Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mogok Sejuta Dolar

Tiga hari penuh kereta bawah tanah dan bus kota tak berfungsi. Warga Afro mogok, imigran multi-etnis ikut jadi korban.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kota New York menggigil dalam suhu sekitar nol derajat Celsius tatkala Michele Amann meninggalkan apartemennya di West Village, pagi itu. Pipi, kuping, dan tungkainya berdenyut-denyut terserang hawa dingin. Lima hari lagi Natal tiba. Aktris berusia 30 tahun itu tengah beramal sebagai relawan di Kantor Pos Besar Manhattan. Bersama relawan lain, Amann membalas 150 ribu surat kepada santa klaus. Untuk mencapai kantor pos, dia harus berjalan kaki dua jam lebih.

Michele tak sendirian. Ada tujuh juta warga New York yang menjadi korban mogok massal Serikat Pekerja Transportasi (TWU). Mogok akbar pada Selasa pekan lalu itu menuntut perbaikan kesejahteraan karyawan transportasi. Selama tiga hari penuh, warga New York yang biasa menggunakan kereta bawah tanah dan bus kota terpaksa berjalan kaki. Ada yang bersepeda atau berjejalan di kereta listrik dari New Jersey dan Long Islands yang tembus ke kota.

Pusat-pusat belanja dan restoran, yang biasanya penuh sesak pada hari-hari akhir tahun, tak begitu padat. Sebab, warga New York praktis menyemut di jalanan. Mobil dilarang melintasi jembatan menuju Manhattan kalau tidak berisi empat orang. Bank darah New York—yang butuh pasokan dari 2.000 orang setiap hari—menjerit karena pendonornya batal datang. Gelandangan yang tak punya rumah menggertakkan gigi karena dingin. Menurut riset tahun 2004, ada 4.000 tunawisma di metropolitan itu—845 orang biasa tidur di stasiun kereta bawah tanah.

Wali Kota New York, Michael Bloomberg, mengakui restoran, museum, dan pusat-pusat kebudayaan rugi besar. ”Pendapatan berkurang sampai satu miliar dolar (setara dengan Rp 10 triliun—Red),” kata dia. Angka ini ramai dikritik karena analis menaksir kerugian tak sampai sebesar itu. Potongan dana pensiun adalah salah satu pemicu utama mogok akbar ini.

Menurut Otoritas Transportasi Metropolitan (MTA), potongan yang berlaku saat ini—dua persen—terlampau kecil. Mereka menuntut enam persen demi mengatasi defisit pada tahun mendatang. Karena hal itu mandek, TWU memutuskan turun ke jalan. Keputusan ini mahal betul karena setiap satu hari mogok TWU harus membayar denda satu juta dolar.

Ini bukan aksi pekerja transportasi pertama di New York. Tahun 1980, mereka mogok selama 11 hari. Tahun 1966, aksi serupa digelar selama 12 hari. Salah satu efek dari pemogokan adalah tutupnya sebagian besar restoran etnis. Kedai-kedai India, Cina, dan Meksiko, yang ada di setiap pojok kota, hampir semuanya menggembok pintu. ”Kafetaria di sini tutup di hari pertama mogok,” kata periset PBB, Numayr Chowdury, kepada Tempo. Pria asal Bangladesh ini berkantor di pusat Distrik Manhattan dan ikut menanggung imbas mogok: tak bisa menyantap makanan di kedai langganannya.

Pekan lalu, kesepakatan sementara dapat dicapai. Presiden TWU, Roger Toussaint, mengumumkan akan ada kenaikan gaji 10,5 persen untuk tiga tahun ke depan, libur pada hari Martin Luther King, cuti hamil, kompensasi kecelakaan/meninggal lebih tinggi, serta beberapa ponten lainnya.

Sebagai kejutan awal, 22 ribu pekerja segera mendapat ribuan dolar kelebihan pembayaran pensiun mereka. ”Ini penghargaan bagi orang yang bangun pukul 3 pagi untuk menjalankan kota ini,” Toussaint berkata dengan puas.

Toh, tak semuanya puas. Michael Tutrone, wakil para sopir bus di Manhattan dan Bronx, mengaku menyesal terlibat aksi. Dia harus membayar denda seribu dolar karena melanggar Undang-Undang Anti-Mogok. Paket gaji baru yang disampaikan Toussaint pun ia rasakan tak terlampau menghibur. ”(Paket) ini sama dengan yang ditawarkan sebelum mogok. Kami hanya ingin agar asap dapur mengepul, tapi negosiasi tak kunjung berhasil,” katanya.

Sopir lain, Salvatore Diaz—seorang pria keturunan Spanyol—mencoba menghibur diri walau kenaikan gajinya tak sesuai dengan harapan. Dia mengaku puas melihat lintang-pukangnya pemda setempat menghadapi aksi karyawan TWU. ”Sekali-kali perlu mogok biar pemerintah tahu rasa bagaimana repotnya mengurus New York tanpa barisan sopir.”

Kurie Suditomo (AP/NYT/Newsday/Inc.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus