Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZAN magrib telah berkumandang di Masjid As Salam di kawasan Kota Nasr, Kairo, Mesir, Sabtu dua pekan lalu. Tapi masjid berkubah hijau itu masih tampak sepi. Hanya ada satu baris jemaah yang menunaikan salat. Pemandangan serupa terulang ketika salat isya.
Kondisi seperti ini sudah berlangsung lebih dari dua bulan sejak militer Mesir menangkapi mahasiswa yang dianggap mendukung bekas Presiden Muhammad Mursi. Sebelumnya, masjid yang arsitekturnya meniru Masjid Al-Quds di Yerusalem itu selalu dipadati jemaah. Paling tidak ada lima baris jemaah yang salat di masjid ini setiap waktu salat tiba.
Masjid As Salam berdiri di tengah permukiman mahasiswa Universitas Al-Azhar. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari perguruan tinggi ternama itu dan hanya 7 kilometer dari Masjid Rabaa al-Adawiyah, yang menjadi basis gerakan pendukung Mursi. "Sekarang jemaah langsung pulang setelah menunaikan salat, padahal dulu mereka masih sempat sekadar ngobrol," kata salah seorang pengunjung rutin masjid yang akrab dengan mahasiswa.
Sejak Presiden Husni Mubarak mundur pada 11 Februari 2011, masjid ini menjadi tempat berkumpulnya kelompok muda Al-Ikhwan al-Muslimun. Bahkan, setelah Mursi digulingkan militer pada 3 Juli lalu, intensitas pertemuan bertambah. Setiap pekan, tak kurang dari 1.000 pendukung organisasi itu berkumpul. "Materi pembicaraan di antaranya soal politik," ujar pria 30-an tahun itu. Ia enggan mengungkapkan jati dirinya untuk alasan keamanan.
Ia mengatakan di masjid ini pula persatuan pelajar Al-Ikhwan al-Muslimun menggelar muktamar pada 24 September 2011, yang dihadiri sekitar 3.000 orang, termasuk dari perwakilan kampus. Beberapa petinggi organisasi itu hadir. Salah satunya Ketua Dewan Syura Muhamed Badi' Mursyid.
Semenjak muncul gelombang aksi memprotes militer, setiap hari bertebaran "mabahits" (intelijen) memantau masjid itu. Militer menganggap rumah ibadah ini merupakan salah satu basis Al-Ikhwan al-Muslimun. Mahasiswa yang aktif dalam pergerakan pun memilih tiarap setelah simpatisan organisasi itu ditangkapi dan Pengadilan Kairo memutuskan Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai organisasi terlarang.
Ulama yang ikut terlibat dalam pengaderan di organisasi itu, Abdurrahman, 40 tahun, mengatakan mereka telah menghentikan pertemuan. Namun aktivitas tersebut masih dilakukan di lokasi tertutup, seperti di rumah anggota. "Pertemuan dan pengaderan tetap digelar, hanya frekuensinya dikurangi," ucapnya.
Saat Tempo berkunjung ke rumah Abdurrahman di Kairo, ia sedang mengajar tiga kader muda Al-Ikhwan al-Muslimun. Mereka adalah mahasiswa yang sedang menempuh kuliah tahun pertama dan tahun kedua. Materi yang dibahas di antaranya sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW, fikih, hadis, dan akidah akhlak. Menurut dia, tidak ada indoktrinasi atau cuci otak.
Ia mengatakan simpatisan organisasi ini diminta tak berbicara dengan sembarang orang, hanya dengan orang yang benar-benar dikenal. "Jika harus berbicara, topiknya tidak boleh menyerempet politik. Itu bahaya," kata Abdurrahman.
Ahad akhir bulan lalu, militer menangkap 80 mahasiswa dan pelajar di Kairo dan Alexandria. Salah satunya Yehia Afify, pelajar 14 tahun dari Kota Kafr al-Sheikh, yang ditangkap di sekolah dan ditahan selama sehari karena dianggap mengobarkan sentimen antimiliter. Afify adalah putra Mustafa Afify, pemimpin Al-Ikhwan al-Muslimun di kota itu. Ahmed Shawky, juru bicara kelompok pendukung Mursi, Gerakan Pemuda 6 April, mengatakan Afify adalah anggota Ultras Nahdawy, sayap organisasi yang antimiliter.
Kepada Al-Jazeera, Afify mengatakan ia telah merencanakan demonstrasi di taman bermain sekolahnya dengan siswa lain. Pelajar Sidi Fatah School di Balteem, Kafr al-Sheikh, ini juga menyebarkan pamflet antimiliter. Ia ditahan di kantor polisi Borollous, Kafr al-Sheikh, dan dibebaskan keesokan harinya karena masih di bawah umur. Menurut Shawky, Afify sempat ditahan dan diinterogasi sejumlah guru di sekolahnya sebelum diserahkan ke polisi. "Sekolah telah menjadi tangan kanan militer," ujarnya.
Shawky mengatakan militer menangkapi para mahasiswa dengan alasan keadaan darurat yang masih diberlakukan di Mesir hingga pertengahan November nanti. Namun penangkapan itu tak disertai tuduhan kejahatan yang mereka lakukan dan tak satu pun yang diajukan ke pengadilan.
Situs resmi Al-Ikhwan al-Muslimun, ikhwanweb.com, menyebutkan militer telah melebarkan sayap dengan menggunakan tangan-tangan petugas keamanan sekolah dan kampus. Mereka menggandeng sekolah setelah memberikan hibah dan pelatihan khusus dua pekan sebelum masa perkuliahan dimulai pertengahan bulan lalu.
Kementerian Kehakiman memberikan kewenangan kepada petugas keamanan kampus untuk mengumpulkan bukti dan informasi serta menginterogasi mahasiswa. Kewenangan itu hanya diberikan kepada aparat yang memiliki gelar sarjana hukum dan telah mendapat pelatihan. Penjaga kampus berada di bawah kendali kementerian, bukan kampus. Selanjutnya, mereka bisa memproses kasus ke kejaksaan. Kewenangan serupa ini pernah diterapkan rezim Mubarak.
Wakil Perdana Menteri Mesir Hossam Eissa mengatakan aparat kampus dan sekolah diberi kewenangan itu untuk melawan tindakan sabotase terhadap kampus milik negara. Menurut juru bicara Kementerian Kehakiman, Ezzat Khamis, pemerintah ingin membatasi kerusuhan dan kekerasan yang menyebabkan ratusan orang tewas dalam beberapa pekan terakhir. "Kami tak ingin ada korban lagi."
Sejumlah sekolah dan perguruan tinggi mulai melaksanakan keputusan itu. Salah satunya Universitas Ain Shams. Seperti dikutip surat kabar Al-Masry al-Youm, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Mohamed el-Toukhi mengatakan telah menunjuk tiga pejabat kampus menjalankan tugas itu. Ia mengklaim kewenangan itu digunakan hanya dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan seksual, narkotik, dan kekerasan. "Tidak ada upaya menindas mahasiswa."
Juru bicara mahasiswa Al-Ikhwan al-Muslimun, Suhaib Abdel-Maksoud, mengatakan keputusan yang dilaksanakan bersamaan dengan dimulainya tahun akademik baru itu diambil karena pemerintah takut akan munculnya gelombang protes mahasiswa. Ia khawatir kebijakan ini digunakan sebagai alat menindas mahasiswa yang memiliki afiliasi politik.
Begitu takutnya akan unjuk rasa mahasiswa, kabinet telah menyetujui Undang-Undang Antiprotes. Peraturan itu menyebutkan menteri dalam negeri berhak menentukan tempat, membatalkan, dan membatasi unjuk rasa. Yang melanggar peraturan itu terancam hukuman penjara dan denda hingga 100 ribu pound (sekitar Rp 160 juta). Kementerian Kehakiman juga sedang menyiapkan Undang-Undang Anti-terorisme. "Mereka ingin menciptakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk mengekang setiap gerakan protes di kalangan mahasiswa," ucap Abdel-Maksoud.
Ahmed Ghoneim, juru bicara Kelompok Mahasiswa Antikudeta Universitas Kairo, mengaku tak gentar terhadap cara-cara militer. Aksi menuntut pengembalian Mursi ke kursi kepresidenan dan pelepasan rekan mereka tidak akan surut. Ia mengatakan aksi akan membesar untuk memprotes pengadilan Mursi pada 4 November nanti. Mursi diadili dengan dakwaan bertanggung jawab atas kerusuhan pascakudeta militer. "Kami akan terus menggelar pembangkangan sipil seperti seruan Al-Ikhwan al-Muslimun dan bolos kuliah," ujarnya.
Hingga akhir pekan dua minggu lalu, sejumlah mahasiswa yang ditangkap pada Agustus lalu tak diketahui nasibnya. Salah satunya Ali Abdurrahman, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kairo. Ia dituding terlibat dalam kegiatan melawan militer. Ayah Ali, Amu Abdurrahman, telah menyambangi semua kantor polisi di Kairo, tapi setiap polisi yang dia temui menjawab tak tahu keberadaan putranya.
Amu mengatakan ada orang yang bersedia membantunya dengan imbalan sejumlah uang. "Butuh 10 ribu pound Mesir (hampir Rp 16 juta) untuk menebusnya."
Eko Ari Wibowo (Al-Fanarmedia.org, Al-Ahram, Daily News Egypt), Gamal El-Bana (Mesir)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo