RAMALAN Benazir Bhutto meleset. Putri mendiang PM Zulfikar Ali Bhutto ini mengatakan, pemilu Pakistan paling banyak diikuti 20% dari 34 juta pemilih. Kenyataannya, yang pergi ke kotak suara sampai 52%. Dan Presiden Zia ul-Haq menafsirkan partisipasi rakyat itu sebagai dukungan terhadap kebijaksanaan yang akan ditempuhnya, yakni, dalam waktu dekat, mengalihkan pemerintahan militer kepada sipil. Ditunda dua kali dalam tempo delapan tahun Zia berkuasa, pemilu diadakan untuk memilih 217 anggota Majelis Nasional (Parlemen) dan Dewan Daerah Untuk Majelis Nasional tampil 1291 calon, di antaranya sembilan dari 17 menteri Kabinet Zia. Meskipun para menteri itu punya sarana lengkap untuh mempengaruhi calon pemilih, ternyata rakyat tidak mudah tergoda. Buktinya, lima menteri tidah terpilih, hingga Jendera Zia terpaksa membubarkan kabinet. Kabarnya, beberapa pejabat tinggi yang ikut mencalonkan diri juga tidak terpilih. Pertanda kedudukan oposisi semakin kuat? Para pengamat belum berani memastikan. Soalnya, rakyat ternyata tidak mengacuhkan imbauan gabungan oposisi MRD (Gerakan Pemulihan Demokrasi) untuk memboikot pemilu. Lagi pula, kontak oposisi dengan rakyat boleh dikatakan terbatas bahkan tidak ada sama sekali. Bukan saja karena partai politik dilarang ikut pemilu, tapi juga karena hampir semua tokoh oposisi ditangkapi. Di samping itu, Zia tidak membolehkan rapat umum, suatu kegiatan yang sebenarnya jamak dalam pemilu. Sumber resmi menyatakan, yang ditahan tidak lebih dari 369 orang, tapi pihak oposisi menyebut 1.500 orang. Harian Fajar melaporkan, di Karachi saja 650 dijebloskan ke penjara empat hari sebelum pemilu. Tanpa oposisi dan tanpa rapat umum, pemilu di Pakistan ini bagaikan pesta demokrasi yang sepi. Para calon perorangan memang boleh berkampanye, tapi hanya di dalam rumah atau paling banter di pojok jalan. Poster-poster boleh dipasang, pengeras suara tidak dilarang, tapi tidak ada suasana jor-joran. Kejanggalan seperti itu masih dibumbui berbagai penangkapan. Tampaknya Zia memanfaatkan pemilu sekadar untuk bukti bahwa ia memenuhi janji pada rakyat. Tidak heran bila sarana demokrasi itu dipraktekkan hanya secara formal tanpa ditunjang aturan main dan penghayatan yang lebih mendasar. Tapi rakyat tidaklah lugu seperti yang dibayangkan banyak orang. Selama 23 tahun dipimpin tokoh militer (delapan tahun dibawah Zia), rakyat mulai tajam wawasannya. Seruan boikot dari oposisi tidak mereka hiraukan, sebaliknya para menteri kepercayaan Zia juga tidak mendapat tempat di hati mereka. Rakyat bahkan tidak tertarik untuk memberikan suara pada tiga calon Jemaat-i-Islami, sebuah partai pro-pemerintah dan amat getol memperjuangkan Islamisasi. Dan adalah cukup berkesan jika Menteri Penerangan & Agama Raja Zafarul Haq dikalahkan oleh calon yang tampaknya kurang meyakinkan. Zafarul Haq dikabarkan cukup dekat dengan Zia, dan diandalkan sekali untuk kampanye Islamisasi. Dengan segala kekurangannya, pemilu justru dinilai memperkuat posisi Zia ul-Haq. Partisipasi 52% itu (Zia meramalkan 40%) buktinya. Tapi masih dianggap terlalu pagi untuk mereka peta politik Pakistan sesudah pemilu ini. Soalnya, oposisi yang kecil, tapi tangguh, diduga akan muncul dalam Majelis, hingga bisa merepotkan jenderal yang lihai itu. Diperkirakan, mereka akan menuntut agar UU Keadaan Darurat segera dicabut. Apakah hal ini akan terwujud sangat tergantung bukan saja pada ketajaman strategi Zia, tapi juga pada kuat atau tidaknya posisi Zia di parlemen. Perimbangan kekuatan di Majelis Nasional kini belum diketahui. Tapi perlu dipersoalkan, sebagai Parlemen, wewenang Majelis Nasional itu apa. Adakah ia sebuah lembaga yang mandiri, berhak mengawasi dan mengontrol pemerintah? Ataukah sekadar lembaga konsultasi, tanpa wewenang yang berarti? Tampaknya Zia cenderung pada fungsi konsultasi itu, sementara wewenang eksekutif yang paling menentukan tetap terpusat di tangannya. Ia telah banyak belajar dari pendahulunya, Marsekal Ayub Khan (yang berkuasa antara 1958 dan 1969). Memang itulah yang terjadi. Yang pertama-tama dilakukan Zla ialah memperkuat kedudukannya. Dengan sebuah amendemen konstitusi yang diumumkan Sabtu berselang, kekuasaannya sebagai presiden diperluas. Berakar pada referendum Desember, yang mengabsahkan kepresidenannya untuk jangka waktu lima tahun lagi, sang jenderal tanpa segan-segan merinci tambahan wewenang itu dalam sebuah pengumuman resmi. Ditegaskannya, sebagai presiden - lewat amendemen itu nanti - ia berhak menunjuk perdana menteri, para menteri dalam kabinet, para gubernur, kepala staf, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Menurut UUD 1973, yang akan diamendir oleh Zia, perdana menteri ditunjuk oleh Majelis Nasional (Parlemen), sedangkan para menteri, gubernur, kepala staf, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata ditunjuk oleh perdana menteri. Pembagian kekuasaan seperti yang diatur UUD 1973 itu, menurut penilaian Zia, "benar-benar tidak berarti". Ditambahkannya, "Seorang perdana menteri memang seharusnya berkuasa. Tapi adalah tidak masuk akal jika seorang presiden sama sekali tidak berdaya, hingga ia benar-benar tidak efektif." Supaya bisa efektif, menurut ukuran Zia, maka kekuasaan harus lebih banyak terpusat kepadanya. Tidak heran bila Arshad Chaudhry, penjabat sekjen MRD, menanggapi gagasan amendemen itu dengan tajam. "Kekuasaan presiden begitu diperluas, hingga dia mencoba mengubah dirinya dari seorang diktator militer menjadi seorang despot sipil," kata Chaudhry. Apa kata Zia? Majelis Nasional yang baru dipilih bisa saja menolak sebagian atau seluruh amendemen yang direncanakannya. Di samping itu, ia juga memberi waktu cukup lama bagi Majelis Nasional untuk menentukan sikap terhadap amendemen tersebut. Majelis baru akan dilantik 23 Maret mendatang - masih tersisa waktu tiga pekan untuk menilai rencana Zia secara matang. Juga untuk menimbang apakah Dewan Keamanan militer-sipil dan mukadimah Islam untuk UUD 1973 - keduanya diusulkan Zia - bisa disetujui atau tidak. Apa pun penilaian Majelis, Zia tampaknya sudah membulatkan tekad. "Kami tidak mengambil kekuasaan itu justru kamilah yang memberi," kata Zia tandas. Maksudnya, hanya dengan pemerintah berkekuasaan absolut, yang dijamin UU Darurat, demokrasi bisa dihidupkan kembali. Dan bukan sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini