MENTARI belum lagi muncul ketika ketegangan terjadi di atas kapal layar, di lepas pantai Biak, Irian Jaya, 13 Agustus silam. Dua lelaki tampak sama-sama berteriak dan yang seorang -- berukuran lebih kecil namun bersenjata -- segera mencabut pistolnya. Moncong diarahkan ke atas dan pelatuk ditarik. Namun, yang terdengar hanya suara, klik. Maka, si lelaki yang satu lagi -- yang bertubuh kekar dan berkulit putih -- maju mendekat. Kali ini moncong pistol diarahkan ke lelaki itu, lalu . . . dor. Peluru panas segera menembus lengan kiri atas si kekar yang baru memegang kemudi kapal. Kapal pun oleng dan "si bongkok" kembali memecah kesunyian pagi itu: dor. Peluru itu ternyata mengenai penumpang lain, seorang wanita berkulit putih juga. Melihat hal ini, si kekar mengamuk dan menyerang si pemegang pistol. Pergumulan singkat pun terJadi. Sebuah bogem mentah, ceritanya, mendarat di muka si kekar. Dia terlempar keluar kapal, dan segera dililit pusaran air laut yang deras. Sepi. Tapi kesunyian itu cuma sementara. Dua bulan kemudian, insiden di perairan Biak tadi mulai nyaring diperdebatkan. Bahkan nyaris menimbulkan ketegangan yang berlebihan antara Canberra dan Jakarta, yang baru saja sembuh dari lukanya. Pangkal keributan terutama karena masih belum jelasnya asal mula insiden. Versi di atas, misalnya, adalah yang dilaporkan pihak keamanan Indonesia. Sementara itu, si wanita, yang tertembak dan tertolong nyawanya setelah segera dibawa ke puskesmas terdekat, memberi keterangan yang bertolak belakang. Pemerintah Indonesia beranggapan, insiden di Serui adalah "suatu kecelakaan". Tapi si wanita bernama Joanne Sarah, 20 tahun, menuding itu sebagai "pembunuhan berdarah dingin." Joanne, yang ketika itu sedang hamil 3 bulan, tampaknya sangat marah atas tewasnya David Frederick Blekinsop, tunangannya. Blekinsop, sejak terjatuh dari kapal, tak diketahui lagi nasibnya. Penumpang lain dua polisi, seorang syahbandar, dan Joanne, berupaya mencarinya. Tapi nihil. Maklum, cuaca masih gelap dan berkabut. Lagi pula pencarian tak dapat berlangsung lama karena perdarahan yang diderita Joanne harus segera diobati. Dua pekan kemudian, Stanley Cobb, seorang diplomat Kedutaan Inggris di Jakarta, datang menjenguk. Setelah mendapat keterangan dari pejabat setempat tentang insiden tadi, sang diplomat membawa Joanne ke Jakarta. Para pejabat itu menjelaskan, asal-muasal pertengkaran terjadi karena David memaksa akan ke PNG, sementara para polisi tetap memerintahkan kapal ke Biak. Di Jakarta Joanne sempat dirawat di RS Pertamina sebentar, sebelum dipindahkan ke hotel. "Tampaknya, luka Joanne tidak terlampau serius, karena dia cepat sembuh," kata Atase Pers Atkinson. Maka, beberapa hari kemudian Joanne pun terbang ke Australia dan, menurut rencana, akan kembali ke Inggris kemudian. Namun, perkembangan yang seru justru terjadi di Australia. Pasalnya, 1 Oktober lalu pihak keluarga Blekinsop mengadakan konperensi pers. Rupanya, ayah David merasa surat permohonan yang dikirimkannya kepada PM Bob Hawke dan Margaret Thatcher belum cukup. Tindasan surat berisi permohonan bantuan agar kedua PM meminta ke1elasan atas peristiwa yang menimpa anaknya itu diperlihatkan kepada para wartawan yang datang. Para wartawan segera melalap berita ini. Tuduhan bahwa pemerintah Indonesia menutup-nutupi peristiwa ini lantas marak. Terutama karena Kedutaan Australia di Jakarta tak mendapat pemberitahuan atas musibah yang dialami warganya itu. Tak urung PM Bob Hawke, di depan kamera TV ABC di Canberra, ibu kota Australia menyatakan betapa insiden itu "menakutkan" dan "pantas untuk dikutuk". Dia tak bisa menerima keterangan pemerintah Indonesia yang menyatakan peristiwa itu sebagai "kecelakaan". Jawaban pun segera datang dari Menlu Ali Alatas, yang baru tiba dari New York. Dan Menlu Alatas merasa terkejut atas reaksi PM Hawke yang bernada keras. Dia, dengan gayanya yang berhati-hati, segera menugasi anak buahnya untuk mengumpulkan keterangan yang selengkap mungkin. Dan tak kurang dari Presiden Soeharto yang memerintahkan agar dilakukan penelitian tuntas. Dari penelitian itu baru ketahuan bahwa pemberitahuan hanya dilakukan pada Kedutaan Inggris. Sebab, paspor Joanne dan David berasal dari negerinya Ratu Elizabeth. "Kita tak memberi tahu pemerintah Australia karena kita tak tahu bahwa mereka juga berkewarganegaraan Australia," kata Taufik Salim, Kepala Penerangan Kedubes RI di Canberra. Fakta-fakta ini ternyata membuat media Australia mengganti targetnya. Latar belakang David Blekinsop segera mereka selidiki. Ternyata, pihak bea cukai Australia telah setahun ini mengawasi David karena orang itu dicurigai menyelundupkan narkotik. Suatu hal yang dibantah Barbara Blekinsop, ibu David. "Ini fitnah," katanya. Namun, tudingan ternyata tak lantas. berhenti. Berbagai media massa Australia memberitakan bahwa David, 31 tahun, sehari-hari tukang kayu, terkenal angkuh dan suka berkelahi. "Orangnya berpikiran sempit, tidak suka bergaul, tidak dapat menguasai emosi, dan mau menang sendiri," kata Ian Lowe, bekas ketua Darwin Yacht Club (DYC). Karena itulah David dilarang ikut kegiatan DYC. Begitulah akhirnya nasib keluarga Blekinsop yang mengadu pada wartawan Australia. Mereka kini tercoreng pena wartawan senegaranya sendiri. Sedangkan hubungan RI-Australia tampaknya kembali mantap. Sabtu pekan ini diharapkan Menlu Australia, Gareth Evans, akan berkunjung ke Jakarta. Itu sesuai dengan rencana semula. Syukurlah. Yudhi Soerjoatmodjo (London), Dewi Anggraeni (Melbourne), dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini