BAGI Indonesia, zaman kejayaan minyak sudah lewat. Strategi mengandalkan sumber alam yang tersisa sebaiknya disisihkan. Seiring dengan itu, sasaran harus dialihkan pada sumber daya manusia. Jadi, bila pendidikan masih diharapkan bisa mendukung pembangunan, programnya harus disempurnakan. "Sudah saatnya kita cepat-cepat meningkatkan sumber daya manusia," kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka akan diterapkan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Program ini dimulai tahun 1994. Mengapa sembilan tahun? Wajib belajar enam tahun, yang dicanangkan tahun 1984, rupanya dianggap tak memadai lagi. Tapi di balik itu Djauzak melihat ada hal yang lebih mendesak. "Bagaimanapun bagusnya kurikulum atau gedung sekolah, semua tidak akan berguna tanpa guru yang berkualitas," katanya. Maka, Pemerintahpun bertekad meningkatkan kualitas para guru SD yang umumnya hanya tamat SGA, SPG, dan KPG, ke taraf kualitas yang setara D2. Bagi Departemen P dan K, implementasinya tentu merupakan kerja besar. Tahun lalu ada 1,1 juta guru dan tahun ini diperkirakan mencapai 1,2 juta. "Dalam jajaran pegawai negeri, ini barangkali merupakan pasukan terbesar," tutur Djauzak. Tak sedikit pula pasukan guru yang jauh dari sarana pendidikan setingkat D2 di daerah-daerah terpencil. Untuk memudahkan kerja besar itu Departemen P dan K akan memperkenalkan pola yang disebut sistem beranting. Dengan sistem ini, beberapa SD yang punya sarana lengkap dan terletak di lokasi strategis ditunjuk sebagai SD Inti. Setiap SD Inti -- tak selalu SD Negeri && punya 5 sampai 6 anggota SD Imbas. "Semua peningkatan dipusatkan di SD Inti dan disebar ke SD Imbas di wilayahnya," katanya. Yang telah dilakukan, menurut Djauzak, adalah penataran bagi para penilik SD-SD Inti yang dilaksanakan di Jakarta. Usai penataran, para penilik sekolah kembali ke daerah masing-masing dan bertugas menatar kepala SD Inti, yang pada gilirannya menatar guru-guru SD Imbas. Kini sistem beranting itu telah diterapkan di Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Yogya, Aceh, dan Sumatera Barat. Targetnya, di seluruh Indonesia akan ditunjuk 20.000 SD Inti. Dengan tingkat pendidikan D2 dan sistem beranting, guru SD seluruh Indonesia diharapkan menguasai 3 kemampuan dasar yakni penguasaan kurikulum, penguasaan terhadap materi yang disampaikan, dan penguasaan metode mengajar dan evaluasi. Hal lain yang saat ini sedang disiapkan adalah penambahan ruang kelas untuk tingkat SLTP atau pendidikan tiga tahun berikut. Idealnya, ruang belajar SD dan SMP harus sama banyak. Tapi jumlah SD dan SMP saat ini tidak berimbang. Tahun lalu hanya ada sekitar 30.000 unit SLTP untuk sekitar 146.000 SD. Padahal penambahan gedung baru untuk SMP dalam Pelita V hanya sekitar 2.000 unit. Menghadapi kesenjangan itu, Departemen P dan K tak muluk-muluk. Pada akhir Pelita V ini hanya 85% lulusan SD yang ditargetkan tertampung di SLTP. Ini pun berarti ada peningkatan. "Kita memiliki beberapa alternatif, sehingga tak perlu investasi terlalu tinggi untuk pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun," kata Hasan Walinono, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Alternatif itu antara lain berupa penggunaan satu gedung untuk dua sekolah, mempersiapkan SMP terbuka, dan juga lewat program Kejar Paket B. Rencananya, Kejar Paket B akan diberikan dalam waktu dua sampai tiga tahun dan akan dilengkapi dengan ujian persamaan untuk mendapatkan sertifikat B. Buat beberapa sekolah, umumnya sekolah swasta yang dikelola yayasan agama, ruang belajar tak terlalu jadi masalah. Swasta sudah biasa mengelola pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA dalam satu lokasi. Ada jaminan tersedianya ruang kelas di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan memang, biasanya siswa bersekolah dari TK sampai SMA di tempat yang sama. Sebutlah Yayasan Santa Louisa, yang menggabung TK, SD, SMP, dan SMA di atas tanah sepuluh hektare di Jalan Tidar, Surabaya. Penggabungan ini memudahkan pengajar mengawasi anak didiknya. Ini kesimpulan Mulyono Basuki, Kepala Sekolah SMP Santo Vincentius di kompleks yayasan itu. Begitu juga dengan Yayasan Ta'miriyah di Surabaya. "Para orang tua tak perlu bingung memikirkan kelanjutan pendidikan anaknya," kata Cholid Wahyudi, Kepala Sekolah SD Ta'miriyah. Ia yakin bahwa sistem terintegrasi ini akan sesuai dengan pendidikan dasar sembilan tahun. "Walaupun murid naik ke jenjang yang lebih tinggi, ia tak perlu beradaptasi dengan lingkungan yang baru," lanjutnya. Tapi harus diakui bahwa menggabungkan TK, SD, SMP, SMA tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan manajemen dan pengelolaan yang baik. "Penyatuan SD dan SMP dalam satu lokasi belum perlu dipikirkan sekarang. Lebih penting adalah persiapan daya tampung SMP yang harus mendekati jumlah lulusan SD," kata Prof Noeng Muhadjir, guru besar Metodologi Pendidikan IKIP Yogyakarta. Benar sekali, Profesor. Jangan muluk-muluk. Liston P. Siregar, Sri Wahyuni (Jakarta), M. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini