Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Simalakama Olimpiade Tokyo

Pemerintah Jepang berkeras menggelar Olimpiade, meski masih berjibaku dengan pandemi Covid-19. Masyarakat menolak karena khawatir akan meningkatkan jumlah kasus.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Jepang akan membuka Olimpiade pada 23 Juli mendatang.

  • Melonggarkan aturan pembatasan aktivitas di Kota Tokyo yang menjadi tuan rumah olimpiade.

  • Banyak warga Jepang, terutama pekerja medis, menolak penyelenggaraan olimpiade karena khawatir infeksi Covid-19 meluas.

KEKHAWATIRAN membayangi Mami Hamada menjelang pelaksanaan Olimpiade di Tokyo yang akan dibuka pada 23 Juli mendatang. Ibu dua anak itu tak habis pikir dengan sikap pemerintah Jepang yang berkeras menggelar kompetisi olahraga sedunia tersebut di tengah pandemi Covid-19. Hamada, seperti warga Jepang lain, sedang berusaha keras menjaga diri, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya dari penularan penyakit akibat virus corona itu. “Rasanya kecewa, ya. Kegiatan sekolah anak-anak banyak yang dibatalkan, tapi acara besar itu malah tetap digelar,” kata Hamada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam situasi normal, Olimpiade akan menjadi pesta besar. Bagi Hamada yang tinggal di Provinsi Tokushima, Pulau Shikoku, Olimpiade adalah kesempatan untuk mudik ke rumahnya di Tokyo dan bertemu dengan keluarga dan kawan-kawannya. Apa daya, pandemi mengubah segalanya. “Sekarang saya yakin tidak bisa mudik ke Tokyo,” tutur Hamada kepada Tempo lewat sambungan telepon pada Kamis, 17 Juni lalu. “Kami harus menahan diri supaya angka kasus Covid-19 tidak naik lagi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan dari Tokushima ke Tokyo sekitar satu jam dengan pesawat terbang. Terakhir kali Hamada pulang adalah pada 2018. Kini Tokyo menjadi salah satu wilayah di Jepang yang mengalami pembatasan paling ketat. Di Shikoku, menurut Hamada, pembatasan aktivitas sudah diperlonggar. Hanya ada satu kasus infeksi di pulau yang berada di barat daya Tokyo tersebut. “Kerja sudah seperti biasa, sekolah sudah dibuka, tapi kegiatan pesta olahraga anak-anak atau tamasya masih dibatasi,” ujarnya.

Hamada menolak Olimpiade digelar di tengah pandemi. Apalagi masyarakat belum mendapat kejelasan soal protokol kesehatannya. Kondisi itu, menurut Hamada, membuat masyarakat semakin bingung. Kawan kerjanya yang sudah membeli tiket menonton Olimpiade bahkan bingung karena tak ada petunjuk boleh datang ke Tokyo atau tidak. “Di tempat kami, iklan Olimpiade saja jarang,” ucapnya.

Mohammad Jakfar Idrus, warga Indonesia yang mengajar di Kokushikan University, Tokyo dan tinggal di Kota Kawagoe, Saitama, menyebut pembatasan aktivitas membuat masyarakat prihatin dengan nasib orang lain yang usaha atau pekerjaannya terkena dampak pandemi. Urusan menggelar Olimpiade dengan membatasi jumlah penonton atau bahkan tanpa penonton pun masih menjadi perdebatan. “Mereka merasa kalau menggelar pesta, termasuk Olimpiade, bisa menyinggung masyarakat. Banyak yang mempertanyakan di mana sense of crisis-nya,” tuturnya.

Pemerintah Jepang tetap akan menggelar Olimpiade, yang seharusnya digelar tahun lalu, meski pandemi belum usai. Pada Mei lalu, laju angka penularan Covid-19 sempat mencapai 7.000 kasus per hari. Dalam dua pekan terakhir, angka kasus harian Covid-19 di Negeri Matahari Terbit sudah menurun sekitar 48 persen menjadi rata-rata 1.600 kasus per hari. Vaksin yang sudah diberikan ke masyarakat pun mencapai 26 juta dosis. Hal itu menjadi pertimbangan pemerintah Perdana Menteri Yoshihide Suga untuk melonggarkan status darurat yang berakhir pada 20 Juni.

Pembatasan aktivitas di Tokyo juga akan dikendurkan sebulan sebelum pembukaan Olimpiade. Suga menyatakan pemerintah akan mengambil langkah tegas jika laju infeksi virus naik lagi. “Kami akan meneruskan vaksinasi dan berusaha mencegah infeksi menyebar lagi,” ujar Suga, seperti dilaporkan The Guardian, Kamis, 17 Juni lalu.

Warga Jepang memprotes penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 di tengah wabah virus corona, di sekitar Olympic Stadium (Stadion Nasional) di Tokyo, Jepang, 9 Mei 2021. Kyodo/via REUTERS

Keputusan pemerintah itu menuai protes. Masyarakat, terutama di Kota Tokyo, menggelar demonstrasi untuk menolak acara tersebut. Sekitar 10 ribu dari 80 ribu relawan Olimpiade bahkan sudah mengundurkan diri karena khawatir dengan situasi pandemi.

Menurut Shohei Senaha, mahasiswa Kokushikan University di Machida, Tokyo, situasi pandemi di negeri itu masih berbahaya. Banyak petugas medis, rumah sakit, dan pakar Covid-19 di Jepang menolak penyelenggaraan Olimpiade karena risiko infeksi Covid-19. “(Mereka) takut pandemi di Jepang dan medis kolaps,” ucap Senaha dalam pesan elektroniknya kepada Tempo pada Jumat, 18 Juni lalu.

Senaha tak ingin Olimpiade digelar dalam kondisi sulit seperti saat ini. Pemerintah dan panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo berencana menggelar perlombaan tanpa penonton atau membatasi pengunjung sebanyak 10 ribu orang. Namun Senaha tetap khawatir virus menyebar lagi jika Olimpiade dilangsungkan. “Saya berharap pemerintah memprioritaskan kesehatan warga dan situasi di Jepang,” katanya.

Penolakan atas Olimpiade sudah berlangsung lama. Para penentang Olimpiade sebelumnya juga membuat petisi daring yang telah meraup lebih dari 350 ribu tanda tangan. Petisi bertajuk “Stop Olimpiade Tokyo” itu dibuat oleh pengacara terkenal Jepang, Kenji Utsunomiya. “Laporan media memberi tekanan untuk Komite Olimpiade Internasional (IOC), pemerintah Jepang, dan panitia penyelenggara,” ucap Utsunomiya, seperti dilaporkan Associated Press. “Saya senang membuat petisi ini, tapi rasanya perlu puluhan juta tanda tangan agar dampaknya terasa.”

Asahi Shimbun, surat kabar Jepang yang menjadi mitra resmi Olimpiade Tokyo, bahkan sampai membuat tulisan opini yang isinya mendesak agar perhelatan olahraga ini dibatalkan saja. Menurut media itu, keselamatan publik bukan hal yang bisa dipertaruhkan demi sebuah acara, meski penyelenggara sudah menjamin keamanannya.

Kritik juga datang dari tenaga kesehatan. Dalam surat terbuka kepada Perdana Menteri Yoshihide Suga pada pertengahan Mei lalu, Asosiasi Praktisi Medis Tokyo menyatakan bahwa para pekerja medis sudah kewalahan. Kepala Persatuan Dokter Jepang Naoto Ueyama bahkan mengingatkan risiko munculnya galur baru virus corona. “Semua mutasi virus yang ada di berbagai tempat bisa terkonsentrasi di Tokyo,” tutur Ueyama, seperti dilaporkan Japan Times. “Jika itu terjadi, ia akan memicu tragedi besar yang akhirnya menjadi sasaran kritik, bahkan untuk 100 tahun mendatang.”

Para perawat juga menyampaikan keberatan mereka ketika penyelenggara Olimpiade mengumumkan bahwa mereka membutuhkan 10 ribu pekerja medis untuk membantu acara tersebut. Permintaan itu dinilai tidak sensitif. Sekretaris Jenderal Federasi Persatuan Pekerja Medis Jepang Susumu Morita mengatakan fokus mereka seharusnya diarahkan untuk menangani pandemi, bukan Olimpiade.

Kentaro Iwata, pakar penyakit menular dari Kobe University, mengatakan Jepang sebenarnya tak siap menggelar acara besar di tengah tekanan pandemi. Dia ragu atas kemampuan Jepang untuk melawan Covid-19 seraya menyambut ribuan atlet, pelatih, dan awak media yang datang dari berbagai penjuru dunia. “Dunia juga sebetulnya sama saja, tidak siap,” ujar Iwata kepada USA Today.

Kesepakatan yang dibuat Komite Olimpiade Internasional dan Jepang membuat pemerintah tak bisa membatalkan Olimpiade secara sepihak. Wakil Presiden IOC John Coates memastikan Olimpiade tetap dilangsungkan meski Jepang berada dalam situasi darurat Covid-19. Para pejabat pemerintah juga berhenti membahas apakah Olimpiade perlu disetop atau tidak setelah Perdana Menteri Suga menegaskan keinginannya untuk menggelar kompetisi olahraga tersebut dalam pertemuan Kelompok 7 (G7) di Inggris pada pekan lalu.

Menurut Ketua Dewan Penasihat Pemerintah untuk Pandemi Covid-19 Shigeru Omi, melarang masyarakat Jepang menonton perlombaan adalah opsi dengan risiko paling rendah. Pemerintah juga sudah melarang para suporter dari luar negeri datang ke Tokyo. “Pergerakan dan interaksi orang-orang selama Olimpiade dapat memicu risiko penyebaran infeksi yang nantinya membebani sistem kesehatan,” ucap Omi, seperti dilaporkan Reuters.

Mami Hamada berharap warga Jepang tidak datang ke Tokyo untuk menonton Olimpiade demi menjaga kesehatan diri dan keluarga mereka. Menurut dia, anak-anaknya tahu Olimpiade digelar di Tokyo, tapi tak ingin menonton karena takut tertular Covid-19. “Kami sudah menahan diri untuk tidak mudik selama 1,5 tahun terakhir ini supaya pandemi tak meluas,” kata Hamada. “Kalau Olimpiade itu memang harus digelar, masyarakat menonton di televisi saja.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, REUTERS, JAPAN TIMES, BBC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus