ADA masalah yang tak kurang seriusnya dibandingkan dengan kelaparan yang kini menimpa Somalia. Yakni soal masa depan anak-anak Somalia, yang kini harus menderita lapar dan hidup dalam suasana perang -- perang yang sudah berjalan tiga tahun. Seorang direktur sebuah lembaga hak asasi manusia bernama Afrika Watch mencoba mengamati anak-anak di negara di pantai timur Afrika itu. Yang pertama kali ia temukan, anak-anak yang kelaparan itu ternyata masih bisa tahu beda suara letusan granat Rusia dan granat Amerika. Kesimpulan Rakiya Omaar, direktur Afrika Watch itu: "Anak-anak itu lebih mahir berbicara bahasa alat perang ketimbang bahasa lainnya." Tampaknya, rasa lapar anak-anak itu tidaklah membuat perhatiannya terhadap lingkungan menjadi tumpul. Dan inilah celakanya, karena di Somalia lingkungan itu adalah jedar-jedor senjata api, rintihan orang luka, di samping pemandangan kematian setiap saat: orang-orang, anak-anak, dan bayi yang mati diterkam kelaparan. "Anak-anak itu melintas dari dunia tak berdosa ke dunia orang dewasa yang keras," tutur Josie Clevenger, perawat anak-anak dari Amerika Serikat, yang bekerja di Mogadishu, ibu kota Somalia. Ada penderitaan fisik yang mudah dilihat, selain kelaparan, yang diderita anak-anak Somalia Mereka lama tak duduk di bangku sekolah, karena gedung sekolah hancur, guru dan murid terpaksa mengungsi. Mereka terancam menjadi buta huruf. Sebagian anak-anak terpaksa tinggal di rumah sakit, karena tak ada tempat lagi untuk mengungsi. Lalu, yang lebih dicemaskan oleh Clevenger adalah penderitaan yang tak tampak. Yakni trauma yang erat melekat dalam kepala anak-anak, yang terbawa dalam mimpi, dan akan mempengaruhi hidup mereka selanjutnya -- bila mereka selamat dari bencana kelaparan kini. Adanya trauma itu dibuktikan oleh Teresa Hinkle, seorang perawat Amerika yang bekerja di sebuah rumah sakit di Baidoa, kota 200 km di timur laut Mogadishu. Pada anak-anak kelaparan yang ditampung di rumah sakit itu Hinkle membagikan kertas dan alat menggambar. Hasilnya, di kertas-kertas putih itu muncul gambar-gambar senjata perang, tank, meriam, dan orang tergeletak mati. "Anak usia lima tahun di sini telah melihat perang, kematian, dan tragedi," tutur perawat itu dengan sedih. Yang membuatnya lebih sedih, selama mereka menggambar tak ada keributan, tak ada suara tertawa. Suasana ketika mereka bekerja tegang. Mereka kehilangan masa ceria anak-anak, kata Hinkle. Di Mogadishu, anak-anak yang lebih dewasa, dengan bakat keterampilan membuat patung yang barangkali diwarisi dari nenek moyangnya, meremas-remas lempung dan jadilah sebuah walkie-talkie. Anak yang diberi kayu dan sebuah pisau tak lama kemudian sudah memegang tiruan AK-47. Hal tersebut mengingatkan apa yang juga terjadi pada anak-anak di Kamboja, di akhir tahun 1970-an, dekat setelah pemerintahan Khmer Merah jatuh. Kenangan akan masa Khmer Merah ternyata tak terlupakan oleh anak-anak yang selamat, anak-anak yang menyaksikan bapak atau ibunya atau saudaranya dibantai oleh orang berpakaian hitam-hitam, yang memegang kapak atau kayu. Demikianlah gambar karya anak-anak itu: seorang perempuan berambut panjang, berisimbah darah, di dekatnya berdiri seorang berpakaian hitam-hitam memegang kapak. Yang kemudian tak jelas, adakah dengan berkarya itu anak-anak tersebut bisa. membuang trauma mereka. Menurut Wilhelm Huber, sukarelawan yang mengasuh sebuah rumah yatim piatu di Mogadishu, itu sulit. Tak mudah menghilangkan kenyataan mengerikan yang pernah mereka saksikan dan mereka alami. Pengalaman di Kamboja menunjukkan, setelah tiga tahun anak-anak masih sering berteriak-teriak dalam tidurnya, memimpikan hal-hal mengerikan. "Anak laki-laki usia 13 sampai 15 tahun yang paling menderita," tutur Hinkle. Ia tak menjelaskan mengapa, tapi mungkin karena seusia itu anak-anak sudah bisa memahami yang terjadi lebih jauh daripada adik-adik mereka, tapi mental mereka belum sekuat orang dewasa. Toh, para sukarelawan di Somalia tetap optimistis. Menurut tabloid The Guardian Weekly, akhirnya ada juga anak-anak yang bisa tertawa dan berteriak, ketika diajak main bola. Bagaimanapun, sebuah terapi yang tepat perlu diberikan, agar mereka tak menjadi generasi yang hilang. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini