Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pejuang Hingga Akhir Hayat

Mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung wafat. Ia pernah mengisahkan mimpi-mimpinya kepada Tempo.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN tahun lalu, dalam satu jamuan makan siang, tangan Hee-ah Lee digenggam hangat oleh Kim Dae-jung. Presiden Korea Selatan ke-15 itu berpesan, "Lakukan yang terbaik dan jadilah pianis besar." Saat tahu Kim wafat, pianis berjari empat itu terperanjat. "Saya tak akan melupakan momen itu," kata pianis yang dua kali berkonser di Jakarta itu.

Selasa pekan lalu, Kim Dae-jung meninggal pada usia 85 tahun di Yonsei Severance Hospital. Sejak dirawat 13 Juli lalu, Kim terserang pneumonia dan kegagalan multiorgan. Istrinya, Lee Hee-ho, dan ketiga anaknya, Kim Hong-il, Kim Hong-up, dan Kim Hong-gul, berada di sisinya. "Ia wafat dengan tenang," kata Park Chang-il, Direktur Yonsei Severance Hospital.

Keesokan harinya, Hee-ah Lee bersama ribuan pelayat ikut berdoa dan memberikan penghormatan. "Saya berdoa agar ia terus bekerja merawat demokrasi dari surga," katanya seperti ditulis Korea Times.

Sejak pagi, para orang tua, yang pernah menjadi saksi Kim berjuang menegakkan demokrasi, berkumpul dan bergandengan tangan dengan anak muda. Mereka, bersama politikus senior dan diplomat asing, antre dengan hikmat di depan 18 altar yang tersebar di seluruh Korea Selatan. Bekas presiden Chun Doo-hwan, pemimpin junta militer yang berniat menghukum mati Kim pada 1981, juga melayat.

Kim lahir di Pulau Haui, kawasan barat daya Korea. Awalnya bekerja di industri perkapalan, ia terpilih menjadi anggota parlemen pada 1961. Satu bulan kemudian, Korea dilanda kudeta militer. Parlemen dibubarkan. Jenderal Park Chung-hee, pemimpin kudeta, naik ke kursi presiden. Kim adalah musuh politik Park. Hidupnya kerap dirundung petaka selama Jenderal Park berkuasa.

Ia pernah ditabrak truk seberat 14 ton pada 1971-yang diyakini sebagai usaha pembunuhan-yang membuatnya sulit berjalan hingga akhir hidupnya. Intelijen Korea menculiknya saat dia berobat di Jepang pada 1973, dan dia ditaruh di sebuah kapal kecil di laut lepas hingga berhari-hari. Kim juga pernah menjalani tahanan rumah sepuluh tahun.

Pengalaman itu diceritakannya kembali dua tahun lalu, saat Tempo menemui Kim di rumahnya di Distrik Mapo, Seoul. Kim mengaku tak pernah takut dan tak akan menyerah. "Orang bisa mati karena apa saja," katanya. "Tapi mati karena demokrasi sebuah kehormatan bagi saya." Demokrasi, kata Kim, tak bisa diraih dengan cuma-cuma. Tapi merawat demokrasi merupakan pekerjaan tak kalah penting. "Dan saya akan terus memperjuangkan demokrasi sepanjang sisa hidup saya," katanya saat itu. Rezim diktator, kata dia, tak boleh muncul lagi di masa depan.

Saat umurnya menginjak 74 tahun, ia dilantik menjadi presiden pada Februari 1998 menggantikan Kim Young-sam. Ia mengampuni dan membebaskan Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo-dua presiden sebelumnya-dari penjara. Ia juga dianggap berhasil membawa Korea keluar dari jurang krisis moneter 1998.

Lewat Sunshine Policy, Kim mendekati Korea Utara pada 2000 dan menawarkan rekonsiliasi kepada Pyongyang. Dunia menjadi saksi, ia berjabat tangan dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il. Mereka mengumbar senyum dan serempak melantunkan lagu tradisional Korea. Ia menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2000 atas peristiwa itu.

Tapi, di ujung masa jabatannya, ia harus menerima pil pahit. Putra keduanya, Kim Hong-up, dan putra bungsunya, Kim Hong-gul, masuk bui karena terlibat korupsi. "Saya tak pernah menyangka akan mengalami kejadian pahit seperti ini," katanya. Selama berbulan-bulan, ia malu dan merasa bersalah atas kelakuan putranya.

Satu mimpi Kim yang belum terwujud: melihat dua Korea bersatu kembali. "Saya ingin rekonsiliasi dan perdamaian terbangun di Semenanjung Korea," katanya. Di ujung wawancara, ia sempat memberikan dan menandatangani buku The Road to Peace on the Korean Peninsula kepada Tempo.

Kamis pekan lalu, jenazah Kim disemayamkan di alun-alun depan kompleks Majelis Nasional Korea, tempat ia pertama kali diambil sumpahnya sebagai presiden. Upacara pemakaman dilangsungkan pada Ahad pekan lalu. Kim Jong-il mengirimkan lima utusan dari Korea Utara menghadiri upacara pemakaman itu.

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus