Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIM Bok-dong sedang dirawat di rumah sakit di Seoul saat Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menjenguknya, Kamis pekan lalu. Perempuan 90 tahun itu salah satu wanita penghibur tentara Jepang pada masa Perang Dunia II yang masih hidup. Kepada sang Presiden, ia berpesan, "Kita dulu bisa bertahan ketika menghadapi hujan peluru dan kita bisa melewati ini. Kembalikan uang itu ke Jepang."
"Wanita penghibur" adalah eufemisme untuk korban budak seks tentara Jepang sebelum dan semasa Perang Dunia II. Ada sekitar 200 ribu wanita Korea yang bernasib seperti Kim, dan kini hanya tinggal 32 orang yang masih hidup. Hari itu, Moon menjamu makan siang sembilan bekas wanita penghibur tersebut di Blue House, Kantor Presiden Korea Selatan. Moon menyempatkan diri menjenguk Kim lebih dulu, yang absen dalam undangan makan siang itu karena terbaring sakit.
Kepada para perempuan berusia lanjut itu, Moon meminta maaf atas kesepakatan Korea Selatan-Jepang pada 2015. "Saya, sebagai presiden, meminta maaf atas kesepakatan yang bertentangan dengan keinginan para korban," kata Moon. "Kesepakatan itu salah dan tidak adil. Pemerintah sebelumnya secara sepihak memutuskan prosedur dan isi kesepakatan tanpa mempertimbangkan pendapat korban."
Menurut kesepakatan tersebut, Jepang telah meminta maaf dan setuju membayar 1 miliar yen atau sekitar Rp 118 miliar kepada sebuah lembaga untuk membantu para perempuan korban tentara Jepang itu. Sedangkan Korea Selatan menyatakan akan mempertimbangkan permintaan untuk memindahkan patung wanita penghibur-patung berupa perempuan muda berambut poni dengan busana hanbok dalam posisi duduk-yang dipasang aktivis hak asasi manusia di luar Kedutaan Besar Jepang di Seoul.
Penyelesaian kasus wanita penghibur ini menjadi ganjalan lama hubungan kedua negara. Soal ini kembali mencuat setelah tim panel yang dibentuk Kementerian Luar Negeri Korea Selatan selesai mengkaji kesepakatan 2015 itu. Menteri Luar Negeri Kang Kyung-wha menjelaskan hasilnya pada Rabu dua pekan lalu. Kesepakatan itu, menurut Kang, "gagal mencerminkan pendekatan yang berorientasi pada korban". Kang menyebutkan pemerintah akan membiarkan semua opsi terbuka, termasuk pembatalan kesepakatan.
Sikap terbaru Korea Selatan ini membuat gusar Jepang. Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono mengatakan penyelesaian dua tahun lalu itu dihasilkan melalui "perundingan yang sah". Ia memperingatkan setiap amendemen dapat mempersulit hubungan dua negara. "Jika (Korea Selatan) mencoba merevisi kesepakatan yang telah diimplementasikan, itu akan membuat hubungan Jepang dengan Korea Selatan tidak dapat dikelola, dan hal tersebut tidak dapat diterima," ucapnya Kamis dua pekan lalu.
PARA wanita penghibur itu, menurut The Telegraph, pertama kali disediakan untuk memenuhi permintaan otoritas militer Jepang sebagai bagian dari upaya perang di Cina pada 1931. Awalnya mereka terdiri atas pelacur sukarela, berusia di atas 21 tahun, dan disediakan untuk menghentikan pemerkosaan para serdadu terhadap wanita sipil Cina dan mencegah penyebaran penyakit kelamin.
Asian Women’s Fund meyakini bahwa awalnya para pekerja seks di Korea dibawa ke tempat bordil militer itu untuk mengatasi kekurangan jumlah wanita Jepang yang bersedia menjadi pelacur. Akhirnya perempuan dari keluarga miskin di Korea, Indonesia, dan negara-negara Asia lain juga diambil.
Kim Bok-dong adalah salah satu korbannya. Saat itu dia masih remaja, 14 tahun, tinggal dengan keluarganya di wilayah pertanian Korea. Saat perekrut untuk Tentara Kekaisaran Jepang datang pada 1940-an, dia diiming-imingi pekerjaan di pabrik pembuatan seragam militer. Kenyataannya, dia dibawa ke rumah bordil militer di Provinsi Guangdong, Cina. "Saat itu saya tidak punya pilihan selain pergi," ujarnya. Keluarganya akan disebut sebagai pengkhianat jika dia tidak mematuhi perintah itu.
Kim awalnya dikirim ke Taiwan, lalu ke garis depan militer Jepang di Cina dan negara-negara lain. Dia diberi tempat tidur yang terbuat dari kayu lapis dan selimut militer serta dipaksa berhubungan seks dengan antrean panjang tentara sejak pukul 8 pagi sampai 5 sore. "Kami bahkan tidak tahu berapa banyak yang harus kami layani. Kami tidak dapat berdiri di pengujung hari," kata Kim, seperti dikutip LA Times.
Korban lain adalah Ahn Jeom-sun, 89 tahun. Dia berusia 13 tahun ketika tentara Jepang menculiknya dari desanya. "Apa yang saya ingat adalah bahwa saya dipaksa dibawa keluar dari Korea ke Cina," tuturnya, seperti dilansir National Public Radio (NPR). Ia dipaksa melayani kebutuhan seks tentara Jepang di rumah bordil yang berada di garis depan medan pertempuran itu.
Mereka dipaksa melakukan hubungan seks dengan 70 serdadu dalam sehari. "Jika kami tidak patuh, mereka akan memukul. Apa yang bisa kami lakukan selain menunggu sampai Korea dibebaskan?" kata Ahn.
Kekejaman itu berakhir pada 1945 setelah Jepang kalah perang. Selain perempuan Korea Selatan, korban budak seks lain berasal dari Cina, Korea Utara, Filipina, Indonesia, dan Taiwan. Mereka dibebaskan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
Pemerintah Korea Selatan dan Jepang berusaha menyelesaikan masalah ini pada 2015. Namun terobosan itu dikritik karena tanpa konsultasi dengan korban, tidak mengandung pengakuan tanggung jawab hukum oleh Jepang, dan tak memberikan kompensasi langsung kepada korban. Sikap Korea Selatan yang mempertimbangkan pemindahan patung wanita penghibur juga dikecam. "Patung itu simbol sejarah dan aset publik yang mewujudkan semangat demonstrasi hari Rabu yang menyerukan resolusi soal perbudakan seks," kata Dewan Wanita Korea untuk Perampokan Seksual Militer Jepang dalam pernyataan sikapnya.
Pemerintah saat itu juga berusaha mendapatkan persetujuan atas kesepakatan tersebut, tapi menghadapi sejumlah penolakan. Wakil Menteri Luar Negeri Lim Sung-nam pernah mengunjungi sekelompok korban. Para wanita tersebut justru mengeluh karena belum pernah diajak konsultasi. "Jadi Anda sebenarnya mewakili negara mana?" ujar Lee Yong-soo, salah satu korban, kepada Lim. "Tidakkah sebaiknya Anda memberi tahu kami bahwa Anda sedang bernegosiasi dengan Jepang?"
Pada Desember 2016, para aktivis memasang patung emas wanita penghibur di depan Konsulat Jepang di Busan. Pemerintah setempat awalnya memindahkan patung tersebut dengan alasan tak ada izin. Setelah ada protes publik, pejabat daerah membiarkan pemasangan patung itu. Wali kota juga mengadakan konferensi pers menyampaikan permintaan maaf atas pemindahan tersebut. Jepang melayangkan protes dan menyebut langkah itu melanggar kesepakatan 2015 dengan menarik duta besarnya dari Seoul dan konsulnya dari Busan.
Moon Jae-in menjadi presiden menggantikan Park Geun-hye yang lengser karena impeachment, Maret 2017. Tak lama berkantor di Blue House, Moon mempertanyakan kesepakatan 2015 itu. Saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Liberal Jepang Toshihiro Nikai, Juni tahun lalu, Moon menegaskan bahwa masyarakat Korea Selatan "terus terang tidak bisa menerima" kesepakatan 2015. Moon juga menunjukkan kemungkinan untuk merundingkan kembali atau bahkan membatalkan kesepakatan yang dibuat pendahulunya itu.
Ahn Jeom-sun, dalam wawancara dengan NPR, mengatakan tidak pernah menikah atau memiliki anak. "Pada titik ini, kami tidak terlalu peduli terhadap uang dan politik. Kami hanya menginginkan permintaan maaf yang tepat dari mereka langsung kepada kami," kata Ahn. Dia juga ingin agar patung wanita penghibur di sejumlah tempat umum, termasuk di Seoul dan Busan, dipertahankan.
Abdul Manan (reuters, Japan Times, La Times, Global.ca)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo