Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arab Saudi
Putra Mahkota Baru
ARAB Saudi punya putra mahkota baru. Pekan lalu, Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud menunjuk adiknya, Pangeran Salman bin Abdul Aziz al-Saud, menggantikan mendiang Pangeran Nayef, yang meninggal di Swiss, Sabtu dua pekan lalu.
Stasiun televisi pemerintah, Al Ekhbariyah, melaporkan Pangeran Salman, 59 tahun, juga diangkat sebagai wakil perdana menteri dan tetap memegang jabatan sebelumnya sebagai menteri pertahanan.
Pangeran Salman sebelumnya disebutkan sedang dipersiapkan sebagai putra mahkota ketika Pangeran Nayef sakit. Ia dinilai layak meneruskan kekuasaan abangnya dengan pengalaman menjadi Gubernur Riyadh selama lima dekade.
Pada 1953, lima putra Raja Abdul Aziz, pendiri Arab Saudi, sepakat bertakhta secara bergiliran. Salman adalah satu dari empat putra Abdul Aziz yang masih hidup dari mendiang istri kesayangannya, Putri Hassa al-Sudairi. Tiga putra lainnya adalah Pangeran Abdul Rahman, 81 tahun; Pangeran Turki, 80 tahun; dan Pangeran Ahmad, 70 tahun. Yang terakhir ini menjabat wakil menteri dalam negeri dan kepala keamanan kerajaan menggantikan Nayef.
Pangeran Salman dianggap sedikit lebih terbuka pemikirannya ketimbang Pangeran Nayef. Ia memimpin upaya pemberantasan jihadisme. Namun, di sisi lain, ia tetap menjalankan aturan ketat Wahabi, di antaranya penggunaan polisi syariat.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyambut baik pengangkatan Pangeran Salman. "Dengan kapasitas Salman, kami yakin kemitraan Amerika dan Arab Saudi akan terus berjalan," ujarnya.
Inggris
Suu Kyi Undang Investor
PEJUANG demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengajak pemilik modal di Inggris berinvestasi di Myanmar. Ajakan itu ia sampaikan saat berkunjung ke Inggris pekan lalu.
Anggota parlemen berusia 67 tahun itu mengatakan Myanmar sedang berupaya mengatasi ketertinggalan dari negara lain setelah terisolasi selama lima dekade. "Investasi itu akan memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak," kata Suu Kyi dalam pidato setelah mendapatkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Oxford, Rabu pekan lalu.
Ini kunjungan spesial bagi Suu Kyi, yang mendekam di tahanan selama 21 tahun. Di Negeri Ratu Elizabeth itu, ia meninggalkan suaminya, Michael Aris, serta dua anaknya, Alexander dan Kim, pada 1988 karena ditahan di Myanmar. Bahkan ia tak sempat menengok suaminya yang menderita kanker dan meninggal pada 27 Maret 1999.
Kedatangan Suu Kyi ke Kota Oxford disambut meriah tak kurang dari 200 aktivis. "Selamat datang kembali!" teriak mereka yang berjajar di sepanjang lorong yang dilalui rombongan Suu Kyi menuju universitas tertua di Inggris itu.
Di dalam gedung Sheldonian Theatre, tempat acara digelar, 900 tamu sudah menunggu. Sebagian besar dari mereka mengenakan jubah akademik, yang dikenal dengan subfusc. Para tamu tersebut terdiri atas mahasiswa, dosen, dan pimpinan Universitas Oxford.
Tempo menyaksikan langsung upacara yang dipimpin Chancellor (Presiden) Universitas Oxford Chris Patten itu. Suu Kyi memulai pidatonya dengan mengingat masa-masa indahnya saat menimba ilmu di universitas itu pada akhir 1960-an.
Kepala Partai Liga Demokrasi Nasional cabang Inggris, Win Naing, mendukung langkah Suu Kyi mengajak investor ikut membangun negaranya. "Namun masih ada faksi garis keras di militer yang menentang perubahan ini," ujar pria yang menjadi pelarian politik di Inggris lebih dari dua dekade itu.
Pakistan
Pemecatan Perdana Menteri
MAHKAMAH Agung Pakistan memberhentikan Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani pada Selasa pekan lalu. April lalu, Gilani dianggap bersalah menghina pengadilan karena menolak membuka kembali kasus korupsi Presiden Asif Ali Zardari. "Yusuf Raza Gilani juga didiskualifikasi sebagai anggota Majelis-e-Shoora (parlemen)," kata hakim Mahkamah Agung, Iftikhar Chaudhry, di ruang sidang yang disesaki pengunjung.
Menurut Fawad Chaudhry, orang dekat Gilani, hanya parlemen yang bisa memberhentikan perdana menteri. Namun beberapa jam kemudian televisi pemerintah, Geo News, melaporkan Komisi Pemilihan Pakistan telah mengeluarkan surat pemberitahuan pemecatan resmi untuk Gilani.
Pemecatan itu sangat memukul Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang berkuasa. Namun PPP bersama koalisinya segera menyiapkan calon pengganti Gilani sebelum masa pemerintahannya berakhir pada awal 2013.
PPP mengusulkan Makhdoom Shahabuddin dan Ahmed Mukhtar sebagai calon perdana menteri baru. Pemilihan dua politikus senior PPP itu dilakukan dalam pertemuan partai yang dipimpin ketuanya, Asif Ali Zardari, Rabu pekan lalu.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menilai putusan pengadilan sebagai urusan internal Pakistan. Putusan itu akan menjadi pintu memperbaiki hubungan kedua negara yang memburuk selama kepemimpinan Gilani.
Inggris
Bir Para Rahib
PARA biarawan di Inggris tak hanya sibuk melayani jemaat. Mereka juga punya kesibukan lain yang jauh sekali dari misi pelayanan: membuat bir. Komunitas ordo Benedict di Ampleforth Abbey di lembah Yorkshire Utara, Inggris, akan menjual bir produksi mereka mulai bulan depan.
Ini adalah bir biara pertama sejak kaum Benedict meninggalkan Prancis dan menetap di Ampleforth pada 1802. Banyak orang menunggu beredarnya bir ini karena reputasi kaum Benedict yang kesohor dalam meramu bir pada masa lalu.
"Kami ingin mendapatkan rasa dan tekstur yang benar," kata Pastor Wulstan Peterburs, pemimpin biara Ampleforth. Ia mengaku telah mendapatkan lisensi dari Louis XIV untuk menjual bir ke mana saja. "Kami pikir sukses ada di tangan kami."
Pembuatan bir sudah dijalankan sejak satu dekade silam. Mereka mengerjakannya sebagai industri rumahan dengan produksi 22,5 ribu liter per tahun. Sebelum dijual ke publik, bir ini telah mendapat pengawasan dan diuji di perguruan tinggi.
Bir ini memiliki rasa yang kuat karena kandungan alkoholnya lebih tinggi daripada rata-rata bir yang beredar di pasar, yakni tujuh persen. Bir hanya dijual dalam kemasan botol 330 mililiter. Bir telah melalui dua kali fermentasi. Mereka menjualnya seharga 36 pound sterling atau setara dengan Rp 530 ribu dalam kemasan berisi 12 botol. Mereka menetapkan harga tinggi agar tidak disalahgunakan kaum muda. "Kami ingin memberi pelajaran tanggung jawab kepada pelajar," kata Peterburs.
Meksiko
Soal Malvinas di Forum G-20
DUA pemimpin negara yang sedang bersitegang, Inggris dan Argentina, bertemu di forum Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Los Cabos, Meksiko, Selasa pekan lalu. Perdana Menteri Inggris David Cameron menemui Presiden Argentina Cristina Fernández de Kirchner untuk mengingatkan ihwal rencana referendum masyarakat Kepulauan Falkland, yang akan digelar tahun depan.
Cameron mendesak Kirchner menghormati keinginan 3.000 warga kepulauan di Atlantik Selatan itu yang ingin tetap menjadi warga Inggris. "Kita harus percaya pada penentuan nasib sendiri dan bertindak demokratis di G-20," ujar Cameron kepada Kirchner.
Kirchner membalasnya dengan mengatakan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan masalah itu harus diselesaikan melalui jalur perundingan. "Presiden (Kirchner) memegang resolusi PBB dan dia bilang kepada Cameron, 'Mari kita hormati PBB'," ujar Menteri Luar Negeri Argentina Héctor Timerman.
Menurut dia, Kirchner sempat menyerahkan kepada Cameron paket makalah tentang usul Argentina ke PBB agar Falkland disebut Malvinas. "Perdana Menteri (Cameron) menolak menerima dokumen itu, berbalik, dan pergi tanpa pamit," ujar Timerman.
Timerman menuduh Inggris tidak menghormati resolusi PBB dan mempertahankan pola pikir imperialis. Argentina enggan disebut menggunakan forum G-20 untuk memanaskan isu Falkland.
Hubungan kedua negara memanas lantaran pidato Cameron yang menyerang kebijakan antibisnis Argentina pada Senin pekan lalu. Dalam pidatonya, Cameron mengatakan pemerintah Argentina terlalu mengekang hak perusahaan asing, seperti memaksakan nasionalisasi perusahaan minyak Spanyol, Yacimientos Petrolíferos Fiscales.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo