FUAD Hassan akhir-nya mengikuti pendahulunya, yakni meneruskan tradisi "ganti menteri, ganti kebijaksanaan". Dan, kebijaksaan baru yang dilontarkan Menteri P dan K itu, yakni menghapus sistem penjurusan di SMA. "Sistem penjurusan yang ada di SMA sekarang ini diterapkan dengan tanggung. Kita tak bisa membedakan lagi penjurusan di SLTA umum dengan sekolah kejuruan," kata Fuad di hadapan wartawan, seusai menutup rakernas departemennya di Sawangan, Bogor, pekan lalu. Menurut Menteri, ide ini muncul terutama karena ada perkembangan ilmu pengetahuan. Hal itu tentu saja akan menuntut perubahan kurikulum sekolah. "Guna menampung kemungkinan munculnya ilmu-ilmu baru," kata Fuad. Sebagai misal, katanya, belakangan ini ilmu ekologi (lingkungan) sedang in. "Sebagai ilmu baru, mau dimasukkan ke A (jurusan) mana?" tanya Fuad. Ia juga khawatir, pembagian jurusan di SMA itu akan semakin panjang. Celakanya, sistem penjurusan SMA yang sekarang pun tak diterapkan secara penuh. Akibatnya, ya itu tadi, rancu dan tanggung. "Jangan sampai ada sekolah yang disebut sekolah kejuruan tapi kegiatannya sastra. Demikian sebaliknya dengan SMA Umum. Kegiatannya harus betul-betul umum," kata Fuad. Sebab, katanya lagi, penjurusan di SMA tak memperlihatkan dengan tegas, apakah itu jurusan atau keahlian. Sejarah penjurusan SLTA di Indonesia memang panjang. Di zaman kolonial -- sampai dengan masa awal kemerdekaan -- jurusan di SMA hanya A, B, dan C. Tahun 1960-an, datang lagi perubahan dengan munculnya istilah SMA jurusan Paspal (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam) dan jurusan Sos (Ilmu Sosial). Tahun 1975, di bawah Menteri P dan K Syarif Thayeb (1974-1978), dua jurusan tadi diubah lagi menjadi IPA (llmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Ternyata, pembagian SMA -- hanya dengan dua jurusan tadi -- dirasa belum cukup. Maka pada 1984, muncul lagi kebijaksanaan penjurusan di SMA. Tak tanggung-tanggung, lahirlah lima jurusan. Yakni, jurusan A1 (ilmu-ilmu fisika), A2 (ilmu-ilmu biologi), A3 (ilmu-ilmu sosial), A4 (ilmu-ilmu budaya dan bahasa). Pada zaman Menteri Nugroho Notosusanto, jurusan ditambah satu lagi yaitu AS (teologi). Memang, Menteri Fuad sendiri juga menganggap, tidaklah bijaksana kalau wawasan anak didik dipersempit terlalu dini dengan mengkotak-kotakkannya ke dalam jurusan yang ada. "Yang penting, dan yang tidak mungkin hilang, adalah memberikan dasar agar anak didik menjadi trainable, tanpa menghilangkan kepentingan anak yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi." Menurut Harsya W. Bachtiar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K, dengan sistem ini nanti, siswa yang tak berbakat dalam ilmu tertentu dimungkinkan untuk tidak memilih pelajaran tersebut. Sebagai gantinya, si anak didik bisa mengambil mata pelajaran yang lain. Seperti sistem kredit di perguruan tinggi. "Pokoknya, si anak bisa memilih mata pelajaran sesuai dengan bakatnya," kata Harsya kepada TEMPO. Siswa yang tak ingin melanjutkan juga bisa memilih pelajaran keterampilan. Asasnya, kata Prof. Drs. S. Vembriarto, adalah "kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang diminati". Menurut bekas Rektor IKIP Yogyakarta ini, penjurusan yang ada selama ini mubazir dan tidak realistis. "Dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) misalnya, penjurusan itu diabaikan. Lulusan A1 bisa masuk ke mana saja." Dalam pengumuman hasil UMPTN Senin ini, memang terlihat banyak nama anak dari jurusan "basah" SMA. Jika sistem baru ini dilaksanakan, maka orang pertama yang akan menghadapi akibat perubahan di lapangan, tentu saja para guru. Dan Julius Wahjanto, Wakil Kepala SMA 3 Jakarta, menyambut berita itu dengan gembira. Dia menilai penghapusan jurusan tersebut akan menghilangkan pula rasa superioritas dan minder. Memang, kenyataan selama ini, siswa yang masuk jurusan matematika, misalnya, merasa lebih unggul dibandingkan dengan siswa jurusan sosial. "Dan, sistem penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi pun tak adil. Karena, banyak siswa dari Jurusan A1 dan A2 yang ikut mendaftar di fakultas ekonomi atau fakultas ilmu sosial lainnya. Ini menyebabkan semakin sempitnya lahan yang tersedia bagi lulusan A3," kata Julius. Dari Yogyakarta, juga ada suara sependapat dengan penghapusan jurusan tersebut. Menurut pengalaman Barsono, kepala sebuah SMA negeri di kota pelajar itu, banyak siswa yang menolak jika dimasukkan ke jurusan A3 dan memilih pindah ke jurusan A1. "Tapi, setelah tahu di A3 ada mata pelajaran akuntansi, mereka balik lagi minta pindah. Memang merepotkan," kata Barsono. Sistem pendidikan di Indonesia nampaknya sedang mencari-cari bentuk yang tentunya bisa membingungkan orang. Drost, Kepala Sekolah SMA Kanisius Pejaten, Jak-Sel, misalnya, ikut mempertanyakan sistem pendidikan macam apa yang diinginkan. Menurut ahli pendidikan ini, ada dua sistem pendidikan yang dikenal di dunia ini, yakni sistem Eropa dan sistem Amerika (Kontinental). Jika mau menganut sistem Eropa, menurut Drost, harus ada penjurusan. Dan penjurusan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Sebaliknya, jika mau memakai sistem Amerika yang tidak mengenal penjurusan, konsekuensinya, di Indonesia harus ada college. Mungkin para guru dan siswa tak perlu cemas dulu karena perubahan itu tak akan datang terlalu cepat. Kurikulum yang sesuai dengan keputusan penghapusan sistem penjurusan itu baru akan rampung 1991. Dan, SMA tanpa jurusan yang diidamkan Fuad baru akan terwujud tiga tahun kemudian. Rustam F.M., Leila Chudori, Sri Indrayati (Jakarta), dan Tri Jauhari (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini