Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ke mana pun Wendy Sherman, ketua juru runding Amerika Serikat, pergi di lingkungan Beau Rivage Hotel, Lausanne, Swiss, selembar whiteboard atau papan tulis terus membuntutinya. Di papan beroda itulah, sepanjang hari-hari perundingan antara Amerika (bersama Prancis, Inggris, Cina, Rusia, serta Jerman) dan Iran dua pekan lalu mengenai program nuklir Iran, delegasi kedua pihak menuliskan segala hal yang sudah sama-sama mereka pahami, dalam bahasa Inggris dan Persia.
Papan itu boleh dibilang berperan melayani tujuan diplomatik penting, yakni membiarkan kedua pihak menimbang-nimbang proposal tanpa harus menuliskan apa pun di atas kertas. Sejumlah pejabat Amerika yang menolak disebut namanya mengatakan, dengan cara itu, delegasi Iran bisa tetap bertahan dalam pembicaraan tanpa harus mengirimkan dokumen ke Teheran agar bisa dikaji dulu, yang justru bisa berakibat substansinya "dikorting" oleh kalangan garis keras di sana. "Itu solusi teknologi rendah yang brilian," kata seorang pejabat Gedung Putih.
Keadaan itu sangat kontras dibandingkan dengan masa Presiden Amerika Barack Obama baru menjabat untuk pertama kali. Kala itu, menurut seorang pembantunya, jauh lebih banyak rapat tentang Iran di Situation Room ketimbang yang membahas topik lain.
Perundingan delapan hari di hotel yang kamar suite-nya bertarif lebih dari US$ 1.500 (kira-kira Rp 19,5 juta) per malam itu tak berlangsung mudah memang. Delegasi kedua negara bertemu secara maraton; begitu alotnya pembicaraan berlangsung, selalu hingga lewat tengah malam, para pejabat yang terlibat setiap pagi muncul di ruang sarapan tampak seperti baru turun dari penerbangan puluhan jam. Tapi, pada Kamis dua pekan lalu, mereka mencapai kesepakatan.
Diumumkan melalui pernyataan bersama oleh Federica Mogherini, diplomat utama Uni Eropa, dan Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, kesepakatan itu secara garis besar meliputi pemberian konsesi yang besar dari kedua pihak. Iran, misalnya, akan memusnahkan atau mengirimkan ke luar negeri stok uraniumnya yang sudah diperkaya-bahan penting untuk membuat bom atom. Amerika, juga Uni Eropa, setuju mengakhiri sanksi ekonomi dan keuangan terhadap Iran segera setelah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) memastikan bahwa Iran sudah memenuhi kewajibannya.
Kata Obama, yang menyebut hasil perundingan itu sebagai "saling pengertian bersejarah": "Jadi kesepakatan ini bukan didasarkan atas rasa percaya. Ini dasarnya adalah verifikasi."
Masih terlalu dini untuk menyebut kompromi kedua pihak itu bakal bertahan hingga perundingan putaran berikutnya-yang merupakan finalisasi dari apa yang sudah disetujui. Tapi semua upaya diplomatik secara rahasia selama dua tahun terakhir, juga apa yang berlangsung dua pekan lalu itu, menunjukkan bahkan di antara dua negara yang secara sengit bermusuhan pun tetap ada peluang untuk membuhulkan janji perdamaian. Amerika dan Iran, bagaimanapun, sudah 35 tahun tak akur; sejarah mereka sarat dengan ketidakpercayaan, sabotase, kebohongan, dan bahkan kekerasan.
KETIKA mengakhiri masa jabatannya yang pertama, Presiden Obama sebenarnya sudah punya sejumlah kesimpulan tentang nuklir Iran. Jika Iran berhasil membuat bom nuklir, cara-cara biasa tak bakal bisa membendungnya; negara-negara Arab bermazhab Sunni, misalnya Arab Saudi, bakal berupaya menandinginya. Menolak berunding kecuali semua mesin pemutar nuklir Iran dihentikan, yang merupakan strategi pemerintahan Presiden George Bush, kelihatannya juga bakal sia-sia. Pada 2003, Iran punya beberapa ratus mesin yang berfungsi, bahkan ribuan, saat Obama mulai memerintah, dan kini ada 19 ribu.
Berkeras mendesak Iran agar mau melucuti semua kemampuan nuklirnya juga mustahil; itu pasti menggagalkan perundingan bahkan sebelum berlangsung. Pengeboman apalagi. Dalam kata-kata William J. Burns, deputi menteri luar negeri yang memimpin upaya rahasia untuk menjalin hubungan dengan Presiden Hassan Rouhani, "Kita tak bisa mengebom pengetahuan. Dan kita tak bisa menghancurkan apa yang bisa mereka bangun lagi dalam beberapa tahun saja."
Obama sempat menyetujui dilancarkannya gelombang serangan pembobol jaringan ke fasilitas di Natanz. Serangan ini, di samping sanksi ekonomi, diharapkan bisa memaksa Iran mengakui kekeliruannya tetap melanjutkan program nuklir. Ketika itu jalan pikiran yang berlaku adalah memaksa Iran menguasai hanya kemampuan produksi dalam skala kecil. Ini target yang ambisius. Tapi, dengan berlalunya waktu, target ini perlahan-lahan diturunkan.
Ketika proposal mengenai negosiasi dilontarkan, semakin terang betapa, buat mencapai kesepakatan, Iran mesti dibiarkan mempertahankan sikap untuk tetap jalan dengan program nuklirnya. Melucuti bukanlah opsi.
Obama lalu menyibukkan diri dengan persoalan kompromi teknis hingga konsekuensi politiknya. Dia membaca briefing dari tiga proposal yang berbeda tentang bagaimana mengubah reaktor air berat di Arak sehingga tetap bisa beroperasi tanpa mampu menghasilkan sisa plutonium yang bisa digunakan untuk membuat bom. Seraya itu, dia juga mempelajari mekanisme inspeksi yang ada.
Halangannya adalah waktu. Begitu tenggat demi tenggat perundingan dilampaui, pemerintah Obama mau tak mau mesti berkompromi lebih banyak. Sewaktu Menteri Luar Negeri John Kerry bersiap-siap kembali ke meja perundingan di Lausanne bulan lalu, Prancis secara terbuka bertanya apakah dia dan timnya begitu terobsesi pada sebuah perjanjian, dengan tenggat akhir Maret, yang bisa mendorong mereka memberikan kompromi yang tak bijak.
?Menanggapi adanya kritik semacam itu, seorang pembantu Kerry menepis, "Anda semua mendengar hal-ihwal seperti itu dan ingin bilang, 'Kenapa kalian tak duduk berbulan-bulan dan lihat apakah kalian bisa melakukannya lebih baik?'"
Tatkala pembicaraan berlangsung semakin intens dua bulan terakhir, delegasi Iran memutuskan melibatkan menteri energi atomnya. Merespons langkah ini, Obama mengirim Ernest Moniz, menteri energinya, dan salah satu ahli nuklir terpandang Amerika. Suasana pun berubah. Kedua orang itu menjalankan proses terpisah dan, seperti kata seorang pejabat senior pemerintah, "mereka memperlakukan masalah ini sebagai problem sains".
DI Lausanne, kota di tepi Danau Jenewa itu, hari-hari seperti merayap perlahan. Kerry, buat menghilangkan rasa bosan, sempat keluar dari hotel untuk bersepeda, hingga tiga kali. Dia juga sengaja mampir di kios crepe di seberang jalan, lalu muncul di sebuah bar untuk ikut merayakan pesta ulang tahun beberapa wartawan Amerika. Di ruang negosiasi, sebuah mesin espresso tak henti-henti bekerja, sementara para juru runding Amerika dan Iran berusaha keras untuk tetap melek.
Hingga hari yang dianggap sebagai tenggat, 31 Maret, tiba-dan belum tampak ada titik temu. Delegasi Iran tahu hari itu penting bagi Kerry, yang harus memperlihatkan kepada Kongres bahwa ada kemajuan dalam perundingan. Tapi, mungkin sebagai taktik untuk menekan, Kerry terus menyiagakan pesawatnya. Tim Kerry bahkan sampai tiga kali mendepositkan koper untuk diangkut ke pesawat, meski beberapa jam kemudian dikembalikan lagi. "Rasanya memang seperti roller coaster," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri Amerika.
Pada Rabu dua pekan lalu, setelah perundingan sepanjang malam, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif ditanya berapa lama bisa tidur. "Dua jam," katanya. "Dan saya satu-satunya yang beruntung."
Kesepakatan yang akhirnya dicapai, karena ternyata tak mencantumkan daftar terinci mengenai apa saja yang disetujui, memang segera menimbulkan keraguan. Di Amerika sendiri bahkan sudah ada yang hendak berupaya mengganjal kelanjutan perundingan melalui Kongres. Sebuah rancangan undang-undang akan diajukan pada 14 April, yang akan memaksa Gedung Putih menggalang dukungan Kongres lebih dulu sebelum merampungkan perjanjian tentang nuklir.
"Kita harus tetap jernih dalam hal perlawanan Iran terhadap konsesi, sejarah panjang kegiatan rahasia yang berkaitan dengan senjata nuklir, dukungan terhadap terorisme, dan perannya saat ini dalam mengguncang stabilitas di kawasan," kata Bob Corker, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat.
Sudah bisa terbayang, hingga tiga bulan ke depan, saat tenggat selanjutnya tiba, betapa bakal banyak pergulatan. Para juru runding masih harus mengatasi perbedaan di sejumlah isu, yang memang sengaja ditunda pada putaran negosiasi di Lau-sanne. Isu-isu ini meliputi pula jadwal pencabutan sanksi dan penjabaran secara khusus bagaimana Iran akan membuang stok uraniumnya. Mungkin saat itu Wendy Sherman tak perlu lagi memanfaatkan papan tulis.
Purwanto Setiadi (business Insider, Foreign Policy, The New York Times, Politico, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo