SETELAH delapan bulan tertunda, persetujuan otonomi Palestina akhirnya diteken Rabu pekan ini di Kairo, Mesir. Berbareng dengan perjanjian itu, jika tak ada aral melintang, tentara Israel mulai ditarik mundur dari daerah pendudukan. Kalau skenario tak berubah, ribuan warga Palestina yang tersekap di bilik tahanan Israel dibebaskan. Sementara itu, puluhan truk sumbangan Amerika Serikat telah siap meluncur di Port Said, Mesir. Mereka akan mengangkut 6.000 polisi Palestina dari tempat latihannya di Kairo ke "tanah airnya yang baru". Sepekan kemudian, mereka diharapkan sudah dapat mengambil oper pos-pos tentara Israel untuk menjaga keamanan di daerah otonomi. Itulah salah satu langkah menjelang kelahiran negara Palestina. Tentu status otonomi 100% akan dicapainya secara bertahap. Ganjalan paling besar, yang akhirnya dapat dibereskan, adalah soal kewenangan peradilan Palestina bagi orang asing (termasuk orang Yahudi) di daerah otonomi itu. Namun, ada hal kecil-kecil yang dapat segera dilaksanakan -- setelah persetujuan Kairo itu. Misalnya, daerah otonomi Palestina itu akan segera memiliki prangko dan kode telepon internasional sendiri. Warganya akan dilengkapi dengan KTP alias tanda pengenal yang nantinya dapat berfungsi sebagai paspor. Yang diharapkan akan segera membesarkan "bayi" negara Palestina adalah bantuan ekonomi dari sejumlah negara donor, yang bersidang dua pekan lalu di Norwegia. Namun, itu semua belum putus. Yang sudah di tangan adalah kesepakatan kerja sama ekonomi dengan Israel yang disetujui di Paris pekan lalu. Menurut Reuters, Palestina dan Israel telah sepakat menekan tingkat pengangguran di bekas daerah pendudukan itu. Caranya, para buruh Palestina boleh mencari kerja di Israel. Pajak penghasilan mereka, yang dikutip Israel, nantinya akan dikembalikan ke negara Palestina -- walau jumlahnya hanya 75%. Selain itu, negara otonomi Palestina juga punya hak menentukan sistem moneter sendiri, termasuk kebijaksanaan pajak. Palestina juga berhak menetapkan tarif bea masuk untuk sejumlah komoditi tertentu. Sebagian produk pertanian dan manufaktur Palestina juga bebas dijual ke Israel. Semua itu memang baru di kertas. Pelaksanaannya mungkin tetap saja mengalami ganjalan. Kamis pekan lalu, misalnya, ketika kedua delegasi baru saja setuju mau meneken kesepakatan itu, protes dari orang Palestina merebak di daerah pendudukan. Mereka menyerang PM Israel Yitzhak Rabin yang mempersulit masuknya 70.000 buruh Palestina ke Israel dan Yerusalem. Sejak pengeboman harakiri anggota Hamas di Afula bulan lalu, kontrol terhadap arus keluar-masuk orang Palestina ke daerah Israel tampak semakin ketat. "Apa gunanya kesepakatan tertulis kalau tak dilaksanakan," kata Hanan Ashrawi, bekas juru runding PLO, yang mundur lantaran bentrok dengan Arafat. Selain belum dapat dirasakan langsung manfaatnya, kesepakatan tadi belum pula menyangkut soal yang lebih mendasar, seperti batas wilayah. Hingga akhir pekan lalu, masih ada perbedaan pendapat tentang luas Yerikho. Delegasi Israel menganggap wilayah gersang di Tepi Barat itu luasnya tak lebih dari 57 kilometer persegi, sementara PLO menuntut sekitar 250 kilometer persegi. Soal wilayah, bisa jadi, tetap saja menjadi masalah antara Israel dan Palestina -- walau secara prinsip sudah disepakati kedua pihak. Israel, misalnya, masih tetap menahan beberapa sumber duit yang mestinya dibutuhkan untuk membangun ekonomi Palestina. Di antaranya, Israel mungkin hanya akan memberikan 3 mil daerah perairan laut atau hanya seperempat daerah yang dituntut Palestina. Misalnya lagi, bebas bea bagi produk pertanian Palestina mungkin juga tak berfaedah. Sebab, yang dibebaskan adalah produk yang memang tak laku di Israel, seperti jeruk dan pisang. Sedangkan tomat, timun, kentang, telur, dan ayam potong, yang laku keras, terkena kuota. Yang juga akan menjadi masalah adalah soal sumber duit. Misalnya saja jembatan Allenby -- lintas utama arus barang Yordania--Yerikho. Di sini, sampai sekarang Israel memasang pos pabean untuk mengutip bea masuk. Pihak Israel tampaknya ngotot untuk menguasai "jembatan fulus" itu. Penguasa Yahudi juga masih maju-mundur dalam hal melepaskan pengelolaan aset-aset negara ke Palestina. Yang dilepaskan hanya pengelolaan sumber air. Orang Palestina bebas menggali sumur di mana pun. Tapi apalah artinya kebebasan itu bila seluruh daerah Yerikho kering kerontang, tak mengandung air. Nah, untuk mendapatkan air segar, warga Palestina mesti mengalirkannya dari daerah Israel -- tentu tak ada yang gratis. Sebagai daerah otonom, ternyata Palestina tak berhak menentukan penggunaan tanah di wilayahnya. Sebab, tanah tetap dikuasai oleh badan pertanahan yang dikendalikan oleh militer Israel. Hak pakai tanah, izin mendirikan bangunan, dan lain- lain hanya diberikan oleh badan ini. Dengan berbagai keterbatasan itu, dapat diramalkan, ekonomi Palestina akan bergantung pada kebaikan hati negara donor -- karena salah satu sumber andalan devisanya, untuk sementara, adalah kiriman dari para buruh Palestina yang ada di luar negeri. Sedikit penerimaan juga diharapkan mengalir dari para pelancong yang mau melihat beberapa peninggalan kuno di negara Palestina itu. Andai kata dapat lolos dari kesulitan ekonomi, negara Palestina juga akan masuk ke kemelut politik. Penyusunan konstitusi, penentuan format politik, pertarungan berbagai kelompok, dan kemampuan birokrasi akan menjadi ganjalan berikutnya.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini