Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNAS ke-4 Golkar dibuka oleh Presiden Soeharto di Balai Sidang Senayan Kamis malam pekan ini. Acara penting lima tahun sekali ini berlangsung selama lima hari, dan akan didahului dengan peringatan hari ulang tahun ke-24 organisasi politik terbesar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam usia hampir seperempat abad, Golkar tampaknya bertambah besar saja. Anggotanya kini 32 juta lebih, dan hampir 27 juta di antaranya sudah memiliki kartu anggota. Pada 1986, penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas berjumlah sekitar 93 juta. Berarti satu di antara tiga orang Indonesia dewasa adalah pemegang kartu Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari jumlah itu hampir 10 juta merupakan kader. Mereka adalah anggota yang telah mendapat pendidikan khusus tentang Golkar dan kepemimpinan, sesuai dengan rencana induk kaderisasi Golkar yang disiapkan sejak Mei 1984. Mereka terdiri dari kader penggerak teritorial tingkat desa (karakterdes), jumlahnya 8 juta orang lebih. Dan yang lain disebut kader fungsional tingkat daerah dan pusat.
Dalam Pemilu 1987, ketika banyak pengamat menilai ABRI betindak kian netral, Golkar ternyata berhasil menang mutlak: mengumpulkan hampir 63 juta suara atau lebih 73% dari seluruh jumlah pemilih yang diperebutkan. Pada pemilu sebelumnya, 1982, suara yang dikumpulkan Golkar cuma sekitar 48 juta atau 64%. Sekarang Golkar menguasai 299 dari seluruh kursi DPR yang berjumlah 500 - 100 di antaranya tidak diperebutkan karena merupakan jatah ABRI.
Sebagai pihak yang menang, dengan jumlah anggota yang tambah menggelembung saja, rupanya kini di dalam tubuh organisasi ini berkembang suara yang ingin mempersempit keran masuknya tokoh-tokoh luar ke dalam Golkar, atau yang biasa disebut "kader lompat pagar". Di dalam rancangan anggaran dasar (AD)/anggaran rumah tangga (ART) yang dipersiapkan oleh sebuah kelompok kerja yang dipimpin Moerdopo, diusulkan agar yang bisa dipilih menjadi pengurus Golkar hanya orang-orang yang sudah menjadi anggota Golkar minimal 10 tahun.
Usul ini oleh banyak kalangan Golkar sendiri dianggap terlalu ketat sehingga melalui perdebatan seru -- di dalam sidang steering committee, mengalami perbaikan. Masa waktu 10 tahun itu hanya dikenakan untuk pengurus pusat dan daerah tingkat provinsi. Sedang untuk pengurus daerah kabupaten ke bawah cukup hanya lima tahun. Itulah yang kini bisa dilihat di dalam rancangan AD/ART yang sudah dipersiapkan untuk Munas ini. "Saya menduga rancangan ini akan ramai diperdebatkan di sidang Munas, karena saya dengar masih banyak yang keberatan. Sepuluh tahun itu 'kan terlalu lama?" kata salah seorang anggota DPP Golkar.
Bila rancangan ini disetujui dalam Munas nanti, banyak nama harus menunggu 10 tahun untuk bisa dipilih dalam kepengurusan DPP Golkar. Misalnya, sebutlah tokoh NU Abdurrahman Wahid atau cendekiawan Islam Nurcholish Madjid. Mereka berdua adalah anggota MPR dari F-KP, hasil pemilu yang lalu. Malah duduk pula sebagai anggota Badan Pekerja (BP) MPR yang mempersiapkan materi sidang umum MPR, Maret 1988. Nasib yang sama akan diterima oleh bekas tokoh demonstran 1966, Fahmi Idris, atau bekas tokoh PPP, Ridwan Saidi. Ketua Umum HMI (1974) ini Mei yang lalu telah mengantongi kartu anggota Golkar Jakarta Selatan. Maka, bila ingin berkiprah di pimpinan pusat Golkar, Ridwan harus menanti sampai tahun 1998. Saat itu ia sudah berusia 56 tahun.
Rancangan AD/ART juga mensyaratkan agar Golkar kian mengetatkan penerimaan anggota baru. Menurut ketentuan sekarang, seseorang yang ingin menjadi anggota Golkar cukup mendaftarkan diri di DPD Golkar tingkat II, lalu setelah menunggu setahun sebagai calon anggota ia akan diakui sebagai anggota dan bisa dipilih dalam kepengurusan Golkar. Maka, dalam rancangan AD/ART yang akan dibahas di Munas, selain harus menunggu lima atau sepuluh tahun seperti disebut di atas, calon anggota itu akan diteliti lebih dahulu oleh semacam tim skrining Golkar. Penyaringan terutama ditujukan agar sang calon anggota bersih dari G-30-S/ PKI dan gerakan ekstrem lainnya.
Menurut ketentuan, umur seorang anggota Golkar minimal 17 tahun. Nah, apakah nanti seorang calon anggota yang berusia 17 atau 18 tahun, yang berarti ia belum lahir ketika G-30-S/PKI meletus, harus juga disaring keterlibatannya dengan gerakan penghianatan itu? Agaknya, penyaringan itu diperlukan setelah Golkar kebobolan ketika Datuk Syamsir Alamsyah Gelar Datuk Majo Indo Nan Mamangun, Ketua DPD Golkar Payakumbuh, Sumatera Barat, ternyata terlibat G-30-S/PKI dengan kategori golongan B.
Menurut keterangan Kolonel Safiuddin, Komandan Korem 032 Sumatera Barat, kepada wartawan di Padang Senin siang pekan ini, menjelang meletus G-30-S/PKI, Datuk Syamsir adalah Ketua PNI Asu Kabupaten Lima Puluh Kota, selain Sekretaris Front Nasional setempat. Tapi dari pemeriksaan yang dilakukan ternyata ia turut duduk pula dalam panitia hari ulang tahun PKI di Payakumbuh pada 1964, dan berusaha mendirikan Dewan Revolusi di kabupaten itu. Tapi, setelah meletusnya pemberontakan PKI itu, Datuk Syamsir pindah ke Jakarta dan kemudian berhasil mendapat surat keterangan tidak terlibat G-30-S/PKI dari Kelurahan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Pada 1970 ia muncul kembali sebagai pengusaha di Payakumbuh dan kemudian sejak tahun itu pula berhasil menjadi bendahara Golkar, menjelang pemilu pertama di masa Orde Baru itu akan dilaksanakan. Pada 1982, ia menjadi anggota DPRD setempat dari F-KP, dan mulai 1984 terpilih sebagai Ketua DPD Golkar (TEMPO, 25 Juni 1988). Dalam Munas kali ini tampaknya akan pula dipertegas hubungan antara DPP dan fraksi. Di dalam rancangan AD/ART tadi ada sebuah bab baru (bab sebelas) yang isinya menegaskan bahwa fraksi adalah badan pelaksana kebijaksanaan Golkar yang digariskan oleh dewan pimpinan. Sebuah sumber di DPP Golkar menyebutkan, penekanan soal itu diperlukan setelah terjadinya kasus "Burung Unta".
Pada 27 Juni yang lalu, F-KP membuat pernyataan terbuka yang cukup keras, meminta agar Pemerintah meninjau kembali izin undian KSOB dan TSSB. Kedua jenis undian itu setelah diteliti oleh tim F-KP ternyata menyedot dana dari daerah, dan merusakkan etos kerja masyarakat. Pernyataan ini tentu saja menyinggung soal yang "peka", apalagi disampaikan dengan kalimat yang lugas. "Kita harus menghindarkan sikap burung unta yang membuta terhadap persoalan, dengan menganggapnya tidak ada," begitu misalnya bunyi pernyataan pers F-KP itu.
Tampaknya, pernyataan itu kurang dikonsultasikan dengan DPP Golkar. Tapi Ketua DPP Golkar, A.E. Manihuruk, membantah. "Ah, sebelum ada burung unta itu sebenarnya ketentuan kerja antara DPP dan fraksi sudah seperti itu. Tetapi belum dituliskan dalam AD/ART," katanya. Mengapa sekarang jadi perlu dituliskan? Jawab Manihuruk, "Secara berangsur-angsur semua akan kita sempurnakan. Tidak bisa sekali jadi." Rupanya, sekarang banyak yang akan disempurnakan. Termasuk soal yang tampaknya sepele seperti penulisan singkatan nama Golongan Karya. Sekarang singkatan itu ditulis dengan Golkar, tapi nanti harus ditulis seluruhnya dengan huruf besar, GOLKAR. Kalau rancangan itu disahkan Munas, maka semua kop surat, papan nama, dan stempel Golkar, dari pusat sampai ke daerah, harus diganti. "Menurut ahli bahasa, untuk singkatan huruf besar cukup pada awal kata. Tapi karena Golkar itu nama dan kita yang punya nama ingin semua dengan huruf besar, maka ahli bahasa kita menyetujuinya," kata Manihuruk.
Tapi Manihuruk tak menjelaskan maksud membesarkan semua huruf Golkar itu. Mungkin karena Golkar kini sudah besar? Dalam usia yang sudah melintasi masa remaja ini rupanya sudah bertambah banyak saja tokoh yang berjasa pada Golkar, sementara itu, disebabkan oleh proses regenerasi mereka harus membuka jalan untuk tokoh yang lebih muda. Maka, dalam periode kepemimpinan Sudharmono ini ada yang disebut pinisepuh dan sesepuh Golkar.
Yang pertama adalah gelar penghargaan yang diberikan kepada tokoh Golkar tingkat pusat yang sudah banyah pada Golkar tapi sudah tidak duduk lagi di kepengurusan Golkar, sedang sesepuh, gelar untuk para tokoh Golkar di daerah. Pinisepuh itu sudah ada 26 orang. Di antaranya Sultan Hamengku Buwono IX, Sayuti Melik, Habib Al Habsyi, Ali Moertopo, Soedjono Humardani, G.P.H. Djatikusumo, dan S. Soekowati (Ketua DPP Golkar pertama).
Sebelum malam pembukaan Munas nanti, siannya di kantor DPP Golkar, surat keputusan pengangkatan akan diserahkan pada sejumlah pinisepuh baru. Mereka, antara lain, bekas Wapres dan Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar, Umar Wirahadikusumah, dan Ketua Presidium Harian Dewan Pembina, Jenderal (Purn.) M. Panggabean. Bekas Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwiranegara, Amirmachmud, dan Amir Murtono termasuk di antara daftar yang akan menerima gelar itu. Mereka bertiga adalah anggota Dewan Pembina Golkar penode 1983-1988.
Pengangkatan M. Panggabean sebagai pinisepuh Golkar menyebabkan jabatan Ketua Presidium Harian Dewan Pembina akan lowong. Jabatan itu merupakan pelaksana sehari-hari dari Dewan Pembina, lembaga yang amat penting di DPP Golkar. "Ini bukan penurunan, kok, tapi merupakan suatu penghargaan tertinggi. Saya sudah bertemu dengan Pak Panggabean dan dla dengan ikhlas menerima penghargaan itu," kata A.E. Manihuruk.
Setelah Wahono, bekas Gubernur Jawa Timur, merupakan calon terkuat untuk menggantikan Sudharmono sebagai Ketua Umum Golkar, jabatan Ketua Presidium Harian Dewan Pembina banyak diperbincangkan orang. Apakah Sudharmono akan ke sana? Banyak orang menduga begitu. Tapi itu terpulang pada keputusan Ketua Dewan Pembma baru yang dipilih Munas nanti. Sebab, menurut AD/ART Golkar, yang menyusun struktur dan kepengurusan Dewan Pembina itu adalah Ketua Dewan Pembina sendiri. Yang hampir dapat dipastikan, peserta Munas akan memilih Presiden Soeharto untuk menjadi Ketua Dewan Pembina. Sebab, belum ada tokoh lain yang tampaknya mampu memegang jabatan terpenting itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo