INI bukan cuma pedang bermata dua, tapi majemuk. Presiden Filipina Fidel Ramos, Senin pekan lalu, mencabut UU antisubversi terhadap gerakan komunis. Dan esoknya, Ramos yang baru menjabat presiden empat bulan ini membebaskan 80 dari 167 tahanan komunis, dan menyatakan amnesti umum bagi para pemberontak yang menyerahkan diri. Apa pun komentar orang, inilah cara Ramos merangkul untuk mengontrol kegiatan kaum komunis. Harapannya tentu saja, partai kiri yang di mana-mana sudah ketinggalan zaman ini bisa dijinakkan tanpa harus membawa banyak korban. Sudah 35 tahun partai ini dicoba ditumpas oleh pemerintah Filipina. Toh dengan ulet gerakan kiri ini tetap bisa bertahan. Dan sesungguhnya Partai Komunis Filipina tak cuma bertahan. Dengan sayap gerilyawan kotanya yang dinamakan sparrows unit (pasukan burung gereja), sudah ribuan selama lebih dari 30 tahun polisi, dan tentara Filipina terutama, menjadi korbannya. Belakangan memang kekuatan gerakan ini susut, tapi belum bisa dikatakan tak berarti. Siapa tahu cara Ramos ternyata ampuh. Namun untuk sementara upaya Ramos secara kongkret belum bisa dijalankan. Pihak Partai Komunis, yang selain punya sayap bersenjata bernama NPA (Tentara Rakyat Baru), yang salah satu seksinya adalah gerilyawan kota pasukan burung gereja itu, juga ada NDF (Front Nasional Demokratik), ternyata tak mudah begitu saja diajak berunding. Langkah Ramos itu disambut dengan tanggapan yang berbeda-beda: ada yang langsung percaya, ada yang mencurigainya. Jose Maria Sison, ketua Partai Komunis Filipina yang kini masih mengasingkan diri di Belanda, misalnya, menanggapinya dengan dingin. "Pengakuan pada partai boleh-boleh saja, tapi pertarungan jalan terus," ujarnya pongah. Sedangkan Luis Jalandoni, wakil ketua NDF, mengatakan bahwa konflik bersenjata tak akan berakhir bila tak ada reformasi ekonomi dan konstitusi. Akibatnya, Komisi Unifikasi Nasional yang dibentuk oleh Ramos untuk berunding dengan pihak Komunis belum bisa bekerja. Jose Maria Sison dan Luis Jalandoni menolak berunding di Manila. Alasannya, mereka takut bila ditangkap, atau lebih buruk lagi, ditembak selagi proses perundingan berlangsung. Memang pernah terjadi peristiwa tak menyenangkan. Tahun 1986, tokoh komunis Rodolfo Olalia, yang bersedia berunding dengan pemerintah Filipina, mati ditembak oleh golongan ultrakanan militer di Manila. Ada usul tempat perundingan dilakukan di Kedutaan Filipina di Roma, Vatikan. Malah, anggota Kongres Juan Ponce Enrile mengusulkan perundingan dilakukan di Jakarta, mengingat "Indonesia negera sesama Asia dan berpengalaman menanggulangi pemberontakan." Namun usulan itu belum disetujui pemerintah Filipina, dengan alasan masalah pemberontakan komunis merupakan masalah dalam negeri, yang "tak bisa diselesaikan di luar negeri," kata Menteri Sekretaris Negara Edelmiro Amante. Jadi? Ramos, pensiunan jenderal yang pernah juga melawan gerilyawan komunis Filipina, mestinya sudah memperhitungkan segalanya. Jika perundingan gagal, ia punya alasan untuk menumpas gerilyawan komunis secara besar-besaran Dan jika dua hal tersebut tak terwujud, diumumkannya penghalalan organisasi itu dan amnesti buat anggotanya yang menyerahkan diri sudah boleh disebut jurus memecah belah. Kubu ini akan terpecah menjadi yang pro dan anti seruan Ramos. Berbagai kemungkinan yang semuanya menuju ke arah pelucutan kekuatan komunis Filipina itulah yang membuat kebijaksanaan ini boleh disebut sebagai pedang bermata majemuk. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini