Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada 7.490 pengungsi asal Afganistan yang kini ditangani UNHCR.
Sebagian lagi masih terlunta-lunta dan bertahan hidup dengan cara masing-masing.
Mereka menunggu kesempatan untuk dipindahkan ke negara tujuan, seperti Australia.
SIANG itu, Khudad Ibrahimi, pengungsi asal Afganistan, bersama delapan rekannya sibuk mengaduk semen dan pasir di depan sebuah rumah bercat hijau di bukit kecil di Citeko, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebuah perosotan oranye tampak tertanam di dekat tangga batu menuju rumah beratap genteng itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka sedang merombak bekas gedung serbaguna itu menjadi sekolah bahasa untuk anak-anak imigran yang tinggal di daerah tersebut. “Kami berharap anak-anak kami dan imigran dari negara lain bisa mendapat pendidikan bahasa asing di sini, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional,” kata Khudad pada Senin, 23 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khudad kabur dari Afganistan pada 2014 karena menolak tekanan Taliban. Meski rezim Taliban sudah tak menguasai Kabul sejak 2001, milisi mereka masih berkuasa di berbagai daerah. Menurut Khudad, Taliban tidak memberikan demokrasi dan toleransi kepada rakyat Afganistan. Rakyat dipaksa mengikuti aturan yang Taliban buat sendiri dengan mengatasnamakan syariat Islam, tapi tidak sejalan dengan syariat Islam yang sesungguhnya.
“Mereka berbicara tentang Islam tapi cara mereka justru merusak nama Islam. Mereka tidak mau mengurus anak yatim dan membiarkan orang miskin kelaparan. Adapun Islam mengajarkan belas kasih, menyayangi anak yatim, dan memperhatikan warga miskin, termasuk menjamin kehidupan warga non-Islam serta bebas melakukan transaksi dan bisnis,” tutur Khudad. “Taliban tidak seperti itu. Mereka otoriter.”
Ahmadi Dadvar Badrhowi, imigran Afganistan lain, juga punya pandangan serupa. Menurut dia, Taliban telah memaksa rakyat Afganistan patuh pada aturan yang mereka buat. Jika ada yang tidak patuh, orang tersebut akan dihukum penjara dan bahkan sampai ditembak mati. “Itu yang membuat 15 ribu lebih warga Afganistan memilih mengungsi, meski harus meninggalkan tanah kelahirannya,” ucap mantan guru di Kabul itu.
Khudad bersama saudaranya meninggalkan kampung halaman mereka di Provinsi Parwan, dekat Kabul, enam tahun lalu. Mereka dibantu “penyedia”, orang yang menyelundupkan mereka keluar dari negeri itu, dengan ongkos sekitar Rp 100 juta per orang, yang meliputi biaya pembuatan paspor dan penyediaan sarana transportasi.
Dari Kabul, mereka terbang ke Malaysia, lalu naik perahu ke Medan dan kemudian naik pesawat ke Jakarta. “Tugas penyedia cuma sampai situ. Selanjutnya kami sendiri yang harus mendatangi UNHCR dan mencoba mendaftar sebagai imigran,” kata Khudad. Namun, kata dia, hingga kini Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) belum merespons permohonannya.
Sejumlah pencari suaka asal Afghanistan beraktivitas di dalam tenda di ruas jalan Kawasan Kebon Sirih Barat Satu, Jakarta, 26 Agustus 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
“Kalau ada kesempatan dan kami sudah memiliki bekal bisa berbahasa asing, biasanya kami akan mengajukan permohonan untuk migrasi ke negara ketiga atau negara tujuan,” ujar Khudad. Menurut dia, kebanyakan pengungsi ingin bermigrasi ke Australia yang dekat dengan Indonesia. “Bagi kami, Indonesia ini sebagai negara transit sebelum kami menuju Australia sebagai negara tujuan kami.”
Imigran Afganistan yang sudah berstatus pengungsi legal pun nasibnya masih terkatung-katung. Mohammad Jan Sultani, misalnya. Pemuda 23 tahun asal Provinsi Ghazni itu anggota Hazaras, suku minoritas yang paling banyak dipersekusi di Afganistan.
Saat berusia belasan tahun dia pernah ditangkap Taliban dan disekap selama tujuh tahun tanpa makanan yang layak. Dia kabur dari tanah airnya pada 2014 dan kini bermukim di penampungan pengungsi yang dikelola oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Pekanbaru.
Sultani merasa Indonesia tidak begitu menerima dia dan pengungsi lain untuk tinggal lama. “Indonesia dapat dikatakan hanya sebagai tempat transit kami. Aku ingin ke negara lain tapi prosesnya masih lama dan belum ada perkembangan lagi,” tuturnya kepada Hafsah Charunnisa dari Tempo.
Sultani kini tak tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa bersekolah ataupun bekerja. “Keluargaku juga masih di Afganistan dan benar-benar dalam bahaya karena Taliban berkuasa lagi. Ini benar-benar mimpi buruk dan aku bahkan sudah tak bisa mendengar kabar dari keluarga karena di sana tak ada listrik dan Internet,” katanya. “Aku hanya bisa berdoa agar mereka selamat.”
Menurut data UNHCR Indonesia, ada 7.490 pengungsi asal Afganistan atau separuh dari total pengungsi yang ditangani lembaga itu di negeri ini per Juni 2021. Namun, menurut Khudad, lembaga itu hanya mengurus sebagian pengungsi dan sisanya berusaha bertahan hidup dengan cara masing-masing. “Sebagian pergi ke daerah yang mereka kehendaki. Seperti saya dan saudara saya pergi ke sini, ke Bogor,” ujarnya.
Khudad mengaku senang tinggal di Bogor. “Orangnya baik-baik dan santun. Bahkan kami sekarang bisa saling membantu antarwarga. Kami paham bahwa kami di sini menumpang. Jadi kami harus berbuat baik kepada penduduk di sini,” ucapnya.
Kini Khudad, Ahmadi, dan imigran lain tinggal di rumah-rumah kontrakan. Untuk menyambung hidup, mereka membantu orang Afganistan yang punya toko di pasar. Menurut Ahmadi, tidak mudah bagi mereka untuk mencari nafkah.
Hanya perkawinan dengan warga lokal yang membuka pintu bagi mereka untuk berusaha. Ahmadi mencontohkan, jika ada pria Afganistan yang cukup berpunya dan ingin punya toko, dia harus menikah dulu dengan perempuan Indonesia dan baru meminta izin membuka toko dengan memakai identitas sang istri. “Jika tidak begitu, kami sulit berjualan atau membuka toko di sini,” kata Ahmadi.
Kepala Desa Citeko, Sahrudin, mengatakan para imigran ini sudah ada sejak 2012. Menurut dia, mereka adalah imigran yang terdata dan tercatat di UNHCR dan Kantor Imigrasi. Dia membantah jika mereka disebut imigran gelap yang tidak diurus oleh UNHCR.
Menurut Sahrudin, ada ratusan imigran yang tersebar di beberapa desa di Cisarua, dari Citeko, Cibereum, Babakan, Ciburial, hingga Batukasur. “Awal mereka tiba di sini terkadang ada kesalahpahaman dengan warga setempat karena mungkin belum beradaptasi dan berbeda budaya dan adat. Tapi lama-kelamaan akhirnya mereka dapat hidup berdampingan dan berbaur,” tuturnya.
Pemerintah desa, ucap Sahrudin, hanya dapat membantu mereka ala kadarnya. Dia mengatakan kebanyakan bantuan datang langsung dari UNHCR dan Kantor Imigrasi serta organisasi kemanusiaan internasional. “Yang terpenting bagi kami, selama mereka hidup rukun dan tidak mengganggu warga, kami sih enjoy saja. Jika ada keberatan dari masyarakat, baru kami tindak dan kami teruskan aduannya ke Imigrasi,” tuturnya. Misalnya soal pembangunan sekolah bahasa itu. “Selama warga desa tidak terganggu, ya, kami biarkan. Toh, itu hak mereka untuk mendapat pendidikan.”
Persoalan sempat muncul ketika sekitar 300 imigran menemui Kepala Desa Tugu Utara, Asep Makmun, untuk minta diikutsertakan dalam program vaksinasi Covid-19. Namun, karena tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia, mereka tidak terdaftar sebagai calon penerima vaksin. “Memang mereka sudah lama tinggal di sini, tapi kan secara administrasi kependudukan mereka tidak terdaftar di sini sehingga tidak mendapat hak vaksinasi itu,” ucap Asep.
Asep mengatakan permohonan para pengungsi itu sudah dia teruskan kepada otoritas atau instansi yang mengurusi mereka. “Katanya dalam pekan ini akan mulai melakukan pendataan,” katanya.
MAHFUZULLOH AL MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo