Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTA Karakas meriah pada Senin dua pekan lalu. Berjuta serpihan kertas merah, biru, kuning, dan putih sengaja dihamburkan ke udara, lalu jatuh mengguyur puluhan ribu kepala warga ibu kota Venezuela, yang dengan riang mengantar presiden tercinta mereka, Hugo Rafael Chavez Frias, ke kantor Komisi Pemilihan Umum Venezuela. Ya, musim daftar calon presiden telah tiba, dan Chavez, yang sudah memimpin Venezuela selama 13 tahun terakhir, mendaftarkan diri sebagai calon presiden ketiga kalinya dalam pemilihan pada 7 Oktober mendatang.
"Ini tahun yang sulit. Tapi Tuhan mengembalikan saya di sini bersama Anda semua," ujarnya saat menyapa pendukungnya dari atas bak sebuah truk yang membawanya ke kantor Komisi.
Sejak mengumumkan dirinya terkena serangan kanker pada 30 Juni tahun lalu, lelaki 57 tahun yang kini berperawakan tambun itu memang menghadapi masa sulit. Lebih berat dibanding tatkala ia menghadapi kudeta militer yang mendera kepemimpinannya pada April 2002. Gara-gara penyakitnya ini, sejak Oktober 2011, ia terpaksa wira-wiri Karakas-Havana, Kuba, untuk berobat. Beruntung, pada Mei lalu, di tanah tempat Fidel Castro melakukan revolusi, Chavez mengumumkan keberhasilan operasinya. Namun banyak kalangan ragu Chavez telah sembuh. Dari meja operasi muncul spekulasi: hidup Chavez tak lama lagi. "Bahkan mungkin tidak sampai Oktober, saat pemilihan dilaksanakan," ujar sebuah sumber dari tempat Chavez dirawat, yang diumumkan Stratfor—sebuah perusahaan konsultan intelijen asal Negeri Abang Sam.
Prediksi Stratfor cukup membuat heboh politik Venezuela. Bisik-bisik dari balik Partai Persatuan Sosialis Venezuela yang dipimpin Chavez menyebutkan adanya tumbukan kecil di dalam partai. Garis keras yang dikomandani Wakil Presiden Elias Jaua, Menteri Luar Negeri Nicolas Maduro, dan Adan Chavez, kakak kandung pemimpin revolusi Venezuela itu, sedang bersaing dengan kelompok pragmatis yang dikuasai Diosdado Cabello, Presiden Majelis Nasional—orang kedua setelah Chavez di pemerintahan—dalam meraih popularitas.
"Chavez sadar tapi ia membiarkan itu demi kepentingan suksesi yang lebih alami dan mengakar kuat," ujar Maria Elena Ferrer, ahli politik Venezuela pemilik perusahaan konsultan politik Humanamente di New York. "Dia seorang yang brilian."
Penilaian Ferrer jelas bukan tanpa dasar. Di balik pembuktiannya berjuang melawan kanker dan bertahan hidup demi rakyat Venezuela, beberapa kali Chavez memperkenalkan para pentolan Chavistas—pengikut setia gerakan revolusi Chavez di Venezuela (Chavismo) itu—secara terselubung kepada publik. Kakaknya Adan tentu paling besar porsinya. Bekas duta besar Venezuela untuk Kuba itu adalah orang yang paling repot tatkala Chavez dalam 11 bulan masa perawatan kesehatan. Bak seorang Che Guevara saat perjuangan revolusi Kuba, Gubernur Barinas itu—kota di barat daya Karakas—selalu mengumpulkan Chavistas di kotanya, untuk kembali mengingatkan perjuangan dan program-program revolusioner adiknya. Pemegang gelar profesor ilmu politik yang loyal terhadap perjuangan Chavez itu telah menduduki banyak posisi strategis di pemerintahan, salah satunya yang paling populer adalah Menteri Pendidikan Venezuela. "Jika terjadi sesuatu terhadap Chavez, dia yang paling mungkin menggantikan," kata Michael Shifter, pengampu lembaga dialog Inter-Amerika berbasis di Washington. "Adan adalah penjaga roh revolusioner gerakan Chavismo."
Tapi Chavez bukan Fidel Castro, yang dengan alasan kesehatan memberikan tampuk kepemimpinan Kuba kepada adiknya, Raul Castro, dengan mudah. Presiden yang doyan olahraga bisbol ini punya strategi lain. Sesuatu yang lebih demokratis. "Chavez adalah manusia yang diturunkan Tuhan sekali dalam satu abad," kata Jesse Chacon, bekas menteri di kabinet.
Chavistas lain yang diberi ruang oleh Chavez adalah Nicholas Maduro, menteri luar negeri dalam kabinetnya. Maduro dipercaya Chavez sebagai orang yang paling luwes berbicara kepada khalayak. Bahkan, pada saat Chavez terbaring sakit di Kuba, Maduro diberi kesempatan berbagi kisah perjuangan Chavez melawan kanker melalui situs media sosial Twitter. Hal ini menunjukkan kedekatan dan kepercayaan seorang Chavez kepada Maduro, yang turut berpeluh saat melakukan revolusi di Venezuela.
Lain lagi cara Chavez dengan Wakil Presiden Elias Jaua, orang kepercayaannya selama ini. Dalam bilangan hari ke depan, Jaua bakal disimpan di pos yang baru sebagai Presiden Dewan Negara, badan penasihat presiden yang diyakini banyak pengamat sebagai indikasi terjadinya transisi politik. "Posisi strategis saat Chavez terpaksa lengser seketika," ujar Vicente Leon, pemilik perusahaan survei politik Datanalisis.
Sedangkan, di seberang kubu ketiga lelaki terdekat Chavez, kontroversi muncul dari Diosdado Cabello, Presiden Majelis Nasional, orang kedua setelah Chavez di Partai Persatuan Sosialis Venezuela. Pada suatu pagi terakhir sebelum Chavez berangkat ke Komisi Pemilihan Umum Venezuela, poster besar secara misterius muncul di salah satu jalan utama Karakas. Gambarnya adalah sosok Cabello dengan tinju yang terangkat dan mengaku sebagai calon Presiden Venezuela berikutnya. Anehnya, ini tidak membuat Chavez gusar. Ketika diberitahukan soal insiden poster itu, ia hanya tersenyum sambil berkata, "Itu hanya pekerjaan sampah dari oposisi."
Cabello memang masuk bursa pengganti Chavez versi para pengamat politik Venezuela sedari dulu. Kedekatannya dengan militer dan komunitas bisnis menjadikannya seorang kandidat yang pantas duduk di kursi presiden. "Lidahnya yang tajam sama seperti Chavez. Mengumpat kepada Amerika dan musuh gerakan kiri adalah salah satu keunggulannya menarik simpati."
Pembicaraan mengenai pengganti Chavez memang sedang menghangat. Para pekerja yang memenuhi bus jemputan karyawan yang siap membawa mereka pulang ke rumah pun berdiskusi tentang transisi politik dan masa depan kepemimpinan Venezuela. Pedro Diaz, 43 tahun, seorang akuntan yang tinggal di kawasan permukiman sebelah timur Karakas, menilai situasi politik yang tidak menentu setelah Chavez jatuh sakit membuatnya cemas. "Semua dipaksa menebak-nebak soal siapa selanjutnya," ujarnya saat berbincang di dalam bus.
Dari barisan penumpang bus yang lain percakapan juga terdengar. Kali ini seorang Chavistas bernama Edelio Rebolledo berseru agar Diaz tidak terlalu cemas memikirkan penerus Chavez. Pensiunan pegawai pemerintah itu yakin, Chavez benar-benar sembuh dari kankernya. "Chavez akan memimpin kita, kalau perlu untuk 2.000 tahun ke depan," katanya mantap.
Chavez boleh tersenyum sambil membangga-banggakan tubuh yang diakuinya kembali sehat di depan puluhan ribu pasang mata pendukungnya. Namun apakah pendaftarannya sungguh-sungguh untuk dirinya atau hanya untuk mengelabui lawan politik tentang kondisi tubuhnya yang sakit sembari dia mempersiapkan pengganti? Entahlah. Cuma Tuhan, Chavez, dan dokternya di Kuba yang tahu betul kondisinya. Yang pasti, para Chavistas kini sedang bergegas.
Sandy Indra Pratama (Time, New York Times , El Nuevo Herald, yalibnan.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo