Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen setebal 25 haÂlaman mendarat di kantor Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, tiga pekan lalu. Bupati Kutai Timur Irsan Noor kaget bukan kepalang saat mengetahui itu gugatan arbitrase kepada pemerintahannya. Sang penggugat, Churchill Mining Plc, mencantumkan tuntutan tak tanggung-tanggung: US$ 2 miliar atau sekitar Rp 19 triliun. Meski begitu, Irsan mengaku tak gentar. "Akan kami lawan," katanya.
Pada lembar pertama surat itu tertulis "Request for Arbitration". Di kolom pengirim tercantum: Sekretariat Jenderal International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID), yang berbasis di Washington, DC. Belakangan, Irsan tahu ICSID merupakan lembaga internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi di negara-negara di bawah grup Bank Dunia. Sebagai perusahaan pertambangan multinasional, Churchill menggugat lewat ICSID.
Surat itu juga mencantumkan pihak lain yang menjadi tergugat. Mereka adalah pemerintah Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal, serta Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat dan di Inggris.
Dalam gugatan yang didaftarkan pada 22 Mei lalu itu, Churchill mengaku dirugikan karena Bupati Irsan Noor mencabut surat izin kuasa pertambangan batu bara milik PT Ridlatama Tambang Mineral, PT ÂRidlatama Trade Powerindo, PT Investmine Nusa Persada, dan PT Investama Resources. Churchill, yang berbasis di Inggris, menyatakan menguasai 75 persen saham pada empat perusahaan tersebut.
Churchill telanjur mengorek uang kas mereka untuk mengeksplorasi batu bara di lahan seluas 35 ribu hektare yang tersebar di Kecamatan Busang, Muara Wahau, Telen, dan Muara Ancalong itu. Perusahaan yang terdaftar di London Stock Exchange ini mengklaim sudah menghabiskan US$ 40 juta untuk proyek eksplorasi sejak lima tahun lalu.
Bagi Churchill, lokasi pertambangan di Kutai Timur sangat lezat. Mereka pernah mengumumkan penemuan deposit batu bara dengan kalori kelas menengah sekitar 1 miliar ton di lokasi itu. Churchill bahkan menyebutkan deposit itu bisa mencapai 2,8 miliar ton. "Batu bara di sana bisa menghasilkan US$ 2 miliar per tahun," kata Direktur Utama Churchill David F. Quinlivan di situs resmi perusahaan mereka.
Pengumuman itu memang membuat harga saham Churchill di bursa melejit. Tapi itu menjadi bumerang bagi mereka. Soalnya, kemudian banyak pihak jadi tergiur mengambil untung di lokasi tambang itu.
Surat izin kuasa pertambangan keempat perusahaan itu pun diungkit-ungkit. Irsan Noor, misalnya, menuding surat izin itu palsu. "Indikasinya, nomor surat tertulis terbalik," kata Irsan. Dia merujuk pada surat dari Menteri Kehutanan. Surat itu menyebutkan kegiatan tambang empat perusahaan berada di hutan produksi. Bagi Bupati Irsan, karut-marut itu cukup untuk menjadi dasar pencabutan izin empat perusahaan. Kini izin kuasa pertambangan di lokasi itu dikabarkan beralih ke perusahaan lain.
Tak terima, Churchill memperkarakan pencabutan izin itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Pengadilan berlangsung alot antara lain karena kepolisian setempat mengatakan izin milik empat perusahaan itu sah. Tapi Kementerian Kehutanan berbalik arah dengan mengatakan izin pertambangan itu urusan bupati, bukan menteri. Ini pukulan telak untuk Churchill. Walhasil, di Pengadilan Tata Usaha Negara, Churchill kalah. Terakhir, Mahkamah Agung pun menolak kasasi Churchill.
Tak bisa berbuat banyak melawan hukum di Indonesia, Churchill memperlebar medan pertarungan. Mereka melompat ke jalur arbitrase internasional. "Kami memilih jalan arbitrase untuk menghadapi negara berkembang seperti Indonesia," kata Quinlivan.
Pengamat hukum internasional Yoseph Suardi Sabda mengatakan pemerintah tak usah terlalu risau terhadap gugatan Churchill. Toh, panelis ICSID belum tentu setuju menyidangkan gugatan itu. Paling tidak, masih ada waktu 20 hari selama ÂICSID memproses persyaratan gugatan Churchill.
Pensiunan jaksa ini memperkirakan ÂICSID tak akan menerima gugatan Churchill. Alasannya, sengketa itu sudah diselesaikan pengadilan Indonesia. Bila perusahaan asing bersengketa dengan pemerintah, mereka harus memilih salah satu jalur penyelesaian: apakah di pengadilan di dalam negeri atau melibatkan pengadilan arbitrase internasional. "Tidak bisa dilakukan dua-duanya," kata Yoseph.
Menurut Yoseph, Churchill pun bisa terganjal syarat persetujuan dua pihak bila ingin membawa perselisihan ke arbitrase internasional. Soal ini pun pemerintah Indonesia bisa tidak sepakat. Masalahnya, kata Yoseph, hukum internasional tak terbebas dari multitafsir. Akibatnya, perusahaan luar negeri bisa mencari jalan lain seperti yang ditempuh Churchill. Untuk melawannya, "Pemerintah mesti mempersoalkan balik gugatan arbitrase itu."
Pengacara Kabupaten Kutai Timur, Didi Dermawan, mulai merancang perlawanan. Dia menyebutkan klaim Churchill soal penguasaan 75 persen saham empat perusahaan hanya isapan jempol. Menurut Didi, saham empat perusahaan itu milik investor lokal.
Didi lantas menunjukkan sepucuk surat bertanggal 7 Desember 2011. Surat itu dilayangkan M&A Law Corporation, yang mewakili Ridlatama Group. Kantor pengacara tersebut memprotes klaim Churchill atas saham di Ridlatama. Di samping menyangkal klaim Churchill, Ridlatama menuntut Churchill meminta maaf. "Mereka tak berhak menggugat karena klaim itu tak bisa dibuktikan," kata Didi.
Mustafa Silalahi, Rosalina, Tomi Aryanto
Kalah di Sana-sini
Perjalanan Churchill Mining Plc untuk mendulang batu bara di Kutai Timur panjang dan berliku. Memulai dengan mengakuisisi perusahaan lokal, mereka terganjal restu pemerintah setempat.
Mei-November 2007
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menerbitkan surat kuasa pertambangan dan izin usaha pertambangan kepada PT Ridlatama Tambang Mineral, PT Ridlatama Trade Powerindo, PT Investmine Nusa Persada, dan PT Investama Resources.
Maret 2008
Churchill Mining, melalui PT Indonesian Coal Development, mengklaim mengakuisisi saham empat perusahaan itu melalui PT Techno Coal Utama Prima.
September 2009
Bupati Isran Noor mengirim surat ke London Stock Exchange. Bupati membeberkan dugaan pemalsuan dokumen oleh empat perusahaan pertambangan di Kutai Timur yang sahamnya diklaim milik Churchill.
Desember 2009
Kepolisian Resor Kutai Timur menyebutkan surat kuasa pertambangan empat perusahaan sah dan bisa digunakan.
Mei 2010
Surat kuasa pertambangan milik empat perusahaan di bawah Churchill dicabut dengan alasan pemalsuan. Empat perusahaan dianggap merusak hutan dan melakukan kegiatan ilegal.
27 Agustus 2010
Empat perusahaan mendaftarkan gugatan pencabutan kuasa pertambangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda.
3 Maret 2011
Majelis hakim PTUN Samarinda memutuskan menolak gugatan itu. Churchill mengajukan permohonan banding.
8 Agustus 2011
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menolak permohonan banding keempat perusahaan.
19 Januari 2012
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi keempat perusahaan.
22 Mei 2012
Churchill mendaftarkan gugatan sengketa ke International Centre for Settlement of Investment Disputes di Washington, DC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo