Kriing.… Suara dering telepon di rumah memanggil Nyonya Rachmawati. Bergegas ia menuju meja telepon. Dia pun langsung berteriak, "Papa," sambil sesenggukan ketika mendengar suara menyapa, "Ma…," dari seberang sana. Keempat anaknya langsung berlarian dan mengerubunginya. "Jangan menangis, jaga baik-baik anak-anak," tutur suara itu. "Kami baik-baik saja. Tapi tolong dengar. Hubungi perusahaan. Mereka akan minta uang tebusan," Muntu menjelaskan. Itulah telepon pertama yang menandakan kehidupan suami Rachmawati, Muntu Jacobus Winowatan, awal Juli lalu.
Muntu bersama tiga rekannya, Pieter Lerrich, Zulkifli, dan Ferdinand Joel, diculik oleh kelompok bersenjata di perairan sekitar Pulau Tamuk di Filipina Selatan, pertengahan Juni lalu. Namun, malamnya, Ferdinand Joel berhasil melarikan diri. Dan menurut Ferdinand, Abu Sayyaf-lah yang menculik mereka—hal ini disangkal oleh kelompok yang dianggap jaringan Al-Qaidah ini.
Beberapa hari kemudian suara suami Rachmawati kembali terdengar. Bapak empat anak ini mengingatkan istrinya supaya menelepon Abdul Sani Maham, manajer operasional Muntu di Labroy Shipping Pte. Ltd, Singapura. Ia berpesan bahwa penculiknya meminta tebusan US$ 5 juta (sekitar Rp 45 miliar). Telepon bernada serupa juga berdering di rumah keluarga korban penculikan lainnya, Pieter Lerrich dan Zulkifli. Telepon terus berlanjut hingga sekarang ini. Kadang penculiknya sendiri yang bicara, mengancam agar keluarga segera membayar tebusan.
Sayang, setelah berhasil bicara dengan Abdul Sani, Rachmawati harus kecewa. Abdul Sani Maham hanya mengatakan, mereka telah memasrahkan masalah pembebasan ketiga pegawainya kepada pemerintah Indonesia dan Filipina. Rachmawati dan keluarga korban lain langsung menghubungi semua institusi yang diharapkan bisa membantu mereka: kantor Konsulat Jenderal RI di Davao, Departemen Luar Negeri di Jakarta, dan Kedutaan Besar Filipina di Jakarta. Namun, upaya ini belum menampakkan hasil, sementara waktu tiga bulan nyaris berlalu. Dan tidak ada tanda pemerintah Indonesia dan Filipina mengupayakan kebebasan sandera dengan serius.
Kekhawatiran mereka memuncak Selasa lalu. Pieter menelepon ibunya, Sukarmi, dan keluarlah cerita ancaman. "Kalau uang tebusan tidak segera dibayar, penculik mengancam akan memotong-motong mereka," ujar Sukarmi, menirukan cerita Pieter. Bahkan, menurut pengakuan Pieter, sekarang ini keadaan mereka cukup kritis. "Kadang dua atau tiga hari kami baru diberi makan," tutur Pieter kepada ibunya. Bahkan mereka terus berpindah. Rupanya militer Filipina sedang gencar mengejar kelompok penculik ini. "Kami terus dibom," ujar Sukarmi, menirukan kata-kata anaknya.
Keadaan tersebut membuat keluarga korban berharap betul agar para sandera segera dibebaskan, kalau perlu membayar tebusan. Dalam telepon terakhir, Pieter juga menyebutkan uang tebusan telah diturunkan menjadi US$ 1 juta. Namun, Rachmawati berharap suami dan teman-temannya bisa menawar jumlah tebusan. Berbeda dengan keinginan Rachmawati, pemerintah tetap pada sikap awal. "Sikap pemerintah Filipina dan Indonesia masih tetap, no ransom policy," ujar Johannes Manginsela, Kepala Bagian Penerangan dan Informasi Konsulat Jenderal RI di Davao, Filipina Selatan.
Alasannya, kalau tebusan tersebut dipenuhi, itu hanya akan memperkuat kelompok penculik. Mereka bisa membeli senjata baru ataupun perlengkapan lainnya. Namun, Johannes menegaskan bahwa pemerintah Indonesia bersedia memberikan uang ganti rugi biaya yang dikeluarkan para penculik selama penculikan. Pemerintah Filipina sendiri telah membentuk tim negosiasi pembebasan. Merekalah yang selama ini mencoba mengontak penculik. Namun, bagaimana kelanjutan proses negosiasi itu tampaknya tidak banyak yang tahu, termasuk pihak Konsulat Jenderal RI di Davao. Menurut Johannes, mereka tidak pernah memberikan informasi rinci tentang hasil negosiasinya.
Bahkan sekarang ini muncul masalah baru. Komandan kelompok yang menyandera tiga WNI tersebut baru meninggal dua pekan lalu. "Dan sekarang mereka diserahkan ke kelompok lain di bawah pimpinan Komandan Black," ujar Johannes. Itu berarti negosiasi harus diulang dari awal lagi.
Keluarga Muntu, Pieter, dan Zulkifli tampaknya belum bisa berharap banyak. Pemerintah Indonesia kurang agresif dalam menyelesaikan masalah ini. Sementara itu, pemerintah Filipina juga lebih sibuk menggempur kelompok militan yang menggerogoti pemerintahan Manila. Tak mengherankan kalau para penculik ini selalu membawa sanderanya naik-turun gunung, menghindari serangan. Dan Abdul Sani, yang ditelepon TEMPO, hanya menyatakan, "Maaf, no comment." Masalah sandera tampaknya bukan hal penting bagi mereka.
Purwani D. Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini