Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembelotan demi Saudara

Seratusan polisi dan tentara Myanmar membelot ke kubu antikudeta. Aparat keamanan tetap bertindak keras menghadapi para demonstran.

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Beberapa anggota polisi membacakan tuntutan dan membentangkan spanduk menentang kudeta oleh Junta Militer Myanmar,di Kayah, Myanmar, 10 Februari 2021. Reuters/Khun Bwe Mue

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah polisi dan tentara Myanmar bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil.

  • Beberapa polisi membelot setelah menolak perintah menembak mati para demonstran.

  • Banyak pegawai pemerintah ikut serta dalam aksi mogok kerja untuk melumpuhkan pemerintahan.

ENAM tentara Myanmar mengacungkan tangan ke udara dan membentuk salam tiga jari, seperti yang kerap dilakukan para penentang kudeta militer dalam aksi unjuk rasa sebulan terakhir. Bersama sejumlah rekannya, mereka memilih melawan perintah atasannya untuk memberangus para demonstran. Potret mereka dengan salam tiga jari itu mendadak menjadi populer di media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serikat Nasional Karen (KNU), organisasi politik suku Karen, menyebutkan bahwa 12 tentara itu datang ke markas mereka di Kota Hpa-pon, Negara Bagian Karen. Para prajurit itu berasal dari Batalion Infanteri 402 dan 403 yang bermarkas di Dawei, Karen. Mereka rupanya ingin menunjukkan solidaritas kepada para penentang kudeta. “Awalnya mereka menghubungi penduduk lokal dan kami langsung menyambut mereka. Ini pertama kalinya ada tentara yang bergabung dengan gerakan sipil melawan rezim,” kata juru bicara serikat itu, Phado Saw Mahn Mahn, seperti dilaporkan Myanmar Now pada Selasa, 2 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian tentara itu datang dengan menyandang senjata. Pembangkangan itu tampaknya merupakan bentuk protes para tentara setelah terjadinya aksi penggerebekan yang menewaskan tiga demonstran pada akhir Februari lalu. KNU memutuskan tak menyebarkan identitas dan pangkat mereka. “Mereka membuat pilihan yang tepat dengan bergabung bersama rakyat,” ujar Phado Saw Mahn Mahn.

KNU adalah organisasi sipil yang merupakan sayap kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Karen, milisi bersenjata terbesar di Myanmar. Beroperasi di pegunungan bagian barat Myanmar sejak 1949, milisi ini terus menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak sipil etnis minoritas Karen dan pembentukan negara federal.

Ketika protes anti-kudeta pecah, milisi inilah yang mengawal ribuan warga Karen saat menggelar aksi menentang junta militer. Mereka juga membagikan minuman dan makanan kepada para demonstran. “Dalam solidaritas bersama saudara-saudara di kota-kota lain, kita bisa memenangi pertarungan ini,” ucap Direktur Jaringan Pendukung Perdamaian Karen Wahkushee Tenner dalam cuitannya pada Jumat, 5 Maret lalu.

Sejak kudeta terjadi pada 1 Februari lalu, aksi protes besar-besaran terus menggoyang Myanmar. Pasukan gabungan polisi dan tentara Myanmar dikerahkan untuk membubarkan massa, termasuk dengan kekerasan. Bentrokan yang terjadi dan perburuan yang dilakukan aparat keamanan menyebabkan lebih dari 70 orang tewas dan ribuan orang ditahan.

Sejumlah organisasi pembela hak asasi manusia, seperti Amnesty International, Kontras, dan Forum-Asia, mendesak pemerintah Myanmar menghentikan represi terhadap demonstran, membebaskan para tahanan politik, dan memulihkan demokrasi di negeri itu. Mereka juga meminta Indonesia lebih berperan aktif untuk mengatasi konflik di Myanmar. “Kami meminta Indonesia menunjukkan sikap yang lebih tegas dalam merespons pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer terhadap masyarakat sipil di Myanmar,” demikian pernyataan bersama organisasi-organisasi itu pada Jumat, 12 Maret lalu.

Pembangkangan juga terjadi di tubuh kepolisian Myanmar. Beberapa polisi di Khampat, kota yang berada di bagian barat Myanmar, membelot setelah menolak menembaki para demonstran. Seorang prajurit kepolisian, Tha Peng, mengatakan atasannya memberi perintah untuk menembak mati para demonstran dengan senapan mesin pada 27 Februari lalu. Tha Peng menolak. Perintah yang sama datang keesokan harinya. Tha Peng tetap menolak dan kemudian mengundurkan diri dari kepolisian.

Seperti dilaporkan Reuters pada Rabu, 10 Maret lalu, Tha Peng mengatakan enam rekannya juga menolak menembak para demonstran. Demi keamanan, Tha Peng meninggalkan keluarganya di Khampat dan menyeberang ke Negara Bagian Mizoram, India. “Saya tak punya pilihan lain,” tutur Tha Peng, yang hanya memberitahukan sebagian namanya dengan alasan keamanan, tapi sempat menunjukkan kartu tanda penduduk dan identitasnya sebagai bukti bahwa dia adalah polisi. Dia tak menyebut siapa atasan yang memerintahkannya menembaki para demonstran.

Dokumen internal kepolisian Mizoram juga menunjukkan ada deskripsi kejadian yang mirip dengan cerita Tha Peng. Dokumen itu menyebut empat personel kepolisian yang membelot. “Karena gerakan pembangkangan sipil terus meningkat dan banyak protes oleh kelompok antikudeta, kami diperintahkan untuk menembak para pengunjuk rasa,” demikian pernyataan para prajurit pembelot itu dalam dokumen tersebut. “Kami tak berani menembak saudara sendiri yang berdemonstrasi dengan damai.”

Pemerintah Myanmar mengejar para polisi tersebut. Menurut Wakil Komisioner Kepolisian Distrik Champai, Mizoram, Maria CT Zuali, ada surat dari kepolisian yang memintanya menahan dan mengembalikan para desertir. Surat itu juga berisi informasi ihwal delapan personel kepolisian yang menyeberang ke India. “Demi menjaga relasi baik kedua negara, Anda diminta untuk menahan delapan polisi yang tiba di teritori India dan mengembalikannya ke Myanmar,” demikian isi surat tersebut, seperti dilaporkan Reuters.

Indikasi pembangkangan aparat keamanan itu sudah muncul pada pekan-pekan awal unjuk rasa saat mereka berhadapan dengan para demonstran. Ada polisi di Yangon yang diam-diam bergabung dengan para demonstran. Yang lain justru melindungi para pengunjuk rasa. “Ada tiga polisi yang menggunakan tameng mereka untuk melindungi pengunjuk rasa dari bom air,” ucap seorang aktivis prodemokrasi lewat pesan singkat kepada Tempo pada Februari lalu.

Jumlah polisi yang membangkang, seperti dilaporkan The Irrawady, diperkirakan lebih dari 100 orang. Kelompok pertama sudah muncul di Loikaw, ibu kota Negara Bagian Kaya, pada pekan pertama unjuk rasa. Sebanyak 49 polisi bergabung dengan para demonstran. Kantarawaddy, kanal berita daring dari Loikaw, adalah media pertama yang mengunggah video aksi protes mereka ke media sosial pada 10 Februari lalu.

Pembangkangan kian terbuka. Setelah foto para tentara mengacungkan salam tiga jari tersebar, lima orang berseragam polisi Myanmar melakukan hal serupa dalam video yang beredar di media sosial pada 7 Maret lalu. Dalam video yang diunggah Khit Thit Media, para polisi itu menyatakan bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil. “Kami tak ingin bekerja untuk diktator militer,” ucap mereka.

Aparat keamanan tak berhenti mengejar para demonstran di jalan-jalan. Mereka juga merangsek ke permukiman, seperti yang terjadi di kampung para pekerja perusahaan kereta api di Ma Hlwa Gone, Yangon. Warga kampung terpaksa mengungsi saat aparat keamanan menggerebek rumah mereka pada Rabu pagi, 10 Maret lalu, untuk memburu para pekerja yang terlibat aksi unjuk rasa. Penduduk pun kocar-kacir sambil menggendong anak-anak mereka dan membawa barang-barang seadanya saat melarikan diri dari kejaran tentara.

Meski tekanan junta militer meningkat, perlawanan publik terus bertambah. Puluhan ribu orang berhamburan ke jalan-jalan untuk mengikuti aksi protes seraya membawa baliho, poster, dan bendera bertulisan “Gerakan Pembangkangan Sipil”. Dalam kerumunan demonstran itu ada dokter, perawat, guru, biarawati, biksu, pekerja transportasi, serta para pegawai kementerian dan perusahaan pemerintah yang mogok kerja. Pegawai bank sentral Myanmar pun ikut mogok kerja untuk membantu menahan aktivitas finansial agar rezim militer lumpuh.

Aksi protes dan mogok kerja itu disambut meriah oleh masyarakat. Namun ada sebagian peserta yang protes dan sempat cemas soal berapa lama mogok kerja bisa bertahan. Kondisi ekonomi sudah morat-marit akibat pandemi Covid-19. Apalagi tentara dan polisi semakin brutal membubarkan massa dengan melepaskan bom kejut, gas air mata, hingga tembakan peluru tajam.

Toh, mereka tak menyerah. Seorang dosen dari East Yangon University, seperti dilaporkan Frontier Myanmar pada Senin, 8 Maret lalu, mengatakan kudeta militer tak bisa diterima. Dia mengaku sudah mogok kerja dan bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil dua hari setelah kudeta terjadi. “Kita harus terus melawan,” kata dosen yang sudah bekerja di kampus selama 10 tahun terakhir itu.

Para demonstran memahami risiko yang mereka hadapi saat melawan junta militer. Seorang asisten dokter di Kota Mandalay mengatakan izin praktiknya bakal dicabut dan dia bisa masuk penjara jika tertangkap. Namun dia tetap melakukan mogok kerja dan bergabung dengan para penentang kudeta. “Saya siap menghadapi yang terburuk,” tuturnya. “Kami harus terus berjuang sampai pemerintahan terpilih yang sah bisa kembali.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, BBC, AL JAZEERA, CNN, RADIO FREE ASIA, FINANCIAL TIMES)


Pembangkangan Sang Mayor

MAYOR Tin Min Tun dari Departemen Kepolisian Kota Yangon menjadi terkenal setelah videonya yang berisi dukungan kepada para demonstran penentang junta militer menyebar di Internet. Dia menjadi perwira polisi dengan pangkat tertinggi yang secara blak-blakan mengaku bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil untuk memprotes kudeta.

Lewat siaran video yang diunggah di Facebook, Tin Min Tun menyatakan menolak keras junta militer dan mengundurkan diri kepolisian. Dia pun menyatakan dukungan terhadap para pegawai pemerintah yang melakukan mogok kerja sebagai aksi protes. “Saya tak mau bertugas di bawah rezim militer. Karena itulah saya bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil dan mendukung gerakan pegawai pemerintah,” ujar Tin Min Tun, seperti dilaporkan Myanmar Now.

Tin Min Tun adalah perwira di Divisi Khusus Kepolisian Myanmar. Divisi ini adalah unit intelijen kepolisian yang memiliki tugas utama mengawasi para aktivis dan politikus. Ia sudah bertugas di divisi tersebut sejak 1989.

Menurut Tin Min Tun, kembalinya rezim militer di pemerintahan dapat menghancurkan masa depan Myanmar. Jika militer tetap berkuasa, menurut dia, masyarakat Myanmar tidak akan mendapatkan apa-apa dalam 20-25 tahun ke depan. “Kita hanya akan kalah lagi,” katanya.

Tin Min Tun menyadari bahwa polisi yang membangkang dan bergabung dengan para demonstran terancam hukuman penjara hingga tiga tahun. Namun dia tak gentar. “Saya hanya ingin rekan-rekan polisi juga melakukan sesuatu yang benar,” tuturnya.

Sejumlah polisi di Myanmar juga sudah menunjukkan sikap menentang junta militer. Sebagian menolak perintah atasannya menembaki demonstran, ada yang melindungi pengunjuk rasa, dan yang lain berbicara terbuka menolak aksi kekerasan aparat keamanan. Menurut laporan media Myanmar, The Irrawady, diperkirakan ada sekitar 100 polisi yang membelot.

Di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, Inspektur Khun Aung Ko Ko memutuskan bergabung dengan para demonstran sekitar sepekan setelah kudeta terjadi. Berbicara menggunakan mikrofon di hadapan publik, Khun Aung Ko Ko berjanji akan terus melawan diktator, membela hak rakyat, dan merebut kembali demokrasi. Demonstran pun mengelu-elukan dia sebagai polisi yang benar-benar membela rakyat.

Aksi Khun Aung Ko Ko sebenarnya sempat membuat demonstran terkejut. Pasalnya dia berbicara di depan publik dengan masih mengenakan seragam polisi. Khun Aung Ko Ko rupanya sadar dia bisa kehilangan pekerjaan, tanah, dan dipenjara karena membelot. Tapi kehidupan putrinya dan generasi muda Myanmar lain dalam cengkeraman junta militer lebih membuatnya cemas.

“Saya akan terus berjuang agar tak ada lagi pemerintahan diktator di masa depan,” ucapnya. “Militer, polisi, rakyat, dan kelompok etnis bersenjata seharusnya bisa mengikuti demokrasi.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, IRRAWADY, FRONTIER MYANMAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus