Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Satu Haluan Banyak Agenda

Pembahasan pokok-pokok haluan negara belum mencapai titik temu. Bisa dipakai untuk memakzulkan presiden.

19 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembahasan amendemen UUD 1945 masuk ke dalam posisi hukum pokok-pokok haluan negara.

  • Ada tiga opsi soal haluan negara: mengubah konstitusi, membuat Ketetapan MPR, dan mengajukan Undang-Undang.

  • Menggaet aspirasi amendemen konstitusi, politikus bersafari ke kampus-kampus.

DI hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Badan Pengkajian, Sjarifuddin Hasan mempertanyakan fungsi pokok-pokok haluan negara dalam rapat pembahasan kelanjutan rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945, awal Mei lalu. Wakil Ketua MPR itu menentang gagasan seorang peserta rapat bahwa presiden tak wajib mematuhi pedoman pembangunan negara. “Untuk apa ada haluan negara dalam konstitusi kalau tidak dilaksanakan?” Sjarifuddin menceritakan isi rapat tersebut kepada Tempo, Selasa, 15 Juni lalu.

Politikus Partai Demokrat itu menilai acuan pembangunan negara tak harus tertulis dalam konstitusi. Dia lalu merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam dua undang-undang tersebut, kata Sjarifuddin, pemerintah tetap bisa merancang kesinambungan program tanpa mengubah UUD.

Baca: Agenda Partai dan Senator dalam Rencana Amendemen Konstitusi

Pokok-pokok haluan negara—dulunya bernama garis-garis besar haluan negara (GBHN)—merupakan ketentuan yang akan dimasukkan dalam rencana amendemen konstitusi. Sjarifuddin khawatir amendemen akan disusupi pasal selain pokok-pokok haluan negara. “Siapa bisa menjamin amendemen tak akan menyentuh pasal lain? Misalnya masa jabatan presiden,” ujar mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah itu.

Ketua Fraksi Golkar di MPR, Idris Laena, juga menilai proses amendemen konstitusi terlalu berisiko. Mencermati proses amendemen konstitusi sebelumnya, Idris menyebut MPR tak bisa mengubah pasal tertentu saja. Setiap anggota MPR, baik dari Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Daerah, memiliki hak konstitusi untuk melemparkan gagasan amendemen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Idris mencontohkan beberapa waktu terakhir mulai terdengar kabar soal perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Dia juga menyebut adanya usul untuk mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR. “Terlalu berisiko, karena semua anggota punya hak konstitusi yang melekat,” katanya.

Menurut Idris, gagasan lain yang muncul soal posisi hukum haluan negara adalah memasukkannya ke dalam ketetapan MPR. Opsi ini pernah ditempuh saat MPR membuat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Namun haluan negara itu tak berlaku seiring dengan amendemen ketiga UUD pada November 2001. Dalam perubahan konstitusi itu, pasal yang mengatur kewenangan MPR untuk menetapkan garis besar haluan negara direvisi. Pun Idris menilai opsi itu berisiko karena mewajibkan MPR merombak UUD untuk mengembalikan kewenangan lembaga itu dalam menetapkan haluan negara.

Kamrussamad, anggota Badan Pengkajian MPR, yang juga hadir dalam rapat pleno, membenarkan ada usul memasukkan topik haluan negara ke dalam undang-undang serta peraturan turunannya. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini mengingatkan masuknya haluan negara ke dalam konstitusi juga bisa menjadi buah simalakama. “Pasal yang mengatur tentang haluan negara bisa menjadi alat politik untuk menggoyang presiden,” ujarnya. Bisa saja, ujar Kamrussamad, kepala negara dimakzulkan karena program kerjanya dianggap menyimpang dari haluan negara.

Kepada Tempo pada Sabtu, 19 Juni lalu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan bahwa lembaganya hanya mengamendemen UUD secara terbatas. MPR menambahkan satu ayat pada Pasal 3 UUD 1945 yang akan memberikan kewenangan kepada MPR untuk menyusun pokok-pokok haluan negara. Ada juga penambahan ayat pada Pasal 23 yang memberikan otoritas kepada DPR untuk mengembalikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jika tak seirama dengan pokok-pokok haluan negara. “Saya cuma menjalankan rekomendasi MPR periode sebelumnya untuk mengamendemen substansi yang terkait dengan haluan negara,” tutur politikus Golkar ini.

Di Dewan Perwakilan Daerah, wacana amendemen juga hangat dibicarakan. Belakangan, DPD menginginkan amendemen memberi kesempatan agar calon presiden tak harus berasal dari kader partai. Mencuplik survei Akar Rumput Strategic Consulting pada akhir Mei lalu, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti menyebut 71,49 persen responden menghendaki calon kepala negara tak harus kader partai.

Menurut bekas Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ini, satu-satunya jalan agar DPD punya peluang mengusung calon presiden adalah mengegolkan amendemen kelima konstitusi. Sebab, peran DPD untuk terlibat dalam pemilihan presiden justru lenyap setelah empat kali amendemen UUD pada 1999-2002. “Empat amendemen sebelumnya masih banyak kekurangan dan harus kita sempurnakan,” ujar senator asal Jawa Timur ini.

Menggaet aspirasi, La Nyalla melibatkan kampus untuk menggelar diskusi, salah satunya Universitas Airlangga, Surabaya. Pada 8 Juni lalu, ia menjadi pembicara kunci dalam seminar yang diadakan Sekolah Pascasarjana Unair. Koordinator Program Studi Magister Hukum dan Pembangunan Unair Radian Salman mengatakan akademikus Unair yang terlibat dalam diskusi memberi pandangan secara ilmiah mengenai peluang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan opsi calon kepala negara dari jalur perseorangan.

Radian mengatakan diskusi itu juga ditawarkan ke empat kampus lain. Pun Forum Rektor juga dilibatkan untuk memberi masukan soal perombakan konstitusi. Ketua Forum Rektor Arif Satria mengatakan organisasinya sedikitnya sudah tiga kali diajak berdiskusi oleh MPR sejak 2020. Menurut Arif, para rektor meminta MPR merancang haluan negara yang membuat kesinambungan program kerja pemerintah.

Salah satu saran para rektor adalah mengembalikan peran MPR agar dapat menentukan acuan pembangunan negara. Terakhir bertemu Ketua MPR Bambang Soesatyo pada 28 Mei lalu, Arif menegaskan kembali usul para rektor tersebut. “Saya minta keberanian Pak Bambang untuk segera menetapkan pokok haluan negara agar masuk ke UUD,” ujar Rektor Institut Pertanian Bogor tersebut.

Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan juga bersafari ke kampus-kampus. Dia mengklaim sekadar mensosialisasi dan menjaring aspirasi dari para akademikus mengenai rencana amendemen UUD. Lebih dari lima kampus sudah disambangi mantan Menteri Koperasi ini, dari Universitas Pertahanan di Sentul, Jawa Barat, hingga Universitas Mulawarman di Samarinda, Kalimantan Timur.

Menurut Sjarifuddin, sebagian guru besar yang ditemui di kampus-kampus itu tak setuju bila pokok haluan negara dipakai sebagai alasan untuk mengamendemen konstitusi kelima kalinya. Acuan pembangunan sudah cukup dibuat dengan produk hukum berupa undang-undang. “Para akademikus mengusulkan pokok haluan negara cukup dibuat tanpa perlu mengamendemen UUD,” kata Sjarifuddin.

RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI, EGI ADYATAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus