Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia dijuluki Bintang Baru dari Timur. Novel-novelnya laris manis. Kebanyakan berkisah tentang perbenturan nilai Islam dan Barat dalam sejarah Turki modern. Namun, ia diadili bukan karena novelnya, melainkan karena pernyataannya dalam Das Magazin—majalah terbitan Swiss. Dalam wawancara dengan majalah ini pada Februari 2005, Ferit Orhan Pamuk si Bintang Timur itu menyatakan, ”Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di Turki. Tapi tak ada yang berani bicara tentang tragedi itu.” Pembunuhan terjadi pada 1915 ketika suhu politik Turki sedang mendidih.
Para petinggi di Istambul murka bukan kepalang. Pamuk dituduh menghina negara. Ia dibidik dengan ayat 301 Undang-Undang Pidana Turki soal penghinaan terhadap republik. Ancamannya enam bulan hingga tiga tahun penjara. Dua minggu lalu kasus ini disidangkan di Istambul untuk pertama kalinya.
Polemik tentang Orhan Pamuk menyita perhatian masyarakat Turki pada akhir tahun 2005, membelah negeri itu dalam dua kutub perseteruan. Kaum nasionalis memaki habis si novelis. Barisan pro-kebebasan memujanya setinggi langit. Ruang pengadilan riuh. Seorang wanita tua melayangkan pukulan ke Orhan Pamuk saat dia masuk ruang sidang.
Lahir 7 Juni 1952 di Istambul, Ferit Orhan Pamuk datang dari keluarga kelas menengah. Ayahnya CEO pertama IBM—perusahaan komputer terkemuka—di Turki. Keluarganya ingin Pamuk jadi insinyur. Tapi pria ini memilih belajar di Institut Jurnalisme di Universitas Istambul. Ia sempat kuliah di Universitas Columbia di Kota New York dan di Universitas Iowa pada 1985-1988. Kembali ke Istambul, dia menikah dengan Aylin Turegen—bercerai pada 2001. Pernikahan ini melahirkan seorang anak perempuan.
Pamuk menulis novel pertamanya pada 1974. Berjudul Gelap dan Terang, novel perdana ini meraih penghargaan Novel Milliyet Press di Turki. Namanya mulai mengharum di blantika sastrawan mancanegara ketika karyanya yang berjudul Beyaz Kale (Kastil Putih) memenangi penghargaan independen untuk fiksi asing pada 1990 di New York. The New York Times menulis: bintang baru telah terbit dari timur, Orhan Pamuk. Kara Kitab (Buku Hitam), yang terbit pada 1990, adalah novel paling kontroversial sepanjang sejarah sastra Turki.
Reputasi internasionalnya kian berkibar ketika dia melahirkan Benim Adim Kirmizi (Namaku Merah), 2000—telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa. Meramu misteri, roman, dan filosofi, Pamuk mengundang pembaca untuk menikmati ketegangan antara Timur dan Barat di Istambul pada abad ke-16.
Para pengamat sastra menilai Kar (Salju), yang terbit pada 2002, sebagai karya Pamuk yang paling memukau. Isinya mengupas habis perseteruan antara Islamisme dan dunia Barat dalam sejarah Turki modern. Harian The New York Times memasukkan Snow dalam sepuluh buku terbaik 2004. Pada awal 2005, Pamuk memenangi hadiah perdamaian dalam pameran buku di Jerman. Hadiah buku paling bergengsi di Jerman ini diberikan di Gereja Sint Paulus di Frankfurt.
Sohor di mancanegara, Pamuk justru terantuk di kampung halaman sendiri. Ia dituduh menghina negara. Para pengacara cemerlang menawarkan jasa gratis. Pamuk sedikit beruntung. Undang-undang baru itu berlaku Juli 2004, wawancara dengan Das Magazin dibuat pada Februari 2004. ”Hukum tidak bisa berlaku surut. Pamuk harus diadili dengan undang-undang lama,” kata pengacaranya.
Hakim yang mengadili kasus ini kebingungan: apakah Pamuk harus diadili dengan undang-undang baru atau lama. Kini hakim tengah menunggu fatwa dari Menteri Kehakiman. Sidang dibuka lagi pada 7 Februari 2006. Dukungan untuk sang novelis mengalir dari dalam negeri maupun mancanegara.
Beberapa hari sebelum sidang perdana kasus ini digelar, Amnesti Internasional mendesak Istambul membebaskan Pamuk. Belasan lembaga lain mengirim tuntutan serupa. Parlemen Eropa mengutus lima orang mengamati persidangan.
Kasus Pamuk adalah ujian pertama Turki sebelum masuk Uni Eropa. Kebebasan berbicara haruslah dihargai, begitu antara lain isi siaran pers Parlemen Eropa yang dilansir awal Desember lalu. Dan kebebasan berbicara, kata Orhan Pamuk, adalah satu-satunya harapan Turki menghadapi sejarahnya sendiri.
Wenseslaus Manggut (New York Times, AFP, times.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo