Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negeri Yang Makin Berdarah

Filipina semakin bergelimang darah manusia. 20 demonstran, 28 wartawan dan puluhan gerilyawan tewas di berondong peluru pemerintah. Di wilayah Davao terjadai aksi bunuh diri masal.(ln)

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI awal pekan ini makin banyak saja darah tertumpah di Filipina. Setelah 20 demonstran terbunuh di Escalante, Filipina Tengah, maut seperti menjalar ke mana-mana. Di Davao, seorang redaktur majalah independen tewas di tangan penembak tak dikenal, Ahad lalu. Seorang wartawan lain lolos dari percobaan pembunuhan. Dengan demikian, sejak 1979, sudah 28 wartawan yang gugur di negeri itu. Hari itu juga, di kota yang sama, tiga penduduk ditembak mati oleh pihak yang dicurigai sebagai anggota gerilya komunis (NPA). Di Jolo, ibu kota Provinsi Sulu, Wakil Gubernur Alano Maldiza diberondong oleh sekawanan kelompok bersenjata. Bersama dia, tewas tiga orang lain, termasuk adik kandungnya sendiri. Di provinsi ini, kelompok-kelompok pemberontak Islam dan gerilyawan komunis beroperasi di kawasan yang sama. Sehari sebelumnya, dalam sebuah aksi pembersihan di Provinsi Surigao Del Sur, Filipina Selatan, tentara pemerintah menembak mati 25 gerilyawan komunis setelah sebuah pertempuran sengit. "Dua prajurit gugur dan sepuluh lainnya luka-luka," ujar komandan militer daerah itu, Brigjen Madrinio Munoz. Kontak senjata itu terjadi ketika patroli militer memergoki sekitar seratus gerilyawan sedang mempersiapkan serangan atas Kota San Agustin. Davao, Mindanao Selatan, memang tampak suram oleh aksi protes kelompok oposan. Sekolah dan perguruan tinggi masih ditutup, demikian pula sebagian besar toko dan kantor dagang. Para demonstran menutup sejumlah jalan raya dengan batang kelapa dan tumpukan batu sehingga perusahaan bis dan truk tidak bisa beroperasi. Di wilayah ini, peristiwa tragis dua pekan sebelumnya masih membayang, yaitu aksi bunuh diri 68 warga suku Ata, dengan sebab yang belum jelas. Tindakan nekat ini dipimpin langsung oleh kepala suku, Datu Mangayanon, dengan memberi bubur beracun kepada kaumnya. Sebuah sumber menyebutkan, Datu memimpin "aksi" itu setelah gagal mengubah daun menjadi uang. Tetapi, menurut Kolonel Rodolfo Riason, komandan pasukan marinir yang ditugasi mengamankan kawasan bunuh diri itu, "Mereka nekat karena takut mati kelaparan." Wakilnya, Kapten Basilio Calimag, mengakui, "Kami dikirim pemerintah untuk mencegah meluasnya aksi bunuh diri ini ke suku-suku lain yang berdekatan." Pemerintah Marcos memang dibikin sibuk luar biasa oleh rangkaian kejadian ini. Sebuah tim khusus sudah dibentuk untuk memeriksa terbunuhnya 20 demonstran di Escalante itu. Sementara itu, seorang rohaniwan Kristen berkebangsaan Belanda, Niko Hostede, ditangkap bersama 20 orang lain dengan tuduhan menghasut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus