KEAJAIBAN tiba-tiba saja terjadi di Afrika Selatan. Banyak yang meramal, kiamat kecil-kecilan bakal melanda saat 22,7 juta orang melaksanakan hak suaranya dalam pemilihan umum pekan lalu. Bayangkan, dalam empat tahun terakhir tak kurang dari 15 ribu orang mati, menjadi korban pertikaian politik. Pemilu pekan lalu, yang menjadi puncak segala perseteruan itu, pasti akan benar-benar menumpahkan darah dan memakan korban sebanyak- banyaknya. Begitulah perkiraan orang. Ternyata tidak. Hanya ada tiga bom yang diledakkan ekstremis kulit putih yang mati-matian menentang pemilu. Satu di Johannesburg, satu lagi di Pretoria, dan terakhir di Bandara Jan Smuts, bandara terbesar Afrika Selatan yang terletak di pinggiran Johannesburg. Korban seluruhnya, hingga Jumat malam pekan lalu, 34 tewas, sungguh jauh di bawah masa-masa kampanye ketika puluhan orang tewas hanya dalam sehari. Di luar itu semua, seperti ada tangan ajaib yang sedang bekerja keras, perdamaian menyelimuti bumi Afrika Selatan. Kerusuhan juga tak meletus sekalipun pemilu berjalan tersendat- sendat di berbagai tempat. Juga ketika pemerintah mesti memperpanjang pemilu untuk enam wilayah yang dulunya daerah khusus orang hitam, termasuk di KwaZulu-Natal yang paling rawan, tak ada pertumpahan darah. Padahal, antrean panjang mengular berkilo-kilometer di berbagai tempat pemungutan suara karena surat suara yang datang terlambat, atau gara-gara soal salah urus lainnya. Seperti dikemukakan seorang pedagang kain di Alexandra, Gloria Manganyi, "Saya sudah menunggu seumur hidup untuk pemilu, tentu saya bisa menunggu beberapa jam." Ia sudah antre sejak pukul empat subuh sambil menggendong bayinya yang berselimut tebal. Angin musim dingin tetap saja tajam menusuk tulang sekalipun suasana hangat karena pemilu. Di luar dugaan, rakyat Afrika tiba-tiba memamerkan kesabaran yang luar biasa. Kesabaran rakyat juga diperlukan dalam bulan-bulan mendatang ini. Nelson Mandela, Ketua Partai Kongres Afrika (ANC) yang hampir pasti bakal menjadi presiden baru, harus memenangkan kesabaran rakyatnya. Mandela tak bakal bisa segera memenuhi janji-janji kampanye -- pekerjaan, pendidikan, dan rumah untuk orang hitam -- sebelum ekonomi Afrika Selatan dibenahi. Bahkan bukan hanya pembenahan, ekonomi Afrika Selatan memerlukan perombakan besar-besaran, overhaul, seperti mobil yang harus turun mesin. Apa yang diwariskan oleh rezim apartheid sungguh bobrok. Sekaligus ada surga dan neraka di Afrika Selatan. Menurut data The Asian Wall Streel Journal, pendapatan per kepala orang hitam hanya 10% dari milik kulit putih. Orang hitam merupakan 75% dari 40 juta penduduk, tapi mereka hanya memiliki kurang dari 15% tanah, menguasai hanya dua persen dari seluruh kekayaan nasional, dan tak sampai tiga persen yang bekerja bukan sebagai buruh. Ada 12 juta orang hitam tak merasakan air bersih, 14 juta tak bisa membaca, dan 23 juta tak punya aliran listrik di rumahnya. Anggaran pendidikan untuk kulit putih 3,5 kali lipat lebih besar dibanding dengan jatah kulit hitam. Ada 60 saluran telepon untuk setiap 100 orang kulit putih. Bagi orang hitam, satu saluran untuk setiap 100 penduduk. Alexandra adalah satu contoh bagaimana pemerintah mengabaikan begitu saja penduduk kulit hitam. Di sini, paling sedikit 360 ribu orang hidup di area seluas 4 kilometer persegi. Setiap jengkal lahan dipenuhi oleh gubuk kayu dan kardus. Tak ada air bersih. Yang namanya kakus hanyalah berupa ember yang diletakkan begitu saja di depan deretan gubuk. Penghuni dari beberapa gubuk memakainya bergantian. Beberapa hari sekali kotoran yang sudah menumpuk baru dibuang. Bau busuk tak pelak lagi menyebar ke mana-mana setiap saat. Selain jurang ketimpangan yang menganga begitu dalam, secara keseluruhan ekonomi Afrika Selatan juga memburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Sanksi masyarakat dunia, sebagai protes atas sistem apartheid yang diterapkan sejak 1985, membuat negeri yang kaya mineral dan barang tambang ini menjadi paria yang terasing. Kekayaan alam yang menyilaukan juga mendorong terjadinya salah urus dalam kebijakan ekonomi. Hampir seluruh devisa yang terkumpul habis tercurah di sektor pertambangan -- emas, batu bara, dan berlian. Industri yang dibangun pun erat berkaitan dengan komoditi itu. Industri semacam ini jelas hanya menguntungkan segelintir pemilik, jelas berkulit putih. Tak heran bila beberapa biji konglomerat ini menguasai ekonomi, 90 persen perusahaan yang menjual sahamnya di pasar modal Johannesburg dimiliki oleh enam konglomerat. Industri manufaktur, yang punya nilai tambah tinggi dan bisa mempekerjakan banyak orang, terabaikan. Angka pengangguran di kalangan orang hitam pun meroket. Seperempat orang kulit hitam adalah penganggur, seperempat lagi bekerja di sektor informal, yang mestinya juga dihitung penganggur. Hanya tiga persen kulit putih yang tak punya pekerjaan. Ketika harga komoditi tambang tersendat-sendat belakangan ini, angka pendapatan per kapita pun terus merosot mendekati tingkat pendapatan di tahun 1967. Tak bisa tidak overhaul ekonomi ini memerlukan investasi besar- besaran. "Pengorbanan macam apa pun harus dilakukan untuk menjamin kedatangan investor asing," kata Menteri Keuangan Afrika Selatan Derek Keys. Sayangnya, para investor saat ini menjauh seperti orang takut tertular sampar. Paling tidak mereka akan menunggu barang satu tahun. Salah satu isyarat yang ditunggu adalah, macam apa anggaran pemerintah baru nanti yang akan keluar Agustus mendatang. Untuk sementara nasihat yang umum adalah, "Menjauh dulu dari Afrika Selatan," kata Alex Hinder, chief economist di Bank Vontobel, Swiss, yang dikutip Reuters. Ekonomi Afrika Selatan juga masih terbelenggu puluhan peraturan. Devisa tak bisa bebas mengalir keluar, membayar uang muka impor pun mesti minta izin. Pajak, yang 48 persen, juga sangat tinggi. Di Indonesia sebagai pembanding, pajak paling tinggi hanya 35 persen. Selama ini pergulatan yang begitu seru dalam pentas politik membuat ganjalan-ganjalan ekonomi ini relatif tak tersentuh sama sekali. Namun, ketakutan terbesar para investor adalah pengaruh ideologi komunis yang masih dominan. Partai Komunis Afrika Selatan (SACP) termasuk salah satu partai yang masih kolot. SACP mendukung penyerbuan Uni Soviet ke Hungaria (1956) dan Cekoslovakia (1968). Yang lebih baru, salah satu organ SACP, Komunis Afrika, meratapi robohnya tembok Berlin empat tahun lalu. Sekalipun kecil, dengan anggota hanya 40 ribu orang, SACP berpengaruh luar biasa di dalam ANC. Dari semula SACP adalah pendukung setia perjuangan Mandela. Tak heran jika dua pertiga dari pengurus nasional ANC adalah orang-orang SACP. Banyak pula yang masuk dalam daftar calon dari kubu ANC dalam pemilu kemarin. Kemenangan ANC secara tak langsung bakal mengerek pula kekuatan nyata SACP di panggung politik Afrika Selatan. Jelas berbagai kebijakan yang kental diwarnai oleh ideologi komunis, seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar atau meningkatkan peran negara dalam segala sektor ekonomi, adalah pilihan yang wajar bagi orang-orang kolot anggota SACP itu. Situasi seperti ini pasti akan membuat investor asing lari terbirit-birit. Tapi, tak semua gambaran ekonomi Afrika Selatan hitam legam. Salah satu faktor positif adalah kehadiran Nelson Mandela sebagai pemimpin ANC yang dihormati. Sejauh ini Mandela adalah seorang demokrat yang masih menyatakan diri sebagai penganut prinsip-prinsip ekonomi pasar. Dari awal ia menyadari betapa peliknya persoalan ekonomi yang mesti ia hadapi, dan betapa vitalnya peran investor dalam proses pembenahan itu. "Ekonomi pasar harus ditetapkan secara konsisten di Afrika Selatan," demikian janji Mandela di depan para pialang bursa Johannesburg. Mandela bahkan punya optimisme yang tinggi. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Afrika Selatan tahun ini akan mencapai tiga hingga empat persen, jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan 1993 yang hanya satu persen. Selain itu, ia menjamin, tak akan ada nasionalisasi industri-industri yang saat ini dimiliki swasta. Yang lebih penting, Mandela juga berjanji tak akan sewenang-wenang memboroskan anggaran untuk memenuhi janji-janji kampanyenya. Bila Mandela boros, defisit anggaran pemerintah bisa membengkak dan ujung-ujungnya bakal muncul sebagai setan inflasi yang tak terkendali. Tentang janji-janji itu Mandela berujar, "Akan ada skala prioritas, dan pemerintah akan bekerja sesuai dengan sumber daya yang tersedia." Optimisme Mandela ini bukannya bualan kosong yang tak berdasar. ANC sudah memiliki apa yang mereka sebut sebagai Program Rekonstruksi dan Pembangunan yang bukunya setebal 150 halaman. Rumus utama ANC untuk mencapai pertumbuhan ekonomi juga sudah jelas: meningkatkan keyakinan investor dan bantuan kepada pengusaha kecil. Secara umum, keadaan Afrika Selatan sebenarnya juga cukup stabil. Selama ini media dunia memang selalu melaporkan kekerasan dan bentrokan berdarah setiap hari antara pendukung Partai Kebebasan Inkatha dan ANC. Namun, sebagian besar bentrokan dan kerusuhan tersebut terjadi di Provinsi Natal, yang nenjadi basis utama pendukung Inkatha yang menggunakan etnik Zulu sebagai bendera. Di luar Provinsi Natal, yang mencakup 85 persen wilayal Afrika Selatan, pengamat PBB tak mencatat adanya kerusuhan yang berarti, dalam keadaan gawat menjelang pemilu sekalipun. Kaum kulit putih, kecuali sebagian kecil yang memang tergolong ekstrimis, umumnya juga mendukung perubahan besar-besaran yang sedang berlangsung. Dua pertiga kulit putih memberi kata setuju dalan referendum tahun 1992 yang memutuskan penyelesaian masalah politik Afrika Selatan lewat jalan damai dan perundingan. Dalam sebuah pengumpulan pendapat bulan lalu, yang dikutip di sebuah artikel di koran International Herald Tribune, 90 persen orang kulit putih mengaku bisa menerima kenyataan bahwa ANC akan menjadi pihak yang berkuasa. Jadi, persoalan terbesar berikutnya adalah apakah rakyat Afrika Selatan bisa bersabar menunggui segala faktor positif ini bergerak mengatasi segala masalah. Mereka memang sudah membuktikan bisa menahan sabar berjam-jam, bahkan ada yang lebih dari sehari, saat menunggu antrean di depan bilik pemungutan suara. Tapi bukan berarti Mandela dan rekan-rekannya punya waktu yang tak terbatas. Peringatan bahkan sudah dikeluarkan oleh beberapa kalangan. "Kami akan memberi mereka waktu enam bulan," tutur Khensani Ndlomo, seorang petugas perpustakaan di Alexandra, "Bila dalam enam bulan tak terjadi perubahan, kami akan bertoyi-toyi." Toyi-toyi bukan sembarang tarian, tapi ini tarian protes yang sudah lama menjadi ciri ANC dalam membangkitkan semangat para pendukungnya. Maka, toyi-toyi bisa pula berarti mogok massal ribuan, atau puluhan ribu, buruh yang biasanya juga berlanjut dengan kerusuhan.Yopie Hidayat (Jakarta) & Yuli Ismartono (Johannesburg)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini