SETAHUN peristiwa 11 September sudah menjelang. Sebuah tragedi yang mengubah wajah jagat nyaris dari segala sudut. Amerika Serikat berperang habis-habisan, terkadang dengan paranoia yang kelewatan, melawan terorisme di seluruh penjuru bumi. Usamah bin Ladin, jaringan Al-Qaidah, dan belakangan Presiden Irak Saddam Hussein tumbuh menjadi pusaran teror yang mesti ditumpas dengan segala ongkos.
Caranya, antara lain, Amerika menggebrak pemimpin berbagai negara untuk ikut serta aktif melawan terorisme. Wakil Menteri Pertahanan Amerika, Paul Wolfowitz, termasuk dalam barisan yang terus mengumandangkan pentingnya membangun dunia yang lebih baik dengan gerakan antiterorisme.
Pekan lalu, di kantornya di Pentagon, bekas Duta Besar AS untuk RI (1996-1998) ini mengundang empat wartawan Indonesia, termasuk Ahmad Fuadi dari TEMPO. Pertemuan 40 menit ini membincangkan berbagai ihwal, dari situasi Indonesia, kerja sama militer, pelatihan melawan terorisme, sampai rencana serbuan AS ke Irak.
Berikut ini petikan wawancara dengan lelaki yang lahir di Brooklyn 58 tahun silam itu.
--------------------------------------------------------------------------------
AS mengguyurkan puluhan juta dolar untuk militer dan polisi Indonesia. Apa betul ini dalam rangka pembentukan pasukan khusus?
Memang kami punya anggaran bantuan US$ 30 juta untuk pelatihan polisi secara umum yang digunakan dalam 3 sampai 4 tahun ke depan. Bantuan ini terutama untuk menggelar pelatihan yang mendasar. Bantuan dalam jumlah yang lebih kecil, US$ 12 juta, seperti disepakati Kongres AS, memang telah dikucurkan untuk berbagai pelatihan melawan aksi terorisme dalam beragam bentuk.
Nah, sekarang ini kami sedang berdiskusi dengan pemerintah Indonesia untuk menentukan bagaimana bantuan ini bisa digunakan secara efektif. Patut diingat, bantuan ini mesti digunakan sesuai dengan rambu-rambu hak asasi manusia. Untuk itulah sampai kini kami masih menggodok program yang ideal. Belum ada rancangan program yang sudah final.
Lalu apa sebetulnya pertimbangan Washington untuk meneruskan kembali program bantuan militer yang sempat terputus? Bukankah rapor TNI dan Polri dalam soal hak asasi manusia di Papua dan Aceh relatif masih merah?
Tujuan utama pemberian bantuan ini adalah mendukung reformasi militer sekaligus membantu militer melaksanakan tugas keamanan nasional. Anda tidak bisa memisahkan kedua hal ini, tak bisa melakukan tugas keamanan tanpa melaksanakan reformasi yang sebenarnya.
Rapor yang terjadi cukup membaur. Sejujurnya, kami semua cukup kecewa dengan kurangnya energi dalam menghukum beberapa pelanggaran masa lalu, misalnya dalam pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Tapi, di pihak lain, tidak adil menimpakan segala kesalahan pada militer. Ada banyak bukti bahwa militer cukup membantu proses reformasi. Misalnya, Menteri Penerangan Letjen (Purnawirawan) Yunus Yosfiah-lah yang membuka keran kebebasan pers sewaktu pemerintahan Presiden Habibie.
Jadi, memutus kontrak kerja sama militer justru tak akan membantu proses reformasi bangsa Indonesia. Kini kontrak kerja sama yang baru dilakukan tentu dengan tidak meneruskan praktek buruk di masa lalu. Ini bukan soal yang gampang.
Sumber kami menyebutkan, dua tersangka teroris yang dideportasi dari Indonesia menggunakan pesawat jet yang disewa intelijen AS. Anda bisa menceritakan lebih lanjut?
Saya tidak bisa berkomentar lebih dalam. Secara umum memang ada beberapa orang yang sangat berbahaya, bukan orang Indonesia, yang punya tujuan terkait dengan terorisme. Dalam soal ini, kami sudah menjalin kerja sama yang sangat berguna dengan pemerintah Indonesia.
Apakah kedua teroris itu dideportasi dari Indonesia ke AS?
Saya tidak mau menjelaskan lebih detail lagi….
Belakangan ini di Indonesia berkembang perasaan anti-Amerika dalam melawan terorisme. Anda kecewa dengan keadaan ini?
Tidak, saya tidak kecewa dengan orang Indonesia. Malah saya terkesan dengan apa yang saya lihat. Misalnya kerja sama antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk meningkatkan toleransi. Juga adanya Deklarasi Malino,
upaya yang serius untuk menghindarkan kekerasan dan konflik etnis.
Tentu saja, ya, saya kecewa dengan orang Indonesia yang mengatakan punya misi hidup untuk membunuh orang Kristen. Tapi mereka yang seperti ini hanyalah minoritas yang sangat kecil di Negara Indonesia.
Mengenai sikap antikebijakan pemerintah Amerika, kita tahu ada banyak salah paham yang mesti diluruskan dan saya tetap optimistis dalam jangka panjang akan ada saling mengerti yang lebih baik.
Mengenai rencana penyerbuan AS atas Irak, bagaimana Amerika meyakinkan dunia Islam bahwa menyerang Irak adalah suatu keharusan?
Penting dimengerti bahwa sejauh ini tidak ada rencana untuk menyerang Irak. Orang memang sering membuat segala asumsi tentang apa yang telah diputuskan Presiden. Padahal dia belum memutuskan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini