Asia boleh lega. Sang Kanguru tidak meloncat terlalu jauh dalam politik. Dengan kemenangan John Howard dalam pemilu federal yang penghitungannya baru saja selesai, berarti inilah kedua kalinya Howard menjabat perdana menteri Australia. Selain itu, negara Asia yang prihatin akan kecenderungan rasialis Pauline Hanson dari Partai Satu Bangsa kini dapat menghela napas lega. Sebab, Howard menyatakan akan menangani isu-isu suku Aborigin secara lebih bijaksana.
Partai koalisi Liberal-Nasional yang dipimpin Howard memang masih cukup kuat sehingga kemenangan kembali diraih. Namun kursi yang diperoleh koalisi merosot tajam dibandingkan dengan kemenangannya tahun 1995. Saat itu koalisi mampu meraih 92 dari total 148 kursi di Majelis Rendah, tapi sekarang turun menjadi 80 kursi saja.
Sikap Howard yang dianggap tidak transparan dalam menangani masalah rasial ini dituding punya andil terhadap berkurangnya kursi koalisi. Padahal, saat itu rakyat Australia tidak nyaman dengan sikap rasialis Partai Satu Bangsa pimpinan Pauline Hanson. Hanson menyatakan imigran Asia dan tunjangan untuk kaum Aborigin adalah penyebab utama penduduk kulit putih jatuh miskin. Saat itu Howard justru memilih bungkam dan tidak bersedia mengecam Hanson. Alasannya? Bagi Howard, jika ia makin meladeni, suasana malah makin runyam. Namun sikap itu membuat masyarakat Australia berang dan Howard sempat dicurigai jangan-jangan pada dasarnya ia setuju dengan Hanson. Untunglah, muncul suara lain dari satu kubu yang menyerang Hanson, yakni Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perdagangan Tim Fischer, pemimpin Partai Nasional.
Surutnya dominasi koalisi ini juga disebabkan naiknya pamor Partai Buruh. Dibandingkan dengan tiga tahun silam, kursi partai oposisi ini melonjak dari 49 kursi menjadi 68 kursi. Janji partai pimpinan Kim Beazley untuk membuka 500 ribu lapangan kerja baru itu memang memikat. Tapi kiat ini tidak cukup ampuh. Masalahnya, ide tersebut dianggap kurang masuk akal mengingat perekonomian Asia yang sedang compang-camping, sementara sejak awal dasawarsa ini Australia telah memutuskan Asia sebagai pasar utama.
Kemenangan koalisi tampaknya lebih disebabkan karena rakyat Australia menaruh harapan pada program andalan Howard, yaitu restrukturasi pajak. Singkatnya, Howard berjanji, bila pemerintahannya terpilih lagi, pajak barang dan jasa akan diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan. Sementara itu, rakyat juga dijanjikan keringanan pajak mulai tahun depan.
Kemurahan hati ini konon akan dibiayai dengan dana surplus empat tahun ke depan. Perhitungan ini berdasarkan prediksi pertumbuhan 2,75 persen pada 1998-1999 dan 3,5 persen pada tiga tahun berikutnya. Tim Fischer yakin angka pengangguran akan terpangkas dengan stabilitas ekonomi ini. Adapun program yang diprioritaskan ialah bidang perdagangan, investasi, dan pariwisata.
Howard juga menjanjikan referendum tahun depan untuk menjajaki ide pembentukan negara republik. Howard menekankan, apa pun hasilnya, referendum tersebut tidak akan merusak serat kehidupan masyarakat Australia.
Di sisi lain, hasil pemilihan kali ini membuat negara-negara tetangga menarik napas lega dengan tumbangnya Partai Satu Bangsa. Untuk Majelis Rendah, tak satu kursi pun yang dapat diraih. Bahkan, semasa kampanye, Pauline Hanson dijadikan bahan tertawaan oleh para wartawan. Hanson dianggap asal-asalan ketika menawarkan konsep pajak yang dipukul rata sebesar dua persen dan mencetak uang untuk mengongkosi negara.
Bagi Indonesia, hasil pemilihan kali ini juga mempunyai arti penting yang lain. Kursi terakhir yang diraih koalisi jatuh pada Alexander Downer, yang saat ini menjabat menteri luar negeri. Padahal Downerlah yang memerintahkan dilanjutkan kembali pemeriksaan atas kasus tewasnya lima wartawan Australia pada tahun 1975 di Balibo, Timor Timur.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas telah menyatakan sikap agar luka lama ini tidak dibuka lagi. Tampaknya, insiden Balibo akan menjadi agenda menarik. Namun Tim Fishcher, yang ditemui TEMPO sebelum insiden ini mencuat, tetap yakin hubungan antara kedua negara ini bisa tetap erat. Alasan Fischer, yang sudah bertemu dengan Presiden Habibie dan beberapa menteri kabinet reformasi, adalah Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda positif untuk menjadi negara yang demokratis. "Saya menaruh respek pada kesanggupan Presiden Habibie," ujar Tim Fischer kepada TEMPO.
Yusi A. Pareanom (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini