Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GADIS itu akhirnya tersenyum juga. Di hadapannya, psikolog Hector Rifa menampilkan panggung boneka untuk menghibur sang wanita muda. Itulah tawa pertamanya sejak ditangkap dari hutan di Provinsi Rattanikiri, 350 kilometer dari Phnom Penh, Kamboja, dua pekan lalu.
”Perempuan hutan” ini pertama kali ditemukan dalam keadaan telanjang dan berambut panjang kumal. Jalannya separuh berjongkok seperti kera. Ia tak bisa berbicara, hanya mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulutnya. Penduduk setempat menyebutnya ”separuh manusia, separuh binatang”. Ia selalu berusaha kabur tiap bertemu orang.
Seorang polisi lokal, Sal Lou, 45 tahun, buru-buru mengklaim gadis itu sebagai anaknya, Ro Cham P’ngieng, yang hilang 19 tahun silam saat menggembala kerbau. Kala itu, P’ngieng berusia delapan tahun. Artinya, dia kini berumur 27 tahun. Keyakinan Lou terbit setelah melihat bekas luka sayatan pisau di tangan kanan perempuan itu.
Lou mengisahkan P’ngieng hilang bersama adiknya, Ro Cham Noeung. Setelah mencari kian-kemari bersama penduduk desa, sang ayah menyerah. Ia menduga dua anaknya dimangsa binatang buas di hutan. Maklum saja, pada waktu itu, hutannya masih sangat lebat dan jarang dirambah manusia. Baru belakangan ini, pohonnya banyak dibabat untuk perkebunan karet. Ini diduga menyebabkan ”orang hutan” ini akhirnya keluar ”sarang”.
Kawasan tenggara Kamboja ini termasuk salah satu daerah paling terpencil di negara itu. Sejumlah kisah lama menyebut, di sini bermukim sejumlah suku minoritas yang memang dikenal dengan kehidupan liar. Hutan Rattanikiri juga pernah menjadi tempat berlindung para pengungsi yang melarikan diri dari perang saudara yang pecah seusai kejatuhan Khmer Merah.
Karena itu kini berkembang dugaan bahwa P’ngieng waktu itu diculik oleh suku terasing yang mendiami rimba di Rattanikiri itu. Ini diperkuat kesaksian sejumlah warga bahwa, pada saat ditemukan, P’ngieng tidak seorang diri. Ia didampingi pria bugil berambut panjang bersenjata pedang. Keduanya tengah mengais-ngais makanan di tanah. Awalnya, warga sukses menangkap kedua orang itu. Namun pria misterius itu berhasil mencelat ke pepohonan dan hilang.
Analisis klenik juga berkembang di Rattanikiri. Banyak penduduk yang meyakini P’ngieng diambil tumbal oleh dewa-dewa hutan. Pendeta Buddha pun dipanggil untuk ”membersihkan” gadis itu dari pengaruh roh jahat. Kepala Distrik Kepolisian, Mao San, membisikkan, ”Mereka berdoa supaya roh hutan mengizinkan si gadis tinggal kembali ke desanya.”
Kini sang ayah bersama penduduk setempat mengubek-ubek hutan dengan harapan bertemu dengan adik P’ngieng yang masih tak jelas keberadaannya hingga kini. Menjawab keraguan banyak pihak, Lou bersedia melakukan tes DNA untuk membuktikan hubungan darahnya dengan P’ngieng.
Meski begitu, tak semua percaya begitu saja pada ucapan Sal Lou. Para ahli di Phnom Penh menderetkan sejumlah kemungkinan lain asal-usul perempuan hutan itu. Sangat mungkin gadis itu adalah warga suku pedalaman Vietnam yang kerap menyeberang ke Kamboja lewat hutan. Mereka mencari suaka lantaran diskriminasi agama dan berusaha menghindari kontak dengan pemerintah Vietnam.
Ada pula penjelasan yang lebih ”masuk akal”, yakni bahwa gadis itu cuma seorang yang sakit mental dan baru-baru ini saja kabur ke hutan. Bekas luka—yang diklaim sang ”ayah” sebagai ciri P’ngieng—bisa saja merupakan bekas ikatan tali di tangan si gadis.
Namun Hector Rifa, psikolog dari Spain’s Oviedo University, berusaha lebih netral. Menurut doktor yang telah empat tahun menggeluti masalah suku terasing di perbukitan Kamboja ini, sekarang masih terlalu dini menentukan kondisi mental perempuan itu. Pasiennya itu masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
P’ngieng kini tinggal bersama keluarga Lou dengan pengawasan dari Rifa yang bekerja untuk Psychology Without Borders. Meskipun sesekali berupaya kabur kembali ke hutan, P’ngieng sedikit demi sedikit menunjukkan kemajuan. Termasuk senyumnya saat Rifa tampil dengan teater boneka.
Menurut Ro Cham Soy, istri Lou, gadis itu kini banyak menghabiskan waktu dengan menonton DVD. Ia pun sudah bisa mengucap tiga kata dalam bahasa setempat: ”Papa, mama, dan sakit perut.” Kata terakhir paling sering dilontarkan P’ngieng lantaran dia selalu menolak makanan selain daging dan buah-buahan. Semua hanya bikin dia sakit perut.
Andari Karina Anom (AP, BBC, Cambodia Daily)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo