KETIKA lonceng emas di Gedung Alfred Nobel, Stockholm, tepat menunjukkan pukul satu siang, Kamis pekan lalu, novelis Nagib Mahfuz sedang tidur siang di rumah barunya di Agusha, Kairo. Padahal, saat itu, namanya sedang diumumkan sebagai pemenang Hadiah Nobel 1988 untuk bidang sastra. Ia setengah tak percaya sewaktu berita gembira itu disampaikan seorang redaktur harian Al Ahram, sepuluh menit kemudian. "Entah siapa yang mencalonkan saya." ujar Mahfuz kepada istrinya. Tak lama kemudian keluarga Mahfuz larut dalam suasana gembira. Namanya segera menjadi buah bibir di seantero negeri -- mulai dari kalangan pejabat tinggi Mesir, termasuk Presiden Husni Mubarak, para nelayan di sepanjang Sungai Nil, kaum pedagang di pasar-pasar, sampai para pencandu syisah (rokok berpipa panjang) di kedai-kedai minum tak henti-hentinya menggunjingkan kehebatan novelis itu. Tak heran bila ada sebagian orang menyejajarkan popularitas Mahfuz dengan penyanyi Umi Kulsum -- nama yang membuat Presiden Nasser tak jadi berpidato bila Radio Kairo menyiarkan lagu-lagunya. Bagi kedai minum Qahwah El Fishawy kemenangan Mahfuz bahkan punya arti tersendiri. Di warung kecil inilah, yang terletak di kawasan kumuh Hussein, di pinggiran Kairo, Mahfuz sering terlihat menyelesaikan sebagian besar karyanya, yang kelak menjadikannya sebagai pemenang Hadiah Nobel 1988. Nagib Mahfuz Abdel Aziz El Sabilgy sudah tertarik pada dunia sastra sejak berumur 10 tahun. Buku pertama yang dibacanya adalah cerita detektif Putra Johnson, yang dipinjamnya dari temannya, Yahya Saqar. Ia sangat terkesan oleh cerita tersebut. Sejak itu, Mahfuz mulai gemar membaca novel, dan sebagian ada yang disadurnya ke bahasa Arab. Pengarang yang dikaguminya di masa muda, antara lain, Charles Garfis dan Rider Hegard. Ketika di bangku sekolah lanjutan atas, ia mulai menulis cerita pendek. Kumpulan cerita pendeknya, yang berjudul Bisikan Gila, diterbitkan pada 1934. Ketika mulai menulis novel, Mahfuz memilih tema-tema sosial. Dalam novel Impian Desa, misalnya, ia berkisah tentang perbaikan sosial pedesaan pada pertengahan 1930-an. Tak hanya itu kelebihan Mahfuz, anak bungsu seorang pesuruh yang dilahirkan pada 1911 itu. Ia bahkan sanggup menulis masalah sosial di zaman Mesir Kuno, seperti dituangkannya dalam novel Permainan Takdir (1935) dan Perjuangan Sportif (1937). "Setiap dorongan untuk menulis datang, aku ingin agar tulisan itu merupakan yang terakhir," katanya setiap kali. Tapi, Mahfuz tak pernah berhenti sampai lahir The Cairo Trilogy -- yang ditulisnya sekitar 1950-an. Karya puncaknya itu memang memuat tiga bagian cerita: El Qashrain (Dua Istana), El Sauq (Istana Rindu), dan El Sukkariyah (Yang Manis-Manis). Dalam trilogi itu, Mahfuz menceritakan perjalanan tiga generasi sebuah keluarga di Kairo -- yakni masa Raja Farouk berkuasa, masa kudeta oleh Gamal Abdul Nasser, dan masa pemerintahan penguasa baru. Yang diceritakan Mahfuz memang bukan asing bagi rakyat Mesir. Ia, misalnya, bercerita tentang nasib wanita yang "dijajah" kaum pria (dilukiskannya sebagai memandang ke luar jendela saja pun tak boleh) yang kemudian diubah oleh seorang wanita modern dalam lingkungan keluarga itu melalui sebuah perkawinan. Sampai akhirnya wanita-wanita menuntut persamaan hak, dan berhasil membangun suatu masyarakat baru. Pada bagian kedua dari triloginya itu, Mahfuz menyentuh pembacanya dengan menggambarkan tokoh utama Kamal menjadi jauh dari Islam, agama keluarganya. Cerita tentang orang menjadi jauh dari agama merupakan kejadian biasa di Mesir di tahun-tahun itu. "The Cairo Trylogy merupakan pekerjaan luar biasa," komentar Sasson Somekh, guru besar pada pusat studi Arab, Universitas Tel Aviv. Karya itu, menurut dia, bukan hanya membenkan gambaran sosial, tapl juga mengungkapkan pikiran dan jiwa orang Mesir. Buku setebal 1.163 halaman itu memerlukan riset dan penulisan selama enam tahun. "The Cairo Trilogy merupakan pekerjaan monumental. Belum pernah ada novel setebal ini dalam bahasa Arab," ujar Roger Allen, profesor pada studi perbandingan sastra Arab Universitas Pennsylvania. Novel Mahuz ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Swedia, Prancis, dan Ibrani. The Cairo Trilogy itu pulalah yang melesatkan Mahfuz sebagai peraih Hadiah Nobel untuk sastra, dan sekaligus mengantungi hadlah uang tunai US$ 390.000 sekitar Rp 700 juta. Panitia Hadiah Nobel, yang terdiri atas 18 orang, sepakat memilih Mahfuz sebagai pemenang tahun ini, karena pada karya itu mereka menemukan sentuhan nilai realitas sosial sejati. Karya Mahfuz dinilai bersih dari pengaruh perjalanan kekuasaan politik yang sedang berjalan. Tapi, bagi sejumlah tokoh sastra Swedia kemenangan Mahfuz tak lebih semacam "giliran". Mereka menyindir, "Panitia sedang berusaha menyebarkan kekayaan ke berbagai negara. Kalau kini, misalnya, penulis Amenka yang menang, jangan harap dalam waktu beberapa tahun akan ada orang Amerika lagi yang menang." Giliran atau bukan, The Cairo Trilogy, yang semula kurang dikenal luas, apalagi di sejumlah negara dilarang beredar, sejak minggu lalu makin dicari orang. Menurut penerbit Columbia University Press, Amerika Serikat, yang menerbitkan karya Mahfuz itu, semula The Cairo Trilogy cuma laku 200 eksemplar setahun, kini bisa terjual 400 buku sehari. Di Kairo, American University, yang memegang hak cipta buku-buku Mahfuz, kewalahan melayani permintaan hak untuk penerjemahan. Itu berarti Mahfuz akan bertambah kaya. Ketika ditanya tentang itu, Mahfuz malah berseloroh, "Saya menulis, karena punya dua anak perempuan yang membutuhkan sepatu bertumit tinggi." Sabtu pekan lalu, sepulang dari kedai minum Qahwah El Fishawy, Mahfuz, perokok yang gemar minum kopi tanpa gula (karena ia menderita kencing manis) itu, menerima koresponden TEMPO di Kairo, Djafar Bushiri, di rumahnya untuk sebuah wawancara. Petikannya: Bagaimana perasaan Anda mendapat Hadiah Nobel Sastra tahun ini? Perasaan saya secara tertib begini: pertama kali bingung, kemudian gembira. Bisakah Anda menyebutkan sejumlah karya terbaik Anda yang menjadi penilaian Komite Hadiah Nobel 1988? Hasil karya terpenting pada hemat saya adalah The Cairo Trilogy (semula satu novel setebal 1.163 halaman) yang kemudian dijadikan tiga judul: El Qashrain, Qashr El Sheuq, dan El Sukariyah). Di samping itu, Aulaad Haratnaa, dan El Haraafish (sebutan untuk lapisan masyarakat bawah di Mesir). Sayang, novel yang terakhir ini belum diterjemahkan, sehingga dunia belum sempat menilainya. (Mahfuz sendiri punya perkumpulan dengan teman-teman sejawatnya, yang mereka beri nama Syallah El Harafisy -- keranjang masyarakat jembel. Mereka mengadakan pertemuan di Kafe Kasr El Nil, di pinggiran Kairo, tiap Kamis sore). Apakah karya-karya itu membuat Anda gembira? Yang membuat saya gembira sebenarnya bahwa kesusastraan Arab ternyata dapat diterima dunia. Ini akan memperluas wawasan dan minat sastrawan Arab setelah generasi saya. Mengapa Anda justru tak merasakan karya itu akan mendapat penilaian dari Komite Hadiah Nobel? Memang pernah ada seorang oriental, di samping surat-surat lainnya, yang menjelaskan saya termasuk calon pemenang Hadiah Nobel. Persisnya, yang bilang itu, Michaile Asare. Tapi, ya, namanya calon, itu kan masih khayal. Dalam karya Anda, selalu ada pertautan antara kenyataan dan impian. Maksudnya, antara kenyataan yang dapat diraba dan pemikiran yang sama sekali menerawang memiliki persentuhan yang menakjubkan. Dari kenyataan ini, Anda lalu kadang-kadang membuat kenyataan menjadi khayal, dan sebaliknya khayal pun bisa dibuat mendekati kenyataan seperti dalam novel Layaaly Alfi Lailah (Malam-Malam Seribu Malam), atau Rihlah Ibn Battutah (Petualangan Putra Battutah). Sementara itu, contoh pertama, seperti dalam Haulaat Haratna, dan Haraat El Haraafisy (Gang-Gang Masyarakat Gembel). Lalu Anda kadangkala membiarkan kenyataan seperti apa adanya. Bagaimana Anda membayangkan pertautan semua itu? Sekaligus? Atau setiap penulisan ada ide sendiri dalam membuat hubungan itu? Ya, benar sekali. Setiap karya ada gambarannya sendiri. Begitu juga tentang masa, ada inspirasinya sendiri. Tapi harus diingat bahwa apa yang dinamakan "kenyataan", satu-satunya dalam karya, sebenarnya bukan satu-satunya kenyataan. Apa juga berarti perluasan atau pendalaman dalam hal itu? Kedua-duanya sama. Kita mencapainya pun menggunakan khayal. Sebenarnya, tak ada realitas dalam sastra maupun seni, kecuali dengan imajinasi khayal. Mengimajinasikan realita atau hanya melihatnya? Saya pelajari dahulu, tapi umumnya, dalam kreasi seni, saya kembali menciptakannya. Karena itu, apa yang kita sebut kenyataan dalam seni pada dasarnya seratus persen imajinasi. Apakah kenyataan baru yang diciptakan dalam seni itu harus sesuai dengan kenyataan aslinya? Tidak. Ia hanya diciptakan oleh sorot pandang seorang sastrawan yang kreatif. Yang diciptakan oleh penentuan imajinasi, bisa gambarannya, bisa realitasnya, bisa juga kejadian sebenarnya, atau bisa imajinasi yang berpijak dari alam kenyataan. Dalam hal tempat, karya-karya Anda selalu menampilkan sosok Kairo dan Alexandria. Mengapa Anda, misalnya, tak pernah mengetengahkan sosok pedesaan? Saya juga menyesalkan itu. Tapi, percayalah, saya tak punya pelarian kecuali itu. Kebetulan saya tak pernah tinggal di alam pedesaan. Laporan Komite Hadiah Nobel mengungkapkan bahwa ungkapan Anda dalam cerita sangat berpengaruh terhadap kesusastraan Arab modern. Di samping itu, imajinasi Anda telah berpengaruh pada generasi lalu dan sekarang. Bukan saja di Mesir, tapi di dunia Arab secara keseluruhan. Komentar Anda? Itu sebenarnya harus diungkapkan oleh kritikus sastra, bukan dari saya pribadi. Karya-karya Anda boleh dikatakan hampir semuanya tertulis dengan bahasa Arab formal, dan bukan bahasa Arab pasaran. Mengapa? Memang ada usulan semacam itu. Rasanya, kok aneh sekali untuk menulis novel dengan bahasa pasaran yang menjurus ke kotak-kotak antarnegara Arab dalam memahaminya. Dari bahasa harusnya menjurus ke arah penyatuan persepsi budaya global. Dengan itu akan terjadi sebaliknya. Begitulah saya sejak permulaan. bahasa penulisan adalah formal (fushha). Sebagai Muslim saya nilai bahasa formal itu ada keindahan refleksi dari Alquran. Seandainya Anda bisa memilih teman sejawat dari Mesir, atau negara Arab lainnya, siapakah yang akan Anda calonkan untuk hadiah yang sama? Dari Mesir, saya calonkan Yahya Haqqi. Dari Irak, Elbayaty. Dari Syria, cerpenis Hannah Mina. Dari Sudan, El Tayyib Saleh. Pada 1970-an dan juga 1980-an tampaknya ada alur pemikiran yang mulai berubah dalam diri Anda, yang berpengaruh kuat atas karya-karya Anda. Yakni setelah Anda makin mendekati tasawuf. Komentar Anda? Begitulah kira-kira karena saya melihat tasawuf seperti padang yang indah, di sana saya beristirahat dari kebebasan, dari kebebasan hidup yang fana ini. Saya senang membaca tasawuf secara ide, bukan melakukan prakteknya. Saya amati tasawuf bagaikan syair yang menakjubkan. Dan tasawuf syair itu sendri. Melihat kesehatan Anda tampaknya Anda tak akan hadir pada penyerahan Hadiah Nobel itu. Betulkah? Kesehatan saya memang tak memungkinkan untuk hadir. Akan saya terima penghargaan dari Nobel itu dari sini. Tentunya prestasi ini sangat menggembirakan Anda. Apa kira-kira yang hendak Anda sampaikan kepada Komite Hadiah Nobel? Saya mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada mereka semua karena dengan demikian mereka memberi perhatian terhadap kesusastraan Arab. Rasanya, saya bukan satu-satunya orang yang berhak menerima hadlah semacam ini bila saja dibandingkan dengan Taufiq El Hakim Taha Hussein, El Aqqad. Yang akan Anda lakukan untuk Nobel pribadi? Saya akan membacakan Fatihah untuk dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini