Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kota Kriminal Pemasok Milisi Isis

Kampung di pinggiran Tunis menyuplai milisi ke Suriah. Wilayah termarginalkan yang tumbuh menjadi pusat kriminalitas.

13 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Februari lalu, Walid meninggalkan rumahnya di permukiman miskin Douar Hicher, Hay Ettadhamen, kota satelit di barat daya Tunis, Tunisia. "Dia tiba-tiba menunjukkan kepada ayah saya kontrak kerja jangka pendek di Libya," kata perempuan berinisial AM, sepupu Walid, seperti dilaporkan Foreign Policy, akhir Maret lalu. Namun Libya hanya batu loncatan bagi pemuda 28 tahun itu. Tujuan sebenarnya adalah Suriah, tempat dia akan bergabung dengan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

AM bercerita, Walid mendapat pengaruh dari kelompok militan asal Libya, Anshar al-Sharia. Menurut Kementerian Dalam Negeri Tunisia, sejak 2011 ada sekitar 3.000 pemuda Tunisia seperti Walid. Hanya 400 dari mereka yang pulang. Sisanya meramaikan perang saudara di Suriah untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Soufan Group, lembaga penelitian isu internasional berbasis di New York, Amerika Serikat, menyatakan Tunisia menyumbang lebih banyak milisi dibanding akumulasi milisi dari Arab Saudi dan Turki.

Sonia, 42 tahun, guru bahasa Inggris di sekolah Khalid Ibn al-Walid, menyebutkan pengaruh Anshar al-Sharia menjalar cepat. "Beberapa siswa berhenti sekolah, lalu bergabung dengan Anshar al-Sharia," ucapnya. Siswa berinisial MH mengaku dibujuk kelompok itu berulang kali. "Kata mereka, jika pergi ke Suriah, saya bisa membawa 70 anggota keluarga saya ke surga," ujar siswa itu. Sudah jadi pengetahuan umum, sekitar 40 penduduk lokal Douar Hicher menjadi "jihadis" di Suriah.

Suburnya pertumbuhan fenomena pada pemuda seperti Walid di Tunisia terjadi setelah Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang otoriter lengser lewat Revolusi Musim Semi Arab pada 2011. Pemerintah tak lagi dapat mengatasi kondisi sosial-ekonomi. Masyarakat semakin jelas melihat ketimpangan sosial, kemiskinan yang menimbulkan keputusasaan, monopoli kekayaan dan sumber daya, ditambah marginalisasi sebagian daerah atau kelompok sosial. Aksi protes kemudian meluas di berbagai daerah miskin atau yang merasa didiskriminasi selama pemerintahan Ben Ali.

Dari penelusuran Tempo, di Kota Tunis, penduduk kelas menengah bawah hidup berdempetan di permukiman rakyat yang disebut hay sya'bi atau cité. Ini seperti kota di dalam kota. Salah satunya Cité Ettadhamen, hay sya'bi paling besar di Tunisia, di timur laut Douar Hicher. Di situ hidup 800 ribu-1 juta penduduk. Cité Ettadhamen adalah daerah permukiman rakyat terbesar di Afrika dan ketiga terbesar di dunia. Rata-rata penduduknya adalah nuzuh alias pendatang. Kebanyakan berasal dari daerah termarginalkan, yaitu kawasan barat daya Tunisia, seperti Kasserine, Le Kef, Beja, Jendouba, Matmata, dan Sidi Bouzid atau kawasan Sahara.

Ettadhamen berarti solidaritas. Sebagian besar penduduknya kalangan bawah, yang butuh ikhtiar saling bantu demi kehidupan sehari-hari karena kebanyakan adalah pendatang yang mencari penghidupan di ibu kota. Saling bantu bukan hanya dalam masalah pekerjaan, tapi juga berkomplot melakukan tindak kejahatan.

Kawasan ini jadi sarang penyakit masyarakat di Tunisia sejak sebelum era Ben Ali. Di situ anak-anak remaja mencopet atau mencuri dengan menyatroni rumah penduduk cité lain. Kehidupan mereka layaknya ghetto, yang diwarnai perang geng, tawuran, dan mabuk-mabukan. Konsumsi ganja dan obat terlarang merupakan fenomena lumrah di sini.

Tidak mengherankan bila Ettadhamen kemudian jadi tempat paling baik sebagai sarang berkumpul kelompok aliran Islam ekstrem. Mereka menyebarkan pengaruhnya ke pemuda-pemuda, yang lalu menjadi misionaris perekrut pengikut baru.

Selama era Ben Ali, kelompok aliran Islam semacam itu ditindas. Mereka tak mungkin terang-terangan tampil karena risikonya berhadapan dengan petugas keamanan. Berbekal Undang-Undang Nomor 75 Tahun 2003 tentang Dukungan Bagi Upaya Internasional untuk Memerangi Terorisme dan Mencegah Pencucian Uang, petugas menjaring para penganut aliran keagamaan ekstrem dan mencap mereka teroris.

Kini, di Hay Ettadhamen, mereka merebut sejumlah masjid dan mengangkat imam masjid dari kalangan sendiri. Di Tunisia hanya seorang imam masjid yang berhak memberikan khotbah di masjidnya. Melalui itulah mereka menyebarkan diskursus keagamaan radikal. Di samping itu, mereka membentuk pengajian, biasanya tertutup, untuk menyebarkan aneka gagasan khas ekstremis.

Dalam seminar "Strategi Nasional Apa untuk Memerangi Terorisme" di Tunis, pada 14 Maret lalu, Syekh Ferid el-Beji, pemimpin lembaga pendidikan nonformal Dar el-Hadith Ezzaitouniya, mensinyalir terdapat sekitar 10 ribu warga pendukung ide "jihadis" yang menginfiltrasi sekitar 5.050 masjid di Tunisia. Ini berdasarkan informasi yang dikumpulkannya. Menurut pria yang juga anggota lembaga think tank antiterorisme Tunisia ini, di setiap masjid paling tidak terdapat satu-tiga orang yang bersimpati terhadap pemikiran radikal.

Setidaknya ada dua faktor yang membuat pemuda Tunis terpikat ISIS. Pertama, mereka tumbuh dengan kekerasan sejak kanak-kanak. Abdelkarim Ben Abdallah, blogger sekaligus pengelola grup media sosial yang pernah melakukan survei perilaku anak usia 6-12 tahun, menyimpulkan anak-anak Tunisia mengalami perlakuan kekerasan setiap hari, baik oleh guru, teman sebaya atau yang lebih besar, maupun orang tua di rumah.

"Kalangan muda di ghetto tumbuh membawa dendam di hati mereka atas ketidakadilan yang mereka hadapi, baik karena kemiskinan, kurangnya fasilitas, maupun ketidakadilan pemerintah dan dendam terhadap aparat keamanan yang kerap menangkapi mereka," kata pria 38 tahun itu kepada Tempo, akhir Maret lalu.

Karena itulah mudah terjadi bentrokan dengan aparat. Jalan Khaled Ben Waled di Daouar Hicher, area di jalan utama di Hay Ettadhamen, beberapa kali menjadi lokasi bentrokan antara aparat dan para pemuda kampung, terutama mereka yang telah menggabungkan diri dengan kelompok Islam garis keras.

Taoufik Dhehibi, 26 tahun, mahasiswa pascasarjana bidang bahasa Arab di Universitas Ezzitouna, Tunis, menyebutkan faktor kedua: politik rezim Ben Ali yang mengerdilkan pemikiran Islam dan membatasi pengaruh ulama. "Ben Ali mengeringkan sumber ilmu keislaman dengan memarginalkan Ezzitouna (Universitas Zaitunah), menutup masjid, dan membatasi majelis keagamaan," ujarnya. Akibatnya, setelah revolusi, ketika keran kebebasan dibuka sebebas-bebasnya, para ulama moderat di Ezzitouna tidak lagi memiliki pengaruh yang luas.

Para syekh Ezzitouna tak mampu bersaing melawan derasnya misionaris atau mubalig Wahabi, yang datang dari negara Teluk. Mereka datang dengan dana jumbo untuk mengiming-imingi para pemuda gaji yang besar. Mereka juga menguasai saluran televisi satelit dan situs Internet radikal. Padahal metode yang digunakan para mubalig ini kerap mengedepankan penanaman akidah secara dogmatis dibanding penelaahan hukum atau diskursus filosofis. Pemikiran radikal dengan gampang menyebut apa saja yang tidak mereka sukai atau tidak mereka ketahui sebagai bidah atau kafir. Ujungnya, pengkafiran menjadi ide pertama yang diserap pemuda Tunisia yang haus pelajaran agama.

Menurut pengamatan Dhehibi terhadap kawan-kawannya yang memilih pergi ke Suriah, mereka adalah pribadi tertutup, kurang bergaul, sehingga tak memahami Islam secara menyeluruh. Sementara itu, kata dia, "Sang radikalis pandai meyakinkan pendengarnya."

Atmi Pertiwi (foreign Policy, The Guardian), M. Yazid Mady (tunis)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus