Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Partai pilihan puak melayu

Keturunan melayu di afrika selatan lebih suka memilih partai nasional (np), milik de klerk, daripada parti kongres nasional afrika (anc). program np lebih menarik.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara penduduk Afrika Selatan yang berkulit hitam dan putih, terselip orang Melayu yang berkulit cokelat. Mereka digolongkan sebagai orang berwarna atau colored, yang juga dibedakan derajatnya. Tapi dalam pemilu kemarin, puak Melayu itu agaknya lebih memihak pada Partai Nasional (NP), milik De Klerk, daripada partai favorit orang kulit hitam Partai Kongres Nasional Afrika (ANC). "Saya pilih NP. Saya kurang percaya pada kemampuan orang kulit hitam untuk memerintah," kata Anisha kepada TEMPO. Ia tinggal di Cape Town, ibu kota Provinsi Cape Barat, yang memang menjadi tempat kediaman sebagian besar orang Melayu. Sebagai seorang pedagang yang memiliki toko pakaian, Anisha merasa program-program ekonomi orang ANC membuatnya sedikit merinding. Hal yang sama juga dirasakan di kalangan bisnis. "Kami takut ANC menjalankan program yang merugikan," tutur Anisha. Misalnya saja, sudah ramai disebut-sebut rencana ANC untuk melakukan nasionalisasi atau mengeluarkan berbagai peraturan yang semakin mempersulit orang berdagang. Jumlah puak Melayu keturunan pendatang dari Indonesia itu sebenarnya tak banyak. Dari total 40 juta penduduk Afrika Selatan, kurang dari tiga persen yang Melayu. Sekalipun demikian, kehadiran mereka cukup terasa. Kata "pisang" dan "piring", misalnya, sudah diserap menjadi kosakata bahasa Afrikaans, bahasa orang kulit putih yang mirip dengan bahasa Belanda. Kebanyakan kaum Melayu terjun menjadi pengusaha. Hal ini sengaja direkayasa oleh penguasa, yang memang memberi peluang lebih banyak kepada orang Melayu daripada buat orang hitam. Menurut Ismail Richards, satu-satunya Melayu anggota parlemen sementara yang juga tergabung dalam kubu ANC, orang Melayu menjadi semacam bumper untuk melindungi orang kulit putih dari orang kulit hitam. Posisi ini mirip-mirip dengan kedudukan warga keturunan Arab dan Cina di zaman kolonial Belanda di Indonesia dulu. Praktis orang Melayu menjadi golongan menengah yang diizinkan bekerja sebagai pedagang pakaian atau makanan, petani, nelayan. Ada juga yang menjadi kontraktor bangunan. Kulit hitam hanya boleh bekerja sebagai buruh tambang atau pembantu rumah tangga. Sejak 1970, orang Melayu dan India diizinkan belajar di universitas. Dalam kehidupan sehari-hari, puak Melayu juga mendapat keleluasaan. Yang paling mencolok, mereka boleh berjalan-jalan di dalam kota, baik siang maupun malam, tanpa harus minta izin. Mereka juga boleh memiliki tanah sejauh masih berada di dalam kawasan khusus yang ditetapkan pemerintah sebagai permukiman Melayu yang jauh dari kawasan elit kulit putih yang selalu bertanda For Whites Only. Mengapa Melayu mendapat keistimewaan dibanding orang hitam, cerita Ismail, itu karena latar belakang sejarah kedatangan puak itu. "Nenek moyang kami bukan budak. Kami adalah keturunan tahanan politik yang dihormati penguasa di sini pada waktu itu," kata Ismail. Adalah Syekh Maulana Yusuf, asal Sulawesi Selatan, yang pertama kali tiba di Afrika Selatan pada tahun 1694. Syekh Yusuf akhirnya dikenal sebagai pendiri masyarakat Melayu. Saat itu Syekh Yusuf, yang menentang penjajahan VOC, diasingkan bersama dengan 48 orang pengikutnya. Tahun-tahun berikutnya, arus orang Melayu dari Indonesia semakin deras, di antaranya ada seorang ulama asal Ternate, Abdullah bin Qadi Abdussalam, yang ditahan di penjara Pulau Robben selama 20 tahun. Lepas dari penjara, Abdullah menetap di Cape Town dan mulai menyebarkan agama Islam. Tentu saja hubungan antara kaum cokelat pendatang dan orang kulit hitam tak pernah rukun. Sementara itu, pemerintah juga terus mengadu domba. Hingga kini, kecurigaan antara dua kelompok ini masih kental. Orang Melayu selalu curiga pemerintahan orang hitam akan membuat mereka kehilangan hak istimewa. "Karena posisi yang lumayan ini, tak banyak Melayu yang ikut berjuang melawan sistem apartheid," tutur Ismail. Orang Melayu tampaknya akan tetap jauh dari partai-partai orang kulit hitam.Yuli Ismartono (Cape Town)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum