MENDUNG bergayut tebal, suasana pun muram. Begitulah perasaan Hun Sen dan kawan-kawannya di rezim Republik Rakyat Kamboja, belakangan ini. Angin segar yang dibawa James Baker, Menteri Luar Negeri Amerika, belum cukup ampuh mengusir duka itu. Padahal, langkah Amerika Serikat mencabut dukungan pada musuh-musuh mereka: Pemerintahan Koalisi Kamboja alias CGDK terbilang penting. Apa pasal? Peristiwa ditahannya enam pejabat pemerintah, termasuk Menteri Perhubungan Ung Phorn, tampak masih memukul para petinggi PRK, demikian rezim itu biasa menyebut dirinya. Bahkan ada bisik-bisik dari parlemen, Ung Phorn bakal diadili dengan kesalahan berniat membentuk partai baru. Nasib Ung Phorn akan segera ditentukan dalam sidang parlemen. Tapi bukan cuma itu. Masih banyak petinggi Kamboja yang belum yakin bahwa langkah Amerika itu akan menguntungkan mereka. Terutama ketakutan mereka pada kekuatan Khmer Merah yang memang kian galak. "Mereka makin terpojok, kami khawatir pada apa yang akan mereka lakukan," kata Cham Prasith, seorang pejabat kementerian luar negeri Kamboja. Di medan tempur, Khmer Merah memang semakin garang. Akhir-akhir ini, penampilan para gerilyawan itu kian mantap. Sekali gebrak, 300 orang bisa muncul, mereka menguasai kampung atau desa. Dulu, semasa Vietnam masih bercokol, mereka hanya berani mengendap-endap di malam hari. Sekarang di siang hari bolong pun mereka berani unjuk gigi, dengan senjata yang makin hebat. "Mereka bawa roket 80 mm yang harus digotong empat orang," tutur Pen Sambo, bekas ketua Distrik Aoral, di Provinsi Kompong Speu, yang kini sudah dikuasai Khmer Merah. Yang juga menarik, menurut Sambo yang berwajah tampan itu, dalam gerombolan Khmer Merah sekarang sering ditemukan gerilyawati. Kecanggihan persenjataan Khmer Merah terlihat ketika mereka menyerang kereta api di Kampot awal Juli lalu -- dan Kompong Chhnang dua minggu sesudahnya. Ranjau mereka tanam di rel, diledakkan dengan remote control. Sesudah itu, kereta dihajar dari samping dengan roket-roket B-40. Tak ayal lagi, "gerbong saya terjungkir balik," kata Van Sreung, salah seorang korban. Di tengah suasana kacau itulah para gerilyawan langsung merangsek maju. Malanglah bagi mereka yang pegawai negeri, sebab langsung dibantai. Korban di Kampot 23 orang, sedang di Kompong Chhnang 53 orang lebih. Sementara itu, penduduk biasa nasibnya lebih baik. Mereka segera disuruh pergi. Hanya barangnya yang dirampas. Buat penanggung jawab keamanan, situasi ini masih dianggap bisa dikendalikan. Para gerilyawan itu hanya dinilai mengganggu keamanan, mengacau komunikasi, dan merebut pasokan makanan dari rakyat. Soal penguasaan, Khmer Merah hanya dihitung kuat di daerah-daerah terpencil. "Cuma di pedesaan, jauh dari tempat-tempat sibuk," kata Mayjen. Than Chan, wakil ketua bagian politik pertahanan dan keamanan di Phnom Penh. Taktik tentara Hun Sen memang mempertahankan tempat-tempat strategis jalan, pelabuhan, dan ibu kota provinsi, misalnya. "Asal itu aman, kami tidak terancam," tutur Than Chan kepada TEMPO. Di tengah suasana muram itu Hun Sen masih sempat tersenyum sebentar. "Berarti langkah Kamboja selama ini sudah tepat," katanya, mengomentari langkah baru Amerika itu dalam konperensi pers. Banyak orang sudah berharap, Amerika akan segera memberikan bantuan ekonomi untuk pembangunan Kamboja. Maklum, bantuan negara komunis memang sudah dihentikan sejak Desember tahun lalu. Demikianlah, Senin pekan ini di New York, untuk pertama kalinya Amerika Serikat mengadakan kontak langsung dengan Vietnam sebagai realisasi janji Baker. Inilah kontak politik mereka yang pertama selama dua belas tahun ini. Yang diagendakan pun melulu soal Kamboja. Rakyat Kamboja kini tinggal berdoa. Yuli Ismartono (Phnom Penh), YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini