UNTUK pertama kalinya setelah 50 tahun, pasukan berbendera matahari terbit berada di luar Jepang. "Ini adalah hari yang penting," kata Letnan Kolonel Takashi Watanabe, komandan pasukan tersebut, Jumat pekan lalu, di Kamboja. Tapi memang, mereka tak berangkat untuk berperang. Tak sebagaimana 50 tahun yang lalu dalam Perang Dunaia II, para komandan tak membawa samurai, pedang khas Jepang yang konon dulu banyak dipakai untuk memenggal kepala orang Asia. Sebab, ini salah satu kegiatan Jepang membantu PBB dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian di Kamboja. Maka, yang terlihat bukanlah wajah-wajah tegang. Tapi wajah segar yang menghiasi 30 personel Jieitai (pasukan bela diri Jepang) yang berseragam hijau dan baret biru muda. Mereka yang merupakan kontingen pertama itu -- semuanya adalah perwira -- segera menuju ke Kota Takeo. Di kota selatan Phnom Penh itu mereka mendirikan tenda raksasa yang mewah, untuk menampung sekitar 600 pasukan perdamaian Jepang yang dijadwalkan mulai tiba Kamis pekan ini. Selama setahun, pasukan pemelihara perdamaian, yang berada di bawah komando UNTAC (pemerintahan transisi PBB di Kamboja) pimpinan Jasushi Akashi, ditugasi membangun sarana umum bagi Negara Seribu Pagoda. Antara lain membangun kembali sejumlah jembatan dan jalan umum yang rusak akibat perang. Lokasinya pun dipilih yang benar-benar aman. Jauh dari ancaman ranjau darat maupun serangan dari gerilyawan Khmer Merah. Karena itulah, para Jieitai itu tak dilengkapi persenjataan berat, melainkan hanya peralatan berat seperti truk dan buldoser pembuat jalan. Senjata mereka sejauh ini hanya disiapkan pistol atau, menurut Reuters, paling-paling senjata otomatis bikinan Jepang sendiri, yang mestinya belum dites dalam perang sebenarnya. Dan baru "akan kami gunakan bila keadaan benar-benar gawat," kata atase pertahanan Jepang di Muangthai, Kolonel Fumitoshi Takakura. Agar lebih nyaman, pusat-pusat rekreasi dibangun di sekitar tenda. Di tanah seluas dua ribu meter persegi itu, para Jieitai bisa menikmati sejumlah hiburan seperti bioskop mini atau pesawat televisi berlayar lebar yang bisa menangkap siaran dari mana saja, terutama Jepang. Mereka pun dapat menikmati minuman keras sambil mendengar musik atau menyanyi dalam sebuah pub yang dilengkapi dengan karaoke. Untuk menghilangkan rasa kangen pada keluarganya di Jepang, mereka bisa mengirim pesan melalui perekam video. "Mereka akan bekerja keras. Mereka muda dan butuh penyegaran," ujar seorang juru bicara dari kementerian pertahanan. Juga disediakan kompleks olah raga dan mainan elektronik serta mesin penjual rokok otomatis, yang semuanya menggunakan koin yen. Di samping menerima gaji tetap, para Jieitai ini mendapat semacam uang saku 20.000 yen (sekitar Rp 340.000) per hari -- konon membuat iri pasukan penjaga PBB lainnya. "Semoga rakyat Jepang akan melihat hasil kegiatan kami," kata Takashi Watanabe, komandan pasukan PKO lulusan Universitas Pertahanan Jepang yang baru berusia 38 tahun. Itu dikatakannya sehubungan dengan protes dari dalam negeri Jepang sendiri tentang pengiriman pasukan bela diri Jepang ini. Sekitar seribu orang dari organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Jepang bersama kelompok ekstrem kiri lainnya berdemonstrasi di sekitar pelabuhan Komaki, pekan lalu. Sebelum rencana undang-undang pengiriman pasukan bela diri Jepang disahkan Juni lalu, sebuah perdebatan panjang terjadi, baik di Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi. Kelompok oposisi, Partai Demokratik Sosial Jepang dan Partai Komunis Jepang, sampai-sampai melakukan aksi gyuho -- jalan lambat kayak jalannya sapi -- selama berhari-hari, agar pengesahan RUU itu tertunda. Namun upaya itu tak berhasil dan UU pengiriman Jieitai ke luar negeri pun disepakati. "Dengan berpartisipasi langsung untuk memelihara perdamaian dunia seperti sekarang ini," kata Hirohide Usozumi, wakil menteri pertahanan Jepang, "Jieitai membuka selembar halaman sejarah baru." Artinya, dengan pengiriman pasukan Jieitai ke Kamboja, setidaknya pemerintah Jepang dapat menangkis kritik pedas yang disampaikan sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Seperti yang terjadi ketika Perang Teluk tahun 1990, Jepang dikritik tak mau ikut berkeringat menjaga perdamaian dunia, karena hanya mengirimkan dana US$ 13,5 milyar. Baru sesudah perang, Jepang mengirimkan tiga kapal penyapu ranjau untuk membersihkan Teluk Persia. Keterlibatan langsung Jepang untuk memelihara perdamaian Kamboja boleh dibilang tak main-main. Di luar biaya keperluan personelnya itu, Perdana Menteri Kiichi Miyazawa bersedia mengeluarkan dana rehabilitasi Kamboja sebesar US$ 200 juta dalam tempo tiga tahun -- Amerika Serikat cuma menjanjikan US$ 135 juta. Mestinya, kata para pengamat, itu bukannya tanpa pamrih: Kamboja sebagai tempat penanaman yen yang baru, untuk mewujudkan "Kawasan Kemakmuran Asia Timur Raya." Didi Prambadi (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini