Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keresahan mengular di pasar-pasar akibat kabar rencana pajak sembako.
Dalih revisi atas nama optimalisasi penerimaan dan keadilan.
Kekhawatiran terhadap rencana revisi Undang-Undang KUP juga dirasakan pegiat pendidikan.
SEPEKAN terakhir, kabar bahwa pemerintah akan memungut pajak barang kebutuhan pokok menjadi bahan pergunjingan di antara pedagang Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan. Hingga Jumat, 18 Juni lalu, topik ini masih meramaikan blok utara, lantai 2. Pagi itu, pemilik kios dan penjaga lapak barang kebutuhan pokok berkerumun membicarakannya di lorong pasar yang lengang. “Kami khawatir pasar akan makin sepi,” kata Muhammad Zulkhaidin, salah satu penjual kebutuhan pokok, mengungkapkan keresahan para pedagang di pasar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zulkhaidin, yang telah enam tahun menjual barang kebutuhan pokok di Pasar Tebet Barat, pantas risau. Selama pandemi Covid-19, penjualan seret. Pasar sepi bak mati suri. Seperti Jumat itu, mendekati pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, jumlah pembeli yang datang masih bisa dihitung dengan jari. Sebelum virus corona mewabah, Zulkhaidin menuturkan, omzet penjualannya bisa menembus Rp 6 juta per hari. “Sekarang paling banter sekitar Rp 3 juta,” ucap pria 39 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia khawatir rencana pemungutan pajak tak hanya menaikkan harga barang kebutuhan pokok, tapi juga mengerek naik harga barang-barang lain. “Orang makin malas berbelanja,” ujar Zulkhaidin.
Rencana pajak barang kebutuhan pokok yang dibicarakan pedagang itu bersumber dari draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang beredar beberapa waktu terakhir. Diusulkan pemerintah, RUU ini masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dan akan segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Jika disahkan, RUU KUP akan mengubah sejumlah undang-undang, di antaranya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-PPnBM). Salah satu yang diubah adalah Pasal 4A ayat 2 yang berisi daftar kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. RUU KUP menghapus barang kebutuhan pokok dari daftar tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (berbaju putih) saat berkunjung ke Pasar Santa, Jakarta Selatan, 14 Juni 2021. Foto: Instagram @smindrawati
Mendadak sontak rencana itu menuai beragam tanggapan. Seperti halnya di Pasar Tebet Barat, keresahan pedagang terasa di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Sri, pedagang aneka bumbu kering dan basah di pasar itu, khawatir ketentuan pajak ini akan berdampak sampai ke level importir. “Para importir bahan pokok, seperti bawang bombai, bisa mengurangi stoknya bila tren permintaan di pasar turun akibat kenaikan harga,” ucap perempuan 55 tahun itu, Jumat, 18 Juni lalu.
Protes terhadap pajak sembako—istilah yang mencuat di tengah kegaduhan RUU KUP ini—bermunculan, memenuhi pemberitaan dan media sosial. Sejumlah asosiasi pedagang hingga perkumpulan nelayan mendesak pemerintah membatalkan niat menghapus barang kebutuhan pokok dari daftar barang tak kena PPN. “Ini bisa berdampak sangat signifikan bagi pemasaran produk hasil bumi,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Kelompok Tani Nelayan Andalan Nasional Zulharman Djusman.
Seakan-akan berupaya meredam kekhawatiran pedagang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tiba-tiba muncul di Pasar Santa, yang berjarak tak sampai 2 kilometer dari kompleks rumah dinas menteri Widya Chandra, Jakarta Selatan. Momen kunjungan itu disebarluaskan via akun Instagram miliknya, @smindrawati, Senin, 14 Juni lalu. Dalam potongan video, Menteri Sri Mulyani terlihat menjawab pertanyaan dari seorang pedagang bumbu dapur tentang rencana pajak barang kebutuhan pokok. “Memang Ibu kena pajak? Padahal aku enggak ngambil pajak. Enggak ada PPN sekarang. Yang barang-barang untuk rakyat ini tidak dikenain,” tuturnya.
Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah tidak mengenakan pajak sembako di pasar tradisional. Ia pun meyakinkan bahwa pemerintah tidak akan asal memungut pajak hanya untuk penerimaan negara. “Namun disusun untuk melaksanakan asas keadilan,” ujarnya.
•••
RANCANGAN Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebenarnya merupakan rencana perubahan kelima terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun revisi kali ini bersifat sapu jagat alias omnibus law, hendak mengubah beberapa undang-undang sekaligus. Selain terhadap Undang-Undang KUP, perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Cukai.
RUU ini sudah memantik kegaduhan pada pertengahan Mei lalu, ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa salah satu isi rancangan undang-undang baru itu adalah rencana penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II. Kritik muncul lantaran pemerintah dianggap tak belajar dari kegagalan tax amnesty jilid I pada 2016-2017 dan hanya mengamini usul pengusaha.
Kali ini permasalahan mencuat dari rencana perubahan Undang-Undang PPN-PPnBM, terutama Pasal 4 yang memuat jenis barang dan jasa yang tak dikenai PPN. Draf RUU KUP menghapus barang kebutuhan pokok dalam Pasal 4A ayat 2. Dalam Pasal 4A ayat 3, sejumlah jasa yang sebelumnya tak dikenai PPN juga dicoret, di antaranya, yang paling menarik perhatian, jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, dan pendidikan.
Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, yang antara lain membidangi keuangan, Kamis, 10 Juni lalu, Menteri Sri Mulyani Indrawati menyinggung rencana reformasi sistem PPN dalam RUU KUP. Sistem yang berlaku saat ini dinilai kurang memenuhi rasa keadilan, terlalu banyak mengandung pengecualian dan fasilitas pajak yang tidak efektif. Akibatnya, negara sulit meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan pendapatan.
Sri Mulyani membandingkan kinerja PPN Indonesia dengan sejumlah negara lain. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Thailand dan Singapura. Di dunia, Indonesia pun masih tertinggal dibanding Afrika Selatan dan Argentina.
Menurut dia, kebijakan pengecualian serta fasilitas pajak terhadap barang dan jasa saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok masyarakat yang mengonsumsinya. Sri Mulyani mencontohkan, beras, daging, jasa kesehatan estetika, serta pendidikan, apa pun jenis dan harganya, tidak dikenai PPN. Padahal konsumennya memiliki daya beli yang berbeda. “Mengingat orang yang mampu justru tidak membayar pajak saat mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN,” kata Sri Mulyani. Artinya, menurut dia, fasilitas yang ada sekarang tidak tepat sasaran.
Karena itu, pemerintah berencana mengubahnya. Barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak, yakni kelas menengah ke bawah, akan dikenai tarif lebih rendah. Sebaliknya, barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok ekonomi atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. “Dengan demikian, yang mampu menyubsidi yang kurang mampu,” ujar Sri Mulyani.
Penjelasan Sri Mulyani senapas dengan rekomendasi Bank Dunia, pertengahan tahun lalu. Organisasi keuangan internasional yang juga diawaki Sri Mulyani sebagai direktur pelaksana pada 2010-2016 itu meminta pemerintah Indonesia mengurangi fasilitas pengecualian terhadap ketentuan PPN. Bank Dunia menilai belanja perpajakan (tax expenditure) akibat fasilitas pengecualian PPN terhadap komoditas tertentu lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang warga kelas bawah. “Sebagian besar pengecualian pajak ini dinikmati oleh rumah tangga yang lebih kaya dan jika dihapuskan akan mengurangi ketimpangan,” demikian dituliskan Bank Dunia dalam publikasi berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results” pada 23 Juni 2020.
Dalam hitungan Bank Dunia, biaya fiskal untuk mengatasi dampak penghapusan pengecualian PPN hanya sekitar 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebaliknya, penghapusan pengecualian PPN ini bisa memberikan keuntungan fiskal 0,4 persen dari PDB. Artinya, ada laba fiskal—untuk negara—sebesar 0,2 persen dari PDB. Sebagian tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk mengurangi tekanan ekonomi yang dialami 40 persen masyarakat termiskin di Indonesia, di antaranya melalui bantuan tunai.
•••
TOH, dalih optimalisasi penerimaan negara dan rasa keadilan tak cukup untuk meredam kekhawatiran banyak kalangan terhadap rencana perubahan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang diusung dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Bukan hanya soal pajak sembako, protes mencuat lantaran RUU KUP juga menghapus jasa pendidikan dari daftar jasa yang tak dikenai PPN.
Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Didik J. Rachbini, menilai tidak sepantasnya pendidikan dikenai pajak. Ia mengatakan, meski rasio pajak terhadap produk domestik bruto Indonesia merosot dan jauh tertinggal dibanding sejumlah negara tetangga, pemerintah semestinya tak gelap mata. DPR pun, kata dia, tidak boleh sewenang-wenang menyetujui usul itu. “Tabrak sana-sini, tanpa melihat esensi.”
Didik mengingatkan, pendidikan adalah alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sarana bisnis. Menurut dia, penyelenggara pendidikan selama ini mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat, tanpa bantuan pemerintah. Padahal, dia menambahkan, mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya merupakan tugas negara. “Masyarakat membantu, tidak dibantu negara. Pemerintah mengenakan pajak, itu menindas. Anggaran tidak disiasati dengan begitu,” ucapnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi juga berharap pemerintah tak mengatasi kesulitan keuangan negara dengan menarik PPN dari sektor jasa pendidikan. “Maksimalkan dari sektor lain,” tutur Unifah. Menurut dia, saat ini sejumlah sekolah swasta tengah megap-megap akibat menurunnya daya beli masyarakat. “Kami minta tolong dikaji lagi, dibatalkan, karena masyarakat sedang sangat susah.”
Staf Khusus Kementerian Keuangan Bidang Komunikasi Yustinus Prastowo berharap publik tak keliru menafsirkan RUU KUP. Dia mengatakan tak semua item barang dan jasa, misalnya barang kebutuhan pokok, akan dikenai PPN ketika kelak RUU KUP disahkan. Pemerintah, dia menerangkan, bisa mengatur jenis-jenis kebutuhan pokok yang tarif pajaknya dinihilkan lewat aturan turunan berbentuk peraturan pemerintah (PP). “Melalui PP kita bisa melakukan pengecualian, mana kebutuhan pokok yang di-exclude sehingga tidak kena PPN. Bisa diatur di PP, dan itu dikonsultasikan dengan DPR,” kata Prastowo dalam diskusi online, Jumat, 18 Juni lalu.
Rencananya, surat Presiden Joko Widodo berisi rencana pembahasan sejumlah rancangan undang-undang, termasuk RUU KUP, akan dibacakan dalam rapat paripurna DPR, Selasa, 22 Juni, pekan ini. “Selanjutnya, diputuskan bahwa RUU ini akan dibahas di Komisi XI,” ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi NasDem, Fauzi Amro, Jumat, 18 Juni lalu.
RETNO SULISTYOWATI, FRANCISCA CHRISTY ROSANA, CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo