Inilah sebuah pertemuan semeja, setelah 40 tahun berkelahi, yang mengubah citra Timur Tengah. Palestina jadi bertemu Israel. Tapi delegasi Suriah mogok, menolak perundingan bilateral. INILAH hari yang akan dicatat dalam sejarah dunia sebagai hari pertama kalinya Israel dan Palestina duduk di satu meja perundingan, setelah 40 tahun bermusuhan. Di Madrid, Spanyol, 30 Oktober, Rabu pekan lalu. Meski sampai awal pekan ini tak ada hasil berarti, perdamaian masih jauh nun di sana, orang tak bisa mengatakan bahwa Timur Tengah masih sama seperti sebelum 30 Oktober 1991. Ada yang berubah. Baru Konperensi Damai Timur Tengah di Royal Palace, Madrid, yang dibuka Perdana Menteri Spanyol Gonzalez, serta Presiden George Bush dan Mikhail Gorbachev sebagai pengundang, kinilah berhasil menghadirkan Israel dan tujuh delegasi negara Arab, termasuk Palestina, di ruang Plaza De Orientale. Mereka berjejer di meja perundingan berbentuk huruf T -berturut-turut duduk delegasi Israel, delegasi Syria, delegasi gabungan Yordania-Palestina, dan delegasi Libanon, yang masing-masing ditulis dengan nama Rakyat Israel, Rakyat Syria, dan seterusnya. Tak ada sebutan negara. Ini untuk menghindari hal-hal peka karena secara de facto negara Palestina itu belum ada. Sampai hari penutupan konperensi, Jumat pekan lalu, ketujuh delegasi yang berunding tak menghasilkan kesepakatan mengikat. Perundingan sebenarnya, menurut Menteri Luar Negeri Amerika James Baker, yang selama delapan bulan merancang konperensi bersejarah ini, baru dimulai dalam pertemuan-pertemuan bilateral antara Israel dan negara-negara Arab setelah konperensi berakhir. Pada awalnya, Perdana Menteri Yitzhak Shamir menuntut pertemuan bilateral dilakukan di negara-negara Arab dan Israel. Pemimpin delegasi Israel itu yakin bahwa seandainya berunding di ibu kota negara Arab atau Israel, mereka akan dapat legitimasi lebih tinggi. Usul itu ditentang delegasi negara-negara Arab, yang tetap ingin pertemuan dilangsungkan di Madrid kecuali ada jaminan bahwa Israel bersedia mundur dari wilayah Palestina dan Arab yang diduduki. Akhirnya, disepakati pertemuan bilateral tetap dilangsungkan di Madrid, Ahad pekan ini, walau hanya bersifat prosedural: mendiskusikan tempat perundingan lebih lanjut. Pada pertemuan bilateral delegasi gabungan Palestina-Yordania dengan Israel, yang patut dicatat bahwa Palestina mulai dianggap dan dihargai sebagai pihak tersendiri. Ini terlihat dari fakta bahwa mereka diberi kesempatan menyampaikan sambutan tersendiri sebagaimana delegasi lain. Sebelumnya, Israel berupaya keras agar tak ada sambutan tersendiri dari delegasi Palestina. Kesempatan menyampaikan pernyataan di konperensi resmi bertaraf internasional dan duduk sejajar dengan Israel, merupakan semacam kemenangan tersendiri bagi Palestina. Di Ramallah, wilayah Tepi Barat, penduduk menyimak melalui radio pidato Haidar Abdel Shafi, ketua delegasi Palestina, dalam perundingan di Madrid. "Ia menyuarakan pendapat kami dan berbicara tentang hak kami untuk pertama kalinya selama 40 tahun," ujar Farmakolog Rasmi Matariyeh dengan mata berbinar. Wakil-wakil Palestina yang berunding di Madrid juga merasakan kemenangan tersendiri begitu mereka duduk satu meja dengan delegasi yang dipimpin Shamir -walau selama tiga hari konperensi masing-masing menampilkan wajah tanpa senyum. Pertemuan Madrid bagi mereka merupakan buah sebuah perjuangan panjang dan lama untuk sebuah pengakuan mengenai eksistensi Palestina. "Kami telah berjalan jauh dan lama, setelah Golda Meir kerap mengatakan 'Siapa itu orang Palestina'. Kini di Madrid, kami telah meletakkan batu fondasi untuk sebuah negara Palestina," ujar Sami Kilani, anggota tim perunding Palestina. Golda Meir adalah perdana menteri Israel pada 1970-an, dan sudah lama meninggal. Tak heran bila ada ulah macam-macam dari anggota delegasi Palestina. Sameh Kanaan, yang pernah mendekam di penjara Israel selama lebih dari 10 tahun, minta seorang rekannya mengambil fotonya dari salah satu sudut ruang konperensi yang dapat mengabadikan dirinya dan Shamir dalam satu potret. Ini bukan semacam turis di Moskow yang ingin berfoto dengan gambar Gorbachev. Ada tujuan yang lebih serius, yakni foto itu akan dijadikan bukti bahwa dirinya duduk berhadapan muka dengan Perdana Menteri Israel sebagai seorang yang bebas. Lain lagi Camille Mansour, anggota komite penasihat delegasi Palestina. Ia menyimak pidato Bush, yang oleh peserta Palestina secara bercanda disebut "presiden dunia", secara tekun. "Bush menggunakan kata bangsa Palestina delapan kali dalam pidatonya," kata Mansour, profesor pada Universitas Sorbonne, Prancis. Ia salah seorang di antara 4.000.000 warga Palestina di pengasingan, dan kini duduk di belakang meja, sama sebagaimana delegasi yang lain. Ia menilai pidato Bush sebagai langkah maju menuju pembentukan negara Palestina kelak. Para delegasi Palestina sadar bahwa proses terbentuknya sebuah negara tersendiri bagi bangsa Palestina masih memakan waktu lama. Bukan mustahil, setelah konperensi berakhir, mereka akan kembali kepada kehidupan susah dan tertekan di Tepi Barat, di Jalur Gaza, atau di pengasingan, yang bila hendak pergi ke mana pun masih memakai paspor pinjaman, yang tak ada penjelasan apa pun bahwa pemegang paspor itu adalah warga Palestina dan mereka diperlakukan sebagai warga kelas dua di kebanyakan negara Arab yang menampungnya. Prioritas utama dalam pertemuan bilateral, menurut Wali Kota Bethlehem, Elias Frejj, yang menjadi anggota delegasi Palestina, adalah menghentikan pemukiman baru Yahudi di wilayah pendudukan. Termasuk pembekuan yang sudah ada sekarang. "Jika kami tak melakukan hal itu, pembicaraan akan sia-sia. Tanah apa yang akan dibicarakan kalau orang Israel mengambil semuanya?" katanya. Sebagian pengamat di Madrid menilai bahwa kendati nanti Israel mau melepas wilayah yang diduduki sejak perang 1967, mereka hanya akan melepaskan Jalur Gaza. Karena itu, sejak awal Israel keras menampik slogan "tanah untuk perdamaian" yang didesakkan negara-negara Arab. "Israel bersikap keras soal tanah karena itulah kartu truf yang akan mereka mainkan tepat pada waktunya nanti," kata seorang pengamat. Selain bersedia mengembalikan Gaza, kabarnya Israel juga siap mundur dari Golan dan Libanon Selatan. Kemungkinan pengembalian hanya sebagian wilayah yang diduduki tercermin dari pidato Presiden Bush dalam pembukaan konperensi. Bush menyebut bahwa perdamaian Timur Tengah bisa dipecahkan dengan apa yang disebut "kompromi wilayah". Diduga bahwa gagasan kompromi wilayah ini semacam jalan tengah dalam mempertemukan tuntutan Palestina dan sikap keras Israel. Soalnya, kompromi wilayah bisa ditafsirkan hanya sebagian dan bukan seluruh wilayah pendudukan yang harus dikembalikan Israel pada negara-negara Arab dan Palestina. Sementara itu, pidato Shamir pada hari kedua konperensi oleh Yossi Sarid, anggota Peace Now, yang jarang memuji sang perdana menteri, dinilai penting karena "membiarkan pintu tetap terbuka". Menurut catatan Sarid, dalam pidatonya, Shamir tidak mengulang janji-janji yang sering diucapkannya untuk memukimkan warga Yahudi di wilayah pendudukan. Tidak mengulang janji bukan berarti pemukiman Yahudi akan dibekukan, seperti didesakkan oleh Menteri Luar Negeri Soviet Boris Pankin dalam sambutan penutupan konperensi. Soalnya, Israel datang ke Madrid dengan strategi "tiga tidak" yakni tidak mau berdirinya suatu negara Palestina, tidak mau berunding masalah wilayah Palestina, dan tidak mau menghentikan pembangunan permukiman baru Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pidato Shamir dengan strategi "tiga tidak" itu diejek penduduk Tepi Barat hanya membicarakan soal penderitaan orang Yahudi, seakan-akan Palestina merupakan wilayah tanpa penghuni. Sementara anggota delegasi menanggapi pidato Shamir dengan berang karena Damaskus disebut-sebut sebagai sarang teroris. Maka, ketua delegasi Suriah, Menteri Luar Negeri Farouk Al Shara, membalas serangan Israel dengan mengacungkan foto Shamir selagi muda, saat menjadi teroris dan buron. Karena itu, banyak orang yang pesimistis bahwa pembicaraan bilateral antara Suriah dan Israel akan menghasilkan sesuatu. Delegasi Palestina mengambil sikap hati-hati dan tak terpancing untuk menyerang Israel. "Kami menolak diprovokasi ... kami menampik menyerang musuh," kata Nyonya Hanan Ashrawi, juru bicara delegasi Palestina. Bagaimana prospek pertemuan bilateral delegasi gabungan Yordania-Palestina dengan pihak Israel? Strategi apa yang akan dijalankan kubu Palestina agar Israel mau menanggalkan sikap kerasnya? Soal utama yang diprioritaskan pihak Palestina dalam pembicaraan bilateral itu adalah apakah Israel akan memberikan pemerintahan otonomi terbatas untuk warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sejumlah pengamat menduga bahwa bila memang pemerintahan otonomi bisa diwujudkan, itu akan berlangsung selama sekitar lima tahun. Tiga tahun setelah pemerintahan otonomi, negosiasi soal status akhir wilayah pendudukan akan diproses. Dalam skenario optimistis ini, pemberian otonomi bagi warga Palestina di wilayah pendudukan dengan imbalan intifadah disetop. Sebagai gantinya, pihak Palestina diberi kesempatan membangun institusi sebagai persiapan membentuk sebuah negara. Pertanyaannya negara macam apa. Bagi Israel, negara Palestina merupakan konfederasi dengan Yordania, tapi bagi warga Palestina, negara yang ada dalam gambaran mereka adalah negara merdeka tersendiri. Sulit membayangkan Israel menenggang adanya negara semacam itu. Soalnya, Israel bakal merasa terancam. Karena adanya negara Palestina tersendiri, seluruh bangsa Palestina yang kini tersebar di berbagai negara bakal berkumpul dan tinggal di satu wilayah, ya negara Palestina itu. Ini berarti bahwa Israel harus menerima kehadiran PLO. Di konperensi Madrid sekalipun, walau secara resmi PLO tidak hadir, bayang-bayangnya terasa ada. Selama berlangsung konperensi, Bassam Abu Sharif, seorang penasihat Yasser Arafat, dan sejumlah pejabat PLO lain berada di perwakilan diplomatik Palestina di Madrid. "Mereka datang untuk memonitor konperensi," ujar Issam Salem, ketua misi diplomatik Palestina di Madrid. Dan ternyata faktor PLO tak mengganggu konperensi, termasuk konperensi bilateral Yordania-Palestina dengan Israel. Ahad kemarin, di Istana Parcen, salah satu ruang di Departemen Kehakiman Spanyol, mereka bertemu tepat waktu, berjabat tangan, dan berunding merencanakan tempat dan waktu pertemuan selanjutnya. Di antara delegasi Israel tampak Brigadir Jenderal Daniel Rotschild, penguasa Israel di Tepi Barat. Tapi pertemuan bilateral Suriah-Israel gagal. Delegasi Suriah mogok hadir, karena merasa kaget, bahwa "Belum-belum Israel minta perundingan lanjutan diadakan di Timur Tengah. Itu tak bisa kami terima," kata juru bicara Suriah. Belum jelas, perkembangan Suriah mogok ini sampai awal pekan ini. Presiden Mesir Husni Mubarak dan Raja Saudi Fahd berjanji membujuk Presiden Hafez Assad agar tak merusakkan langkah baik kini. Jika para delegasi gagal menyepakati tempat dan waktu perundingan bilateral lanjutannya, jalan panjang menuju perdamaian nyata di Timur Tengah akan terasa makin panjang. Padahal dalam perundingan itulah, misalnya, kecemasan Israel seperti yang dilukiskan oleh Ze'ev B. Begin, anggota parlemen Israel dari Partai Likud, bisa dikaji. Begin, yang menulis di berkala Foreign Affairs nomor pertengahan 1991, mengatakan bahwa soal luas wilayah di kawasan Timur Tengah penting. Sebuah negara di Timur Tengah mesti memiliki luas wilayah minum untuk bisa mempertahankan diri dari serangan luar. Ada contoh nyata, yakni didudukinya Kuwait oleh Irak beberapa waktu lalu. Untung, negara-negara Arab berpihak pada Kuwait. Apa yang terjadi bila Israel yang bersedia mundur ke wilayah sebelum perang 1967, dengan menyerahkan Gaza, tepi Barat, dan Golan, diduduki salah satu negeri Arab yang gatal? Adakah negara-negara Arab lain akan membela Israel? Itu memang sebuah pemikiran pesimistis. Dunia sudah berubah, dan sebulan sebelum Tembok Berlin runtuh pun orang tak menduga bahwa Perang Dingin bakal berakhir. Ada sesuatu yang ditentukan oleh Sang Pembuat Hidup, dan manusia tak tahu sepenuhnya. Farida Sandjaja (Jakarta) & Dja'far Bushiri (Madrid)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini