Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kamboja antara dua dosa

Peperangan di kamboja terus berlangsung, kendati penyelesaian politik diupayakan lewat jakarta informal meeting. khmer merah di bawah pol pot dan vietnam menanggung dosa, membantai jutaan rakyat.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAN peperangan di Kamboja bisa selesai? Pertanyaan ini menghantui setiap warga Kamboja dan mereka yany mengikuti krisis di negeri itu sejak akhir 1978. Setelah begitu banyak pertemuan, konperensi, seminar, dan diskusi panel di berbagai pelosok dunia, mungkinkah suatu waktu nanti "penyelesaian langgeng" (rumus diplomatik klasik mengenai setiap sengketa yang tak kunjung habis) bisa terlaksana? Ataukah krisis Kamboja begitu banyak seginya dan rumit unsur-unsurnya, sehingga suatu penyelesaian menyeluruh hanya mungkin dicapai bila salah satu pihak menang mutlak, dan menentukan syarat-syarat "perdamaian langgeng"? Sejarah, geo-politik, dan pertentangan suku begitu banyak bertumpang tindih di Kamboja selama 10 tahun terakhir, sehingga esensinya mungkin dikembalikan pada satu masalah pokok. Dosa siapakah yang lebih besar? Di satu sisi, dosa itu terletak pada kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol Pot, yang selama tiga tahun (1975 sampai 1978) membantai 1,6 juta orang Kamboja secara sistematis atas nama "kemurnian" bangsa Khmer baru karena Pol Pot yakin bangsa Khmer yang "bersih, murni, baru" hanya bisa dibangun atas dasar perhitungan tentang zaman baru yang dimulai dengan tahun nol. Ideologi totalisme inilah biang keladi permasalahan pokok mengenai Kamboja selang beberapa tahun terakhir. Malang bagi bangsa Khmer lainnya, dosa ini bertemu dengan kepentingan realpolitik RRC, yang dibantu Amerika Serikat, Jepang, dan ASEAN. Sementara itu, dosa Pol Pot dan kliknya diimbangi oleh sebuah dosa lain: Vietnam menyerbu ke Kamboja Desember 1978, dan ikut mendirikan pemerintahan Heng Samrin-Hun Sen, beberapa hari kemudian. Alhasil, yang kita saksikan selama 10 tahun terakhir ini adalah rangkaian perang kata-kata dan perang di medan laga Kamboja seputar dua dosa yang ingin dlbenarkan dan diabsahkan dunia luar. Dari semula, dosa Pol Pot dan kliknya dibantu RRC dan Amerika Serikat yang menfaatkan argumen hukum internasional (yang kebetulan juga didukung rumus politik Gerakan Nonblok) tentang tak layaknya suatu negara mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain. Di balik itu adalah rangkaian dendam kesumat yang tersimpan dalam dada pemimpin RRC mengenai "kekuranganajaran" Vietnam memperlakukan orang-orang Cina selama 1975-1978. Bagi Amerika Serikat, dendam itu lebih terpendam karena Vietnam yang memukul mundur Amerika dari Indocina. Puluhan pejabat Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan Amerika mendapat kesempatan untuk "menghajar kembali" Vietnam melalui suatu peperangan yang mereka titipkan lewat RRC dan Muangthai. "Kuras darah mereka sampai habis" adalah semboyan orang Amerika yang ingin melihat pemimpin-pemimpin Hanoi bertekuk lutut. Ironi dari semua itu bahwa politik luar negeri seperti ini dilancarkan pertama kali dalam masa pemerintahan Jimmy Carter pendekar utama" hak-hak asasi manusia. Persekongkolan CarterPol Pot inilah yang tak habis-habisnya dimengerti dunia luar yang bersimpati pada Vietnam. Karena salah satu dosa tidak bisa menang mutlak di medan laga, kedua-duanya melakukan rangkaian langkah diplomatik yang bertujuan memenangkan pendapat umum dunia agar dosa yang dipikulnya masing-masing dilupakan, sedangkan dosa pihak lain dikutuk secara berkelanjutan. Dan itulah sejarah pencarian penyelesaian politik sekitar Kamboja selama 5-6 tahun terakhir ini. Sekarang, setelah Jakarta Informal Meeting I (JIM-I), JIM-2, dan Konperensi Internasional mengenai Kamboja di Paris, Agustus lalu, mungkinkah penyelesaian politik dirumsukan lagi di meja perundingan? Ataukah pembicaraan selanjutnya tentang Kamboja "setelah" penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja, minggu lampau, basa-basi diplomatik yang mengesahkan bahwa dunia harus menerima dosa campur tangan Vietnam dan mengikis habis sisa-sisa dukungan RRC, Amerika, dan ASEAN terhadap Pol Pot dan kawan-kawannya? Tampaknya, itulah yang menjadi satu-satunya harapan tentang "penyelesaian politik" yang ditunggu-tunggu seluruh dunia. Hun Sen bagaimanapun juga bertahan lebih dari 10 tahun, meski dengan bantuan pasukan dan artileri Vietnam yang tangguh. Setidak-tidaknya kota-kota besar di seluruh Kamboja berada di bawah kekuasaannya, sekalipun diakui banyak wilayah pegunungan di Kamboja sulit diterobos. Diperkirakan 90.000 lebih orang Vietnam bermukim di Kamboja dalam berbagai jenjang kehidupan masyarakat dan pemerintahan, mulai dari nelayan hingga ke tugas-tugas pengamanan di desa-desa. Hun Sen mengakui adanya masalah antarsuku yang rawan: bagaimanapun juga, orang Kamboja kurang senang kalau orang Vietnam masih banyak mengatur hari depan bangsa mereka. Tapi hal ini diimbangi perasaan takut terhadap Khmer Merah yang kalau diberi kesempatan untuk kembali serta dalam pemerintahan ."empat unsur" niscaya akan mengulangi gerakan "pembersihan total" terhadap segala sesuatu yang kurang murni. Karena itu, sudah waktunya dunia luar lebih memusatkan konsentrasi menghalau kecenderungan RRC, Amerika, dan sebagian kalangan militer Muangthai untuk tetap bersikeras mengenai perlunya "suatu unsur Khmer Merah" ikut serta sebagai bagian penyelesaian politik. Hun Sen dan para pemimpin Vietnam sekarang sadar bahwa kartu penyelesaian politik nanti (Februari 1990) untuk sebagian terbesar ada di tangan mereka. Untuk ini, lebih baik tidak gembar-gembor tentang kemenangannya, akhir September lalu. Sementara dunia luar menahan napas, terpulang kepada Deng Xiaoping, George Bush, dan para pemimpin ASEAN bagaimana kelanjutan di medan laga. Apakah RRC akan tetap penasaran sehingga negeri itu meningkatkan bantuan militernya kepada Pol Pot? Maukah pemerintahan Bush sungguh-sungguh mengusahakan penyelesaian yang tak perlu menggusarkan Vietnam? Maukah para pemimpin Muangthai, terutama sebagian kalangan militer, mengakui bahwa penyelesaian atas dasar bertahannya Hun Sen adalah yang terbaik bagi dirinya juga? Jika demikian halnya, JIM-3 di Jakarta, awal tahun depan, tinggal mengabsahkan hal-hal yang sudah dimenangkan di medan laga oleh Hun Sen dan para pemimpin Vietnam. Kalau tidak, hal yang akan kita lihat adalah berlarut-larutnya peperangan, yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Sekarang tiba saatnya bagi semua pihak, terutama RRC dan Amerika, bahwa dosa Vietnam selama 1978-1979 jauh lebih baik daripada dosa Pol Pot selama 1975-1978.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus