Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kolaborasi liputan pencurian ikan di Natuna oleh jurnalis empat negara.
Pencurian tak semata karena stok ikan di Vietnam berkurang.
Ada sebab dan akibat, ada permintaan dan penawaran.
HENDRI, 50 tahun mengenang masa-masa emas nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, pada periode sebelum 2010. Kala itu, ikan berlimpah dan harga jualnya bagus karena pasar terbuka ke Kota Tanjungpinang, Batam, dan Pontianak, bahkan sampai ke Singapura dan Malaysia. Menurut Ketua Aliansi Nelayan Natuna itu, semuanya perlahan berubah setelah kapal nelayan asing berdatangan dengan jaring pair trawl yang merusak terumbu karang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat menghilang pada 2014, kapal nelayan dari Vietnam itu kembali marak pada akhir 2019. Jaring pair trawl mengubah drastis keberuntungan nelayan Natuna dan membuat penghasilan mereka turun lebih dari 50 persen. Tapi mereka tak punya pilihan untuk berganti pekerjaan. "Mau tidak mau ke laut meski hasilnya sedikit," kata Hendri, tekong Kapal Motor Tri Putra Bahari, kapal pancing berukuran 6 gross tonnage.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal tangkapan ikan yang berkurang tak hanya dikeluhkan nelayan Natuna, tapi juga para penangkap ikan yang tinggal di pantai timur Malaysia. Pair trawl—ada yang menyebutnya pukat harimau yang ditarik dengan dua kapal—menyapu lautan hingga ke dasar. Jaring yang dikategorikan tidak ramah lingkungan ini tidak hanya membuat ikan-ikan kecil tertangkap, terumbu karang yang menjadi rumah dan tempat berkembang biak ikan pun tak selamat.
Pengejaran kapal ikan Vietnam di perairan Laut Natuna Utara, 27 April 2021. Dok. Direktorat PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan
Liputan kolaborasi oleh jurnalis Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina ini menemukan bahwa apa yang dialami nelayan Natuna tersebut merupakan dampak aktivitas yang di dunia internasional disebut illegal, unreported, and unregulated fishing—penangkapan ikan ilegal, tak dilaporkan, dan tanpa aturan—di wilayah Laut Cina Selatan.
Produksi ikan Laut Cina Selatan ditaksir 10 juta ton, sekitar 12 persen dari tangkapan global pada 2015. Jumlah ini jauh berkurang dibanding bertahun-tahun sebelumnya. Studi yang dilakukan Rashid Sumaila dan William Cheung dari University of British Columbia, Kanada, menemukan praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal telah mengosongkan 70-90 persen sumber daya ikan di perairan ini sejak 1950-an.
Menurut Pung Nugroho Saksono, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia menamai Laut Cina Selatan sebagai Laut Natura Utara. Ia menyebut perairan yang menjadi batas sebelas negara ini sebagai "daerah seksi" sehingga menjadi incaran. "(Potensinya) bukan hanya ikan. Banyak minyak," tuturnya, Rabu, 25 Agustus lalu.
•••
KAPAL nelayan Vietnam yang masuk ke Indonesia, juga ke Malaysia, antara lain berasal dari Pelabuhan Tac Cau, Kien Giang, provinsi di barat daya Vietnam. Tinh, 34 tahun, salah satu anak buah kapal seberat 200 ton dari pelabuhan itu. Seperti nelayan laut dalam Vietnam lain, ia bekerja di kapal yang berpasangan dengan satu kapal serupa untuk menarik pair trawl.
Tinh dan awak kapal pasangan ini akan mengembara di laut selama tiga bulan. Setelah ikan sarden, mata besar merah, dan kakap merah mengisi setengah ruang penyimpanan, pemilik kapal akan mengirimkan kapal logistik yang memasok minyak, es, dan makanan. Kapal logistik itu kemudian kembali ke pelabuhan dengan membawa ikan tangkapan untuk dijual.
Sebelum setiap perjalanan, setiap kru dibayar di muka sekitar Rp 9,1 juta, sisanya setengah tahun kemudian. Tinh mengatakan, beberapa tahun terakhir, keadaan di laut makin keras dan penghasilan mereka berkurang. "Masing-masing sekarang hanya mendapat Rp 9,1-12 juta. Kadang bahkan tidak mendapat apa-apa," ucapnya.
Karena jarak geografis, kapal nelayan Vietnam itu sering tidak menuju laut yang berbatasan dengan Cina, tapi mengarah ke daerah yang lebih dekat dengan perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia. Tinh mengatakan, karena begitu asyik mengikuti ikan, kapalnya berkali-kali merambah perairan kedua negara tersebut. "Kapten tahu bahwa dia melanggar hukum, tapi dia tetap melakukannya karena ada lebih banyak ikan di sana," ujarnya.
Saat masuk ke perairan Indonesia pada 2020, Tinh dan kapalnya ditahan. Namun ia mengatakan banyak kapal Vietnam yang ditahan secara tidak adil. "Mereka memancing di perairan yang klaimnya tumpang-tindih. Orang Vietnam mengira itu daerahnya. Orang Malaysia dan Indonesia meyakini itu milik mereka dan menangkap nelayan Vietnam," katanya.
Duy, 40 tahun, nelayan dari Pelabuhan Sa Kỳ, Quảng Ngãi, salah satu yang pernah ditangkap di Malaysia. Nakhoda itu memilih ke Malaysia, bukan perairan Kepulauan Paracel dan Spratly seperti generasi sebelumnya. "Itu perairan negara kita, tapi kapal-kapal penjaga pantai Cina sering menangkap, bahkan menembaki nelayan," tuturnya.
Menurut Duy, nelayan sering dikerahkan pemerintah Vietnam ke Paracel dan Spratly untuk menangkap ikan dan menjamin kedaulatan negara. Masalahnya, dia menambahkan, jika kapal nelayan dirusak Cina, tidak ada bantuan dana perbaikan dari negara. "Lagi pula, daerah penangkapan ikan di Spratly dan Paracel sekarang tidak melimpah lagi. Kapal nelayan Cina menghabiskan ikannya," ucapnya.
Nguyen Thi Phuong, peneliti dari Vietnam National University-University of Science, mengatakan ikan di daerah penangkapan dekat pantai telah habis karena kapal yang beroperasi berjumlah banyak dan jaringnya tak ramah lingkungan. Nelayan pun tak berani ke Paracel dan Spratly karena kapal nelayan Cina terbuat dari besi, berukuran besar, dan bermesin modern. "Itu sebabnya mereka harus pergi sejauh mungkin ke perairan lain."
Bukan hanya nelayan Vietnam yang berseteru dengan Cina di Laut Cina Selatan. Nelayan di Pulau Pag-asa, yang berjarak 932 kilometer sebelah barat daya Manila, mengalami hal sama. Larry Hugo, salah satu nelayan, bercerita, dulu, hanya mengayuh perahu beberapa ratus meter dari bibir pantai saja, ia sudah bisa mendapatkan banyak ikan. Tangkapan itu memberinya penghasilan harian Rp 144-294 ribu, tiga-empat kali gajinya sebagai pekerja kontrak.
Semuanya berubah pada 2014, ketika Cina mulai membangun fasilitas militer di pulau buatan di Karang Subi. "Ketika mereka akhirnya mengerumuni daerah itu, kami tidak bisa lagi pergi ke sana," Hugo mengenang. Terumbu karang yang diduduki Cina, yang terletak 26 kilometer di barat daya Pag-asa, itu dulu merupakan daerah penangkapan ikan yang kaya. Ia dan nelayan lain sering melaut ke sana.
Banyaknya kapal nelayan Vietnam yang mencuri ikan di perairan Malaysia bisa dilihat dari data kasus penangkapan. Menurut Direktur Jenderal Departemen Perikanan Malaysia Ahmad Tarmidzi Ramly, sebanyak 80 persen dari sekitar 300 nelayan asing yang ditangkap di perairan Malaysia sejak 2019 berasal dari Vietnam. Pencurian ikan oleh nelayan dari negara tetangga ini membuat nelayan Malaysia harus mencari ikan lebih jauh.
Rosilawati Ismail, nelayan di Kuantan, Pahang, mengatakan, dulu ia cukup melaut sekitar 8 kilometer dari pantai. Sekarang ia dan nelayan pesisir lain terpaksa melaut sejauh 17 kilometer dari pantai untuk menemukan ikan. "Dulu (lima-enam tahun lalu) kami bisa mendapatkan 200 kilogram ikan sekali jalan. Sekarang kami berjuang keras untuk memperoleh 100 kilogram," kata perempuan 44 tahun itu.
Untuk sekali melaut, Rosilawati membutuhkan biaya sekitar Rp 434 ribu. Namun hasil tangkapannya cuma Rp 154 ribu. "Itu tidak menutup biaya kami," tuturnya. Ia menyebutkan stok ikan menipis karena faktor nelayan asing dengan jaring trawl. "Mereka menangkap semuanya, bahkan ikan terkecil, dan menghancurkan apa pun, termasuk karang." Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Rosilawati menambahkan, kini nelayan lebih sering pulang dengan tangan kosong.
Bagi Indonesia, pencurian oleh kapal nelayan Vietnam ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Sepanjang 2021 hingga Agustus ini, setidaknya ada 25 kapal ikan yang ditangkap. Dalam lima tahun terakhir, total 489 kapal nelayan asing ditangkap. Dari jumlah itu, sebanyak 286 kapal dari Vietnam ditangkap di perairan Natuna Utara. "Sebenarnya banyak yang tidak tertangkap," ujar Pung Nugroho.
Seperti halnya di Malaysia, dampak kehadiran kapal asing itu lebih dirasakan oleh nelayan, khususnya di Natuna. Menurut Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna, dari sekitar 700 pencari ikan di wilayah itu, sebagian kecil menggunakan pancing ulur dan pancing tonda. Pancing ulur dipakai untuk menangkap ikan dasar di sekitar karang, sementara pancing tonda buat ikan tongkol di permukaan. Yang lain, sekitar 500 orang, menangkap ikan dengan bubu apung, yang lokasinya di dekat pantai atau yang terjauh 15 mil.
Penggunaan pancing ulur sangat bergantung pada keberadaan karang. Alat yang bisa diisi hingga tiga mata pancing itu diulur ke dalam laut di sekitar karang pada kedalaman sekitar 80 meter di tengah laut. Nelayan sudah mengetahui lokasinya dari rekaman di perangkat pelacak posisi (global positioning system). Setiba di sana, pancing diulur dan biasanya umpannya langsung dimakan ikan. "Sekarang spot itu hancur semua karena kapal Vietnam menggunakan pair trawl," kata Hendri.
Endang Firdaus, tekong untuk kapalnya sendiri yang berdaya muat 4 gross tonnage, merasakan berkurangnya penghasilan nelayan beberapa tahun terakhir. Ia menyebutkan penyebabnya adalah kapal nelayan asing yang merusak karang dengan pukat harimau. Tangkapannya jauh berkurang dibanding beberapa tahun silam. Pada 2014, ia bisa mendapatkan ikan 700 kilogram dari sekali perjalanan selama delapan hari. Sekarang ia cuma memperoleh 400 kilogram. "Area pancing kita sudah banyak habis oleh trawl kapal asing," ucapnya.
Endang mengaku sering berpapasan dengan kapal nelayan Vietnam. Pada awal 2020, dia mengaku bertemu dengan kapal nelayan asing itu di area sekitar 30 mil dari Pulau Laut di Kepulauan Natuna. Ia memilih menghindar. "Melawan susah. Kapal mereka besar, dan mereka tidak sendirian," ujarnya. Menurut dia, Laut Natuna Utara seperti diserbu kapal nelayan asing sejak akhir 2019.
Hendri mengatakan banjir kapal ikan asing membuat pendapatan nelayan berkurang. Pada 2005-2010, nelayan yang melaut sehari bisa mendapatkan 100 kilogram kakap merah dan kakap anggoli. Dengan perolehan Rp 2 juta, kapten kapal yang juga pemilik kapal mendapat bagian Rp 1 juta, sementara dua anak buahnya memperoleh masing-masing Rp 500 ribu. "Sekarang cari Rp 500 ribu itu susah," katanya. Dengan hasil seperti itu, anak buah kapal akan mendapat gaji Rp 100 ribu dan pemilik kapal beroleh Rp 300 ribu.
Adapun nelayan yang memancing jauh selama sepuluh hari bisa membawa 1,5-2 ton kakap merah dan kerapu beberapa tahun sebelumnya. Dengan nilai tangkapan sebanyak itu yang bisa mencapai Rp 70 juta, pendapatan bersih kapal sekitar Rp 50 juta. Anak buah kapal biasanya digaji Rp 7 juta per orang. "Sekarang mendapatkan Rp 1-2 juta saja sudah susah. Maksimal Rp 2-2,5 juta," Hendri menambahkan.
Situasi berbeda dialami nelayan bubu apung yang melaut selama 18 hari dalam sebulan. Menurut Hendri, mereka relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kedatangan kapal asing. Tangkapan mereka adalah ikan permukaan, seperti tongkol. Harganya lebih murah daripada ikan dasar. "Kalau dalam satu masa kerja itu, anak buah kapal bisa bergaji sampai Rp 5 juta," tuturnya.
Selain meningkatkan patroli di Natuna Utara, pemerintah mendatangkan nelayan jaring cantrang dari Tegal, Jawa Tengah, pada awal 2020. Setidaknya ada 30 kapal berukuran lebih dari 100 gross tonnage menuju ke sana. Bagi pemerintah, misi utama relokasi nelayan ini adalah mengurangi pencurian oleh kapal ikan asing dan meningkatkan kehadiran nelayan di perairan yang diwarnai tumpang-tindih klaim antara Vietnam dan Indonesia itu.
Salah satu kapal yang ikut dalam misi "menjaga kedaulatan" itu adalah Kapal Motor Triana 2, berbobot 111 gross tonnage. Tekongnya adalah Giono Bakri. Ia, bersama koleganya, berangkat dari Tegal pada Maret 2020. Untuk melaut ke perairan di perbatasan itu, ia membeli 30 ton bahan bakar minyak dengan harga Rp 9.000 per liter. Ia juga membeli peralatan dan berbelanja makanan untuk kebutuhan dua bulan dengan alokasi Rp 200 juta. Perjalanan Tegal menuju Natuna memakan waktu tujuh hari.
Namun alangkah kecewanya Giono saat tangkapannya tak sesuai dengan harapan. Dia mengungkapkan, dari sehari melaut di Laut Natuna Utara, tangkapannya cuma 4-50 kilogram. Dari sepuluh hari melaut, ia mendapatkan 2 kuintal atau 200 kilogram ikan kerisi dan kuniran. Giono dan rekan-rekannya sempat libur melaut selama empat hari dengan berteduh di Pulau Laut. "Waktu itu ada prediksi ombak setinggi 4 meter," kata Giono, Rabu, 18 Agustus lalu.
Tak mendapatkan ikan di Laut Natuna Utara, rombongan lantas melaut di Pulau Subi, yang berbatasan dengan Malaysia. Di sini nasib mereka lebih baik, mendapatkan 5 ton ikan mata lebar dan damang dalam lima hari. Melihat ikan tangkapan yang minim, pemilik kapal memintanya pulang. Dalam perjalanan pulang, KM Triana 2 sempat melaut di perairan Serutu dan beroleh 3 ton ikan.
Karena minimnya tangkapan di Natuna, Giono melanjutkan, pemerintah memberikan izin melaut sementara di Laut Jawa di tengah perjalanan pulang. Di sana mereka bertahan 25 hari sebelum akhirnya pulang ke Tegal. Dari melaut selama dua bulan itu, mereka mendapatkan Rp 400 juta. Jumlah itu tak menutup pengeluaran yang ditaksir sekitar Rp 800 juta. Akhirnya, anak buah kapal sebanyak 24 orang mendapat upah masing-masing Rp 3 juta. "Ngenes," ucap Giono.
Kepala Himpunan Nelayan Tegal, Riswanto, mengatakan kapal nelayan Tegal hanya bertahan sebulan dari rencana tiga bulan di Natuna. Perairan Natuna berbeda dengan Laut Jawa. Arusnya lebih deras dan lautnya lebih dalam. Jaring cantrang pun tidak efektif karena seperti melayang di dalam air, berbeda dengan trawl. Biaya operasional juga tinggi, sementara pemerintah hanya memberikan subsidi harga bahan bakar minyak. "Kami siap bela negara, tapi jangan juga tidak dapat apa-apa. Di rumah kan ada anak istri yang harus diberi nafkah," ujar Riswanto.
Pengalaman mobilisasi nelayan Tegal ke Natuna, yang pulang lebih cepat dari jadwal, tak menyurutkan tekad pemerintah. Menurut Pung Nugroho, pemerintah berusaha meningkatkan kehadiran di perairan itu antara lain melalui rencana relokasi nelayan dari wilayah penangkapan ikan berlebih (overfishing), seperti Laut Jawa. "Dengan relokasi itu, saya yakin peredaran kapal asing di Natuna berkurang," katanya.
Hendri berpendapat daripada memobilisasi nelayan luar untuk menjaga wilayah perairan ini, lebih baik pemerintah meningkatkan kapasitas armada dan memodernisasi alat tangkap nelayan Natuna. Saat ini jumlah kapal nelayan lokal yang bisa mencapai perbatasan sekitar 20 unit, meski kapasitasnya sekitar 15 gross tonnage dan setiap kapal diawaki tiga-empat orang. Bandingkan dengan Vietnam yang jumlah kapal dan awaknya puluhan. "Kalau nelayan kita ramai, Vietnam akan takut juga," tutur Hendri.
YOGI EKA SAPUTRA, ASEANTY PAHLEVY, JAMAL A. NASHR, DAVID PRIYASIDAHRTA (INDONESIA), ALIZA SHAH (MALAYSIA), VO KIEU BAO UYEN (VIETNAM), DAN KEITH ANTHONY FABRO (FILIPINA) BERKONTRIBUSI DALAM LIPUTAN INI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo