Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA tergeletak kaku dengan poster anti-Marcos tergenggam di tangan. Lewat siaran tv, Letjen Fidel Ramos menyatakan bahwa polisi terpaksa menembak mereka karena semua peringatan tidak dihiraukan. "Polisi cuma mempertahankan diri," ucap kastaf angkatan bersenjata Filipina ini seraya memastikan bahwa "orang-orang itu juga bersenjata". Dia berkomentar tentang peristiwa berdarah di kota kecil Escalante, yang terletak di Pulau Negros, Filipina Tengah, yang terjadi Sabtu silam. Menurut Ramos, setelah massa bisa dicerai-beraikan, ditemukan beberapa pucuk senjata dan tiga granat tangan. Sebaliknya, menurut Uskup Antonio Fortich, yang terjadi adalah pembantaian secara dingin. "Tentara menembak membabi buta ke arah demonstran yang melarikan diri," kata rohaniwan dari Bocolod ini. Pembantaian yang disesalkan Fortich itu telah menewaskan sedikitnya 20 orang, sebagian besar penganggur, petani perkebunan tebu yang terkena PHK. Kerawanan ekonomi juga menggerakkan 12.000 pengemudi bis di Cebu, 15.000 orang di Iloilo, 5.000 orang di Bataan, dan 2.000 orang di Davao. Dimulai sejak Kamis dari Filipina Tengah, unjuk perasaan orang-orang sengsara itu menjalar tak tertahan ke utara dan selatan. Tapi demonstrasi yang terjadi di Manila, Sabtu siang, justru mencerminkan protes politik, dan hampir sama sekali tak ada kaitannya dengan kerawanan ekonomi. Dipersiapkan khusus untuk memperingati 13 tahun UU Darurat yang diberlakukan Presiden Marcos pada 21 September 1972 demonstrasi kabarnya diperkuat 25.000 orang. Mereka turun ke jalan, menembus hujan, dan menyerbu ke arah Istana Malacanang. Akibatnya, Presiden Marcos, yang berjanji tampil di depan umum untuk memperingati 21 September, terpaksa tidak muncul. Marcos diduga mendekam di Malacanang, yang dipertahankan oleh polisi anti huru-hara dan berlapis-lapis tentara. Untuk menciptakan pengamanan yang maksimal, atas perintah Ramos, jalan-jalan yang menuju Istana diblokir, sementara di banyak tempat terlihat truk tentara dan jip bermuatan gas air mata. Sebuah pengadilan ejekan juga telah dirancang khusus sebagai acara utama demonstrasi besar di Manila itu. Selama pengadilan pura-pura ini berlangsung, sekitar 5.000 orang tak henti-hentinya meneriakkan, "Bersalah, bersalah." Yang ditampilkan sebagai terdakwa adalah personi-fikasi Marcos dan istrinya, Imelda. Sembilan juri akhirnya menetapkan kedua orang penting Filipina itu bersalah karena menumpuk harta benda, melanggar hak-hak asasi manusia, dan menggalakkan pelacuran. Tak hanya itu yang mengguncang Manila, tapi juga pemogokan 20.000 guru sejak Kamis pekan lalu. Mereka menuntut kenaikan gaji, tapi sebagai balasannya pemerintah mengancam dengan pemecatan. Kekerasan tampaknya merupakan satu-satunya cara bagi pemerintahan Marcos untuk meredam ledakan protes dan luapan keresahan. Tapi momok pengangguran, yang sudah lama diramalkan banyak pengamat itu, kini tampil dalam sosok yang jelas dan menakutkan. Sangat boleh jadi tahta Marcos akan terguling karenanya. Mengapa? Bukan saja karena "perut tidak bisa menunggu", tapi organisasi militan seperti Bayan tampaknya tahu sekali memanfaatkan kenyataan ini. Pertama sekali mereka muncul di Manila, tapi pekan lalu mereka beraksi di Escalante, Negros, pusat industri gula yang kini bangkrut dan penduduknya terancam bahaya kelaparan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo