungkin saja ada bukti tidak bersalah, menurut media setempat.
"Williams telah menjalani proses hukum dan semua jalur hukum, termasuk lebih dari 15 sidang, dalam upaya membuktikan dirinya tidak bersalah dan membatalkan hukumannya," kata Gubernur Mike Parson dalam sebuah pernyataan.
Dalam pernyataan usai eksekusi mati, salah satu pengacara Williams, Larry Komp, mengatakan kliennya tetap mempertahankan dirinya tidak bersalah sampai akhir.
“Meskipun dia mengakui kesalahan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya, dia menegaskan tidak bersalah atas kejahatan yang menyebabkan dia dihukum mati malam ini,” kata Komp. “Meskipun kami sangat terpukul dan tidak percaya atas apa yang telah dilakukan negara terhadap orang yang tidak bersalah, kami merasa terhibur karena dia meninggalkan dunia ini dengan damai.”
Pernyataan terakhir Williams, yang disaksikan pada 21 September, adalah “Segala Puji Bagi Allah Dalam Segala Situasi!!!” Williams adalah seorang Muslim yang taat, seorang imam bagi para tahanan dan seorang penyair, menurut tim hukumnya.
Sejak awal, William mengeklaim dirinya tidak bersalah dan eksekusi hukumannya ditunda pada 2015 dan 2017 untuk melakukan tes DNA tambahan. Sebelumnya, terungkap bahwa DNA William tidak ditemukan pada senjata tajam yang digunakan dalam pembunuhan.
Pengacara Williams telah mengajukan banyak upaya banding berdasarkan apa yang mereka gambarkan sebagai bukti baru – termasuk dugaan bias dalam pemilihan juri dan kontaminasi senjata pembunuh sebelum persidangan. Keluarga korban bahkan sempat meminta agar Williams terhindar dari kematian.
Pada Januari, jaksa mengajukan penangguhan eksekusi dengan alasan bahwa pengujian DNA pada senjata itu bisa membatalkan status Williams sebagai tersangka.
Bulan lalu, argumen itu ditolak setelah uji baru mengungkapkan bahwa senjata itu salah ditangani oleh penyidik sehingga mencemarkan bukti yang bisa dipakai untuk membebaskan Williams.
Penasihat hukum kedua pihak menerima laporan yang menunjukkan bahwa DNA pada senjata itu milik asisten jaksa penuntut dan seorang penyidik yang memegangnya tanpa sarung tangan sebelum persidangan.
Tes baru DNA itu melemahkan argumen jaksa dan sepenuhnya mendukung putusan pengadilan wilayah bahwa bukti tersebut tidak menunjukkan adanya pelaku lain, menurut Mahkamah Agung dalam putusannya pada Senin.
Sejak putusan itu dikeluarkan, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), organisasi pembela hak sipil dan kebebasan Muslim terbesar di AS, mengeluarkan petisi kepada Gubernur Missouri agar rencana eksekusi itu dibatalkan. Lebih dari 35.000 orang telah menandatangani petisi itu.
Dalam pernyataannya, Wakil Direktur Nasional CAIR Edward Ahmed Mitchell menilai eksekusi "tidak bisa diterima" jika ada bukti kredibel yang menunjukkan bahwa Williams tidak bersalah.
"Gubernur Parson memiliki kewenangan untuk mencegah eksekusi yang salah ini," kata Mitchell.
Dia menambahkan bahwa tak seorang pun boleh dihukum mati ketika masih ada keraguan soal kesalahan terpidana, terutama dalam "kasus-kasus yang sarat dengan bias rasial dan kegagalan sistemik."
ANADOLU | CNN