Jalan Nassau di Kota New York pada bulan September tahun ini menatap langit biru yang tak bertepi. Kedua menara kembar World Trade Center (WTC) yang telah hilang pada sebuah Selasa hitam setahun silam telah memberi sisa sebuah lubang besar menganga dengan kedalaman lima tingkat gedung. Di situlah dulu, dua menara kembar WTC berdiri kukuh meninju langit Kota New York, yang kemudian dihajar dua pesawat pembajak di sebuah pagi yang tragis. Kawasan itu kemudian disebut sebagai Ground Zero, lokasi reruntuhan gedung yang ambruk.
Meski puing-puing tak terlihat lagi, tempat itu masih ramai dilongok orang. Sejak peristiwa tragis yang merenggut sekitar 3.000 nyawa itu, lokasi Ground Zero yang terletak di distrik keuangan Wall Street ini menjadi obyek turisme baru di Kota New York. Untuk menampung arus pengunjung yang tak pernah sepi itu, disediakan tempat strategis—viewing area alias tempat melongok—agar mereka bisa melihat jelas hamparan Ground Zero.
Di belakangnya terpampang poster panjang dari kain putih yang bertuliskan ”We Will Never Forget You”. Tulisan yang sama juga ditorehkan di bendera AS berukuran raksasa yang dibalutkan di sebuah gedung tinggi di belakang viewing area. Tentu, publik Amerika, terutama New York, tidak akan pernah melupakan tragedi berdarah itu. Dalam rangka merawat memori publik akan tragedi itulah peringatan satu tahun peristiwa ini akan digelar secara besar-besaran tanggal 11 September pekan ini.
Menurut Wali Kota New York, Michael Bloomberg, acara peringatan ini ditandai dengan iring-iringan drumband yang bergerak dari lima wilayah yang tergabung dalam Kota New York, pada 11 September pagi: Manhattan, Bronx, Brooklyn, Queens, dan Staten Island. Arak-arakan ini akan bertemu di Ground Zero.
Pada pukul 8.46 pagi, ketika menara kembar pertama dihantam pesawat, seluruh warga New York diajak mengheningkan cipta. Acara dilanjutkan dengan pembacaan eulogi, yang akan dilakukan oleh Gubernur Negara Bagian New York, George Pataki. Setelah itu bekas Wali Kota New York yang sejak peristiwa 11 September menjadi pahlawan AS, Rudolf Giuliani, akan membacakan nama-nama orang yang terbunuh dalam tragedi ini.
Proyek peringatan ini, menurut Bloomberg, menghabiskan biaya sekitar US$ 9 juta (Rp 81 miliar, dengan kurs Rp 9.000). Ia berharap semua warga kota terlibat. John Albaz, warga berkulit hitam yang berusia 40 tahun, akan mengikutinya sampai tuntas. Tapi tidak semua orang menyambut seruan Bloomberg. Salah satunya adalah Rita Lasar. Warga asli New York yang adik lelakinya terbunuh dalam tragedi WTC ini memilih untuk tidak memperingati peristiwa itu secara publik. ”Saya akan pergi mengunjungi keluarga di kota lain. Saya tidak ingin memperingati secara massal. Terlalu sakit untuk memperingati seperti itu,” kata wanita berusia 70 tahun ini kepada TEMPO.
Kematian adik kandungnya dalam serangan teror 11 September teramat menyedihkan untuk diingat. Tapi yang lebih menyedihkan baginya adalah bahwa pemerintah AS di bawah Presiden G.W. Bush telah menggunakan kematian adiknya dan korban-korban lainnya sebagai pembenaran untuk melancarkan aksi militer ke Afganistan. ”Saya tidak rela kematian adik saya digunakan sebagai pembenaran untuk melancarkan perang di Afganistan. Karena perang itu telah terbukti membunuh warga sipil tak berdosa di sana,” tutur Lasar.
Kegelisahan ini ternyata dialami juga oleh beberapa anggota keluarga korban 11 September yang lain. Mereka membentuk organisasi nirlaba Peaceful Tomorrow. Organisasi ini beranggotakan para anggota dekat korban 11 September yang bersepakat untuk mencari cara-cara yang nonkekerasan dalam menghadapi terorisme. Dalam mencapai tujuannya, Peaceful Tomorrow menggalang kerja sama dengan para anggota korban dari aksi kekerasan di seluruh dunia. Karena itulah Lasar dan beberapa anggota Peaceful Tomorrow telah melakukan lawatan ke Afganistan dan Jepang untuk mempromosikan misinya.
Bertempat di Washington Square, New York, Peaceful Tomorrow mengadakan aksi perenungan dengan menghadirkan pembicara dari berbagai belahan dunia, khususnya para anggota korban aksi kekerasan. Salah satu pembicaranya adalah Masuda Sultan, warga Afganistan yang sedang bersekolah di AS, dan 19 keluarganya yang terbunuh oleh serangan bom AS. Mereka juga ”mengingat” sesuatu yang sengaja ”dilupakan” oleh pemerintah Amerika: para korban aksi militer AS di Afganistan dan aksi kekerasan lainnya di seluruh dunia. Bahkan, bagi warga AS sendiri, tragedi Selasa hitam bukan hanya tragedi di AS, tetapi juga menjadi serangkaian tragedi di Afganistan.
Idrus F. Shahab dan Supriyono (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini