Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Puluhan kontainer yang mangkrak di Tanjung Priok membuka kecurigaan adanya modus baru impor baja berkedok proyek infrastruktur.
Surat sakti berkop Kementerian Perdagangan diduga dikantongi sejumlah perusahaan untuk membebaskan impor dari kewajiban verifikasi.
Dokumen-dokumen perusahaan mengindikasikan adanya koneksi di antara importir baja yang bermasalah.
UPAYA menemukan markas PT Jaya Arya Kemuning seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Wujud kantor importir baja ini tak terlihat di APL Tower lantai 25 unit 7, begitu alamat yang tertulis dalam surat perusahaan kepada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta, 26 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis siang, 11 Maret lalu, Tempo menyambangi alamat tersebut. Ruang-ruang bersekat kaca buram hanya punya satu nama: Infinity Premier Partners, sebuah perusahaan penyedia kantor virtual. “Suka ada kantor lain yang memakai, atau join dengan kantor lain, di situ,” kata seorang petugas keamanan gedung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan yang didirikan pada 2012 ini tengah menjadi sorotan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Pemicunya surat tersebut, yang dikirimkan ke Kantor Bea-Cukai Tanjung Priok pada akhir Februari lalu. Diteken Direktur PT Jaya Arya Kemuning Liwa Supriyanti, warkat itu berisi permohonan pembatalan BCF 1.5 atas 238 gulung lembaran baja galvalum yang diimpor perseroan.
BCF 1.5 adalah kode untuk barang impor yang tak dikuasai. Status ini diberikan kepada barang impor yang tak diurus oleh penerimanya dalam waktu lebih dari 30 hari. Importir harus mengajukan permohonan pembatalan status ini agar barangnya bisa dikeluarkan dari area penimbunan.
Deretan kontainer di Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Juli 2018. TEMPO/Tony Hartawan
Itulah yang terjadi pada baja impor milik Jaya Arya Kemuning. Sejak diturunkan dari kapal kargo FLC Happiness di Priok pada 11 November 2020, kelengkapan dokumen baja impor itu tak diurus sehingga berbulan-bulan teronggok di Tempat Penimbunan Sementara Pelabuhan Tanjung Priok. “PT Jaya Arya Kemuning tidak mengajukan dokumen kepabeanan atas sejumlah kontainer tersebut,” ucap Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea-Cukai R. Syarif Hidayat, Jumat, 12 Maret lalu.
Mangkraknya baja impor Jaya Arya itu pula yang belakangan menarik perhatian otoritas bea-cukai. Pasalnya, 238 gulung baja galvalum itu bukan satu-satunya barang impor atas nama perusahaan tersebut yang berstatus BCF 1.5. Sedikitnya 95 kontainer lain yang juga berisi beraneka jenis baja impor ditetapkan sebagai barang yang tak dikuasai sejak Oktober 2020. Usut punya usut, Jaya Arya ditengarai tak mengajukan pemberitahuan impor barang ketika kontainer-kontainer dan gulungan baja itu didatangkan.
Seorang pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bea-Cukai mengungkapkan, temuan puluhan kontainer itu menarik perhatian petugas. Hasil penelitian dokumen mendapati Jaya Arya mengantongi surat berkop Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan tertanggal 26 Mei 2020 yang menjelaskan bahwa kegiatan impor perusahaan tersebut dapat dilakukan tanpa persetujuan impor dan tanpa dikenai kewajiban verifikasi. Dalam surat tersebut tertera tanda tangan dan nama Indrasari Wisnu Wardhana, yang kala itu menjabat Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya memang menyatakan adanya pengecualian aturan main jika baja yang diimpor untuk keperluan instansi pemerintah. Pengecualian juga bisa diberikan terhadap impor baja untuk pembangunan. Untuk mendapatkan pengecualian itu, importir harus mengantongi penjelasan dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.
Surat penjelasan yang dikantongi Jaya Arya tersebut menyebutkan perseroan mengimpor besi dan baja untuk proyek pembangunan jalan dan jembatan tol Solo-Kertosono. Surat itu juga mencantumkan informasi adanya kerja sama antara Jaya Arya dan PT Waskita Karya (Persero) untuk pengadaan tersebut sejak 5 Desember 2016.
Dari situ, kecurigaan petugas bea-cukai mulai muncul. Pasalnya, jalan bebas hambatan yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional jalan tol Trans Jawa tersebut sudah kelar sejak akhir 2018. Lantas bagaimana surat berkop Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, yang berisi pengecualian aturan impor terhadap Jaya Arya Kemuning, masih juga diterbitkan pada medio 2020?
Pertanyaan serupa ada di kepala petugas bea-cukai. Menurut Syarif Hidayat, kantornya sempat meminta konfirmasi atas surat penjelasan tersebut kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Tiga surat dilayangkan masing-masing pada Oktober, November, dan Desember tahun lalu. “Hingga saat ini belum memperoleh jawaban dari Ditjen Daglu," ujar Syarif.
Operator mengoperasikan alat berat pada proyek pembangunan jalan tol Batang-Semarang, di Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Maret 2017. ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Upaya Tempo meminta klarifikasi surat pengecualian tersebut kepada Kementerian Perdagangan juga tak menemukan jawaban yang pasti. Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto meminta permohonan konfirmasi ditujukan langsung kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. “Atau Pak Wisnu yang lebih tahu,” tutur Suhanto. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi tak juga merespons permohonan wawancara konfirmasi Tempo sejak Kamis, 11 Maret lalu.
Adapun Indrasari Wisnu Wardhana, yang kini menjabat Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Perdagangan, mengatakan aturan pengecualian ketentuan impor dan kriteria untuk mendapatkannya diatur dalam peraturan Menteri Perdagangan.
Walau begitu, dia belum bisa memastikan kebenaran surat pengecualian yang nomor dan salinan dokumennya juga dikirimkan oleh Tempo. “Saya akan minta tolong teman-teman di Ditjen Daglu untuk cek dengan file arsip di sana,” kata Wisnu saat dihubungi, Jumat, 12 Maret lalu.
Menurut Wisnu, surat administrasi dan penjelasan atas pelaksanaan peraturan tidak masuk sistem perizinan. Tapi, hingga Sabtu, 13 Maret lalu, Wisnu tak kunjung memberikan klarifikasi lanjutan dan tidak merespons panggilan Tempo.
•••
KISRUH baja impor berbekal surat pengecualian membuka tabir keberadaan warkat serupa di tangan sejumlah perusahaan lain. Setidaknya lima importir, yakni PT Duta Sari Sejahtera, PT Intisumber Bajasakti, PT Prasasti Metal Utama, PT Bangun Era Sejahtera, dan PT Perwira Adhitama Sejati, kedapatan punya “surat sakti” yang sama. Nomor suratnya pun berurutan, tertanggal 26 Mei 2020, berbarengan dengan warkat milik Jaya Arya Kemuning.
Kelima perusahaan tersebut juga punya kesamaan urusan: mengimpor besi dan baja untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur. Bedanya ada pada detail proyek dan kontraktor pelaksananya.
Surat penjelasan pengecualian ketentuan impor besi dan baja untuk PT Duta Sari Sejahtera, misalnya, menyebutkan perseroan menjalin kerja sama dengan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk untuk pengadaan proyek pembangunan jembatan dan jalan tol Batang-Semarang. Perjanjian tersebut diteken pada 15 Desember 2016.
Surat pengecualian berkop Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri pada 26 Mei 2020 mengenai pengecualian izin impor besi baja oleh PT Jaya Arya Kemuning.
Perjanjian pengadaan untuk proyek yang digarap Wijaya Karya juga tertulis dalam surat kepada PT Perwira Adhitama Sejati dan PT Prasasti Metal Utama, masing-masing diteken pada 2 November 2016 dan 1 Februari 2017. Besi dan baja yang diimpor Perwira Adhitama disebut digunakan untuk pengerjaan “Elevated Road Segmen I pada Pelaksanaan Jalan Nasional Metropolitan Makassar”. Adapun barang impor Prasasti dipakai untuk pembangunan pengendali banjir box culvert dan Jembatan Kaligawe di Semarang.
Lain lagi dengan surat untuk PT Intisumber Bajasakti, yang menyatakan besi dan baja impor akan dipakai untuk pembangunan jaringan pipa gas bumi Muara Karang di Bekasi, Jawa Barat, dan Gresem di Semarang yang dilakoni PT Pertamina Gas. Kedua perseroan disebutkan telah meneken perjanjian pada 14 November 2016. Sedangkan importasi PT Bangun Era Sejahtera dilakukan atas kerja sama dengan PT Nindya Karya untuk pembangunan jalan dan jembatan jalan lintas selatan ruas Ploso-Sirnoboyo Pacitan yang diteken pada 7 November 2016.
Seperti halnya kecurigaan terhadap PT Jaya Arya Kemuning, proyek-proyek yang disebutkan melatarbelakangi adanya “surat sakti” tersebut ditengarai telah kelar sejak jauh hari. Rampungnya pembangunan jalan tol Batang-Semarang, misalnya, diresmikan langsung Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2018. “Ada dugaan besi dan baja impor itu masuk tidak sesuai dengan peruntukannya yang semestinya untuk proyek,” kata sumber Tempo yang mengetahui penelusuran dokumen oleh otoritas bea-cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ucap dia, berkepentingan dalam masalah ini lantaran selama ini kebijakan pembatasan terhadap impor besi dan baja diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri. Sejak 2016, nilai impor sektor ini terus melonjak. Banjir barang impor dituding sebagai penyebab perang harga hingga memicu penurunan tingkat utilisasi pabrik baja dalam negeri. Pada 2019, impor besi dan baja menjadi salah satu penyumbang terbesar defisit perdagangan yang berdampak pada pelebaran defisit transaksi berjalan.
Tempo berupaya meminta konfirmasi atas sejumlah perjanjian kerja sama tersebut kepada Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Nindya Karya. Dihubungi pada Jumat, 12 Maret lalu, Direktur Utama Nindya Karya Haedar Karim mengatakan masih perlu mengecek perjanjian yang dimaksudkan kepada anak buahnya di bagian operasi. Namun, hingga Sabtu, 13 Maret, Haedar tak kunjung memberikan klarifikasi dan tak merespons panggilan Tempo.
Konfirmasi dari Haedar baru diterima pada Ahad sore, 14 Maret 2021. Menurut Haedar, rekanan Nindya Karya untuk pengadaan pancang baja pada proyek Jembatan Grindulu yang menghubungkan wilayah Ploso dan Sirnoboyo di Pacitan adalah PT Steel Pipe Industry of Indonesia (Spindo). Di proyek yang sama, kata dia, penyedia tiang pancang beton (spun pile) adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Sedangkan penyedia balok girder adalah PT Adhimix Precast Indonesia. "Tidak ada daftar rekanan terseleksi (atas nama) PT Bangun Era Sejahtera," kata Haedar.
Corporate Secretary Waskita Karya Ratna Ningrum menyatakan hal yang sama dengan alasan baru menjabat. “Dicari tahu dulu,” tutur Ratna, Jumat, 12 Maret lalu. Adapun Corporate Secretary Wijaya Karya Mahendra Vijaya tak merespons ketika dihubungi pada hari yang sama.
Surat permohonan wawancara juga dilayangkan ke alamat para importir tersebut untuk memohon klarifikasi atas surat pengecualian temuan bea-cukai. Namun, hingga Sabtu, 13 Maret lalu, permohonan tersebut tak berbalas. Begitu pula upaya konfirmasi ke sejumlah pengurus perusahaan lewat panggilan telepon, yang belum membuahkan hasil.
Petugas bea-cukai mencurigai adanya pemain yang saling berjejaring dalam modus impor baja berkedok surat pengecualian ini. Kecurigaan itu lagi-lagi datang dari latar belakang perusahaan yang mengantongi surat sakti tersebut.
Kecurigaan itu bukannya tanpa alasan. Penelusuran Tempo terhadap sejumlah dokumen importir dan pendirian perusahaan mendapati indikasi serupa. Alamat kantor dalam sejumlah dokumen PT Duta Sari Sejahtera, misalnya, tercatat di Jalan Agung Niaga V Blog G.6 Nomor 28. Alamat itu juga tertulis sebagai domisili Budi Hartono Linardi, yang dalam akta perusahaan PT Jaya Arya Kemuning pernah tercatat sebagai pemegang saham sekaligus direktur perseroan.
Di sisi lain, akta pendirian perusahaan PT Duta Sari Sejahtera justru menggunakan alamat Jalan Gatot Subroto Km 5 Nomor 67, Kelurahan Keroncong, Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten. Jalan yang sama dengan nomor 68 menjadi alamat PT Bangun Era Sejahtera.
Kepada Tempo, seorang pelaku bisnis baja menyebut Budi Hartono Linardi sebagai pengusaha yang lama bergelut di sektor perdagangan. Lama berkiprah di bisnis logistik dan kargo, Budi dikenal jago mengurus berbagai masalah yang dihadapi importir, terutama dalam urusan kepabeanan.
Nama Budi pula yang tercatat mewakili Jaya Arya Kemuning ketika perusahaan dua kali bersengketa dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Pengadilan Pajak pada 2018. Perkara ini berlanjut hingga ke Mahkamah Agung pada 2019, berakhir dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali Jaya Arya.
Namun nama Budi sebagai pemegang saham dan direktur perseroan tak lagi tercatat dalam perubahan terakhir akta perusahaan pada September 2020. Setahun sebelumnya memang terjadi peralihan saham besar-besaran di Jaya Arya dengan masuknya Liwa Supriyanti sebagai pemegang saham mayoritas sekaligus direktur utama.
Tempo berupaya menghubungi Budi Hartono ke beberapa nomor kontak, termasuk nomor dengan kode area Hong Kong. Namun panggilan dan pesan tertulis yang dikirim sama sekali tidak direspons. Salah satu pegawainya di Meraseti Group menolak menyampaikan pesan dengan alasan sudah satu bulan tidak ke kantor. Sumber Tempo mengakui Budi kerap berganti nomor telepon seluler.
Sejumlah pertanyaan konfirmasi Tempo tak dijawab Liwa Supriyanti. Perempuan yang juga duduk sebagai direktur di PT Gunung Inti Sempurna ini menyatakan telah mengakuisisi Jaya Arya. “Di tengah pandemi Covid-19, seharusnya ekonomi didukung, bukan dihambat impor. Tidak ada kerugian negara. Itu yang menjadi concern kami,” ujar Liwa melalui pesan tertulis, Jumat, 12 Maret lalu.
Dia membenarkan kabar bahwa perusahaannya melayangkan surat permohonan pembatalan BCF 1.5 atas 238 gulung lembaran baja galvalum pada Februari lalu. Dalam suratnya, Jaya Arya memberikan surat kuasa kepada perusahaan penyedia jasa kepabeanan, PT Aberu Cahaya Semesta.
Pembatalan status ini agaknya bisa membuat kisruh tersebut berbuntut panjang. Belum juga masalah surat sakti ini ditangani, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok justru merilis surat persetujuan pengeluaran barang tertanggal 3 Maret 2021. Baja impor milik Jaya Arya tercatat dipindahkan ke Pusat Logistik Berikat Top Jaya Antariksa Electronics, Cakung, Jakarta Timur. Kantor Bea-Cukai Tanjung Priok enggan berkomentar tentang kronologi pengeluaran baja impor milik Jaya Arya ini. “Untuk wawancara sudah ditangani Direktorat Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga, kantor pusat,” kata Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Max Franky Karel Rori, Jumat, 12 Maret lalu.
AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM
Konfirmasi dari Direktur Utama PT Nindya Karya Haedar Karim yang tertulis pada paragraf ke-24 berita ini ditambahkan pada Ahad, 14 Maret 2021, pukul 22.04 WIB.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo