Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang dalam Perang di Raqqa

Suriah telah menjadi palagan kompleks. Bukan hanya pertempuran antara pasukan oposisi dan tentara Assad, juga antarkekuatan bersenjata, yang sebagian milisinya datang dari negara lain.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDUL Adha, Selasa pekan lalu, tak lagi istimewa bagi Khaled Muar, penduduk Raqqa, kota di sebelah utara Suriah. Hari raya kurban yang seharusnya membawa kegembiraan bagi umat Islam ini justru membuat pusing pria paruh baya itu. "Bagaimana kami bisa berkurban jika kami adalah kurbannya?" katanya. Dia sedih karena enam anaknya tak bisa menikmati bulgur, sejenis sereal yang terdiri atas campuran beberapa jenis gandum. "Hari raya apa? Semoga Tuhan segera membebaskan kami semua dari perang ini."

Perang saudara selama 31 bulan dan krisis ekonomi membuat harga barang meroket. Khaled Muar sudah tak mampu lagi membeli hewan kurban, yang harganya meningkat tiga kali selama setahun terakhir. Situs harian Asharq al-Awsat menulis harga domba dengan berat 50 kilogram dijual sekitar 50 ribu pound sterling Suriah (sekitar Rp 5 juta). Sedangkan sapi dengan berat 200 kilogram dijual 420 ribu pound (setara dengan Rp 42 juta). "Harga itu belum termasuk biaya potong 2.000 pound (sekitar Rp 200 ribu), yang naik empat kali lipat dibanding tahun lalu," tulis harian tersebut.

Sulit dan mahalnya bahan pangan diperparah oleh perang yang terus berkecamuk di wilayah itu. Sejatinya, Raqqa yang berada sekitar 160 kilometer timur Aleppo itu sejak Maret lalu sudah merdeka dari tentara Presiden Bashar al-Assad. Kota yang berdasarkan sensus 2004 berpenduduk 220.488 jiwa—jumlah yang terbilang besar untuk Suriah—itu bisa direbut pasukan oposisi. Alih-alih menjadi wilayah pusat perlawanan, Raqqa justru jadi ajang perang antarfaksi oposisi. "Raqqa menjadi contoh apa yang terjadi di Suriah kini," kata Wakil Ketua Dewan Kota Raqqa, Abdul Hakim Mohamed, seperti ditulis Star-Telegram. "Tiap kelompok ingin berkuasa."

Beginilah yang terjadi di daerah penghasil kapas itu. Kantor pemerintah kota dikuasai Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Kehadiran milisi dari jaringan Al-Qaidah Irak ini ditandai oleh bendera hitam yang berkibar di lapangan di depan kantor. Mereka menguasai ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Dilihat dari kekuatannya, ISIS diperkirakan hanya memiliki 5.000-6.000 prajurit. Jumlah ini lebih kecil ketimbang kelompok oposisi lain, seperti Salafi Syrian Islamic Front, yang diperkirakan memiliki 15-20 ribu serdadu. Tapi satu kelebihan ISIS yang tak ­dimiliki kelompok lain adalah banyak anggotanya veteran perang di negara lain, seperti Irak, Afganistan, Yaman, dan Libya. Walhasil, mereka juga mampu menguasai Kota Al-Bab, wilayah di utara Aleppo, serta Azaz dan Jarablus, yang berdekatan dengan perbatasan Turki.

Pasukan Emir Sheikh Abu Bakr al-Baghdadi ini bukan satu-satunya penguasa di Kota Raqqa. Mayoritas urusan administrasi di Raqqa justru dipegang Brigade Harakat Ahrar ash-Sham al-Islami atau Ahrar ash-Sham. Kelompok yang dipimpin Hassan Aboud atau yang lebih dikenal dengan nama perang Abu Abdullah al-Hamawi ini mengelola fasilitas kota, seperti pembuangan sampah, air, dan bahan bakar. Mereka juga menguasai toko roti dan menjalankan distribusi makanan bagi ribuan warga.

Di bagian barat Raqqa, kelompok Jabhat al-Nusra menguasai bendungan, yang juga menjadi pembangkit tenaga listrik. Milisi pimpinan Abu Mohammad al-Golani ini menyediakan listrik 24 jam bagi penduduk Raqqa, lebih baik dibanding sebelum kota diambil alih awal Maret lalu ketika listrik hanya mengalir setengah hari.

Wilayah di tengah kota, di stasiun kereta api yang sudah porak-poranda, menjadi markas Brigade Ahfad al-Rasoul. Abu Mazin, salah satu komandan regu, mengatakan brigade memiliki 10 ribu anggota. Ia menyebut kelompoknya sebagai organisasi militer, bukan politik. Kubu ini mendapat dukungan mayoritas warga Raqqa dan berperang melawan ISIS. "ISIS mencoba menguasai semua wilayah serta memeras semua batalion dan brigade dengan pengaruhnya," ucap aktivis media Kota Raqqa, Ahmed al-Asmeh, 27 tahun. "Mereka tidak populer meski punya anggota warga lokal. Banyak di antara mereka adalah shabiha (tentara pro-rezim Assad) dan sekitar 30 persen anggotanya muhajiroun (pejuang asing)."

Palagan kian ruwet karena tentara pemerintah Suriah tak sepenuhnya terusir dari Raqqa. Pasukan Presiden Assad masih menduduki tiga titik penting di wilayah itu: bandar udara militer dekat bendungan, markas Divisi 17 di jalan masuk Raqqa, dan barak militer sekitar 30 kilometer sebelah utara kota.

Persaingan tak hanya berkisar di Kota Raqqa. Bergeser ke timur, Jabhat al-Nusra dan ISIS adu tembak dengan kelompok Popular Protection Unit (YPG), milisi etnis Kurdi, di Ras al-Ain, Provinsi Al-Hasakah, timur laut Suriah. Gesekan dengan Kurdi juga terjadi di Kota Yarubiyah, yang berbatasan dengan Irak. Hal ini terjadi karena etnis Kurdi di Suriah, yang berjumlah sekitar 2 juta jiwa, pada Juni lalu mendeklarasikan pemisahan diri dengan mendirikan Rojava atau Kurdistan Barat.

n n n

SEJAK Maret 2011, kelompok oposisi Suriah memerangi pasukan Bashar al-Assad. Namun, selama 31 bulan, mereka tak kunjung mampu melengserkan Assad dari kursi presiden. Awalnya, kelompok-kelompok oposisi memiliki satu musuh dan tujuan sama, yaitu menggulingkan Assad. Tapi tujuan mereka pasca-Assad sangat berbeda. Wadah pemikir asal Amerika Serikat, Center for American Progress, dalam laporannya, "Struktur dan Organisasi Oposisi Suriah", pada Mei 2013 menulis, "Pemberontakan bersenjata Suriah lebih tepat disebut sebagai kumpulan brigade dan batalion yang secara ideologis berbeda dan tidak terkoordinasi serta memiliki wilayah operasi yang terbatas."

Badan yang bermarkas di Washington itu menulis potensi konflik memang dimiliki Suriah sejak awal lantaran beragamnya demografi negara tersebut. Mayoritas (64 persen) penduduk Suriah adalah warga Sunni Arab, sementara Sunni Kurdi sekitar 10 persen. Alawite, pecahan Syiah yang juga pendukung utama Assad, mewakili 13 persen dari total 22 juta populasi Suriah. Adapun 10 persen lain adalah warga Kristen dan 3 persen pemeluk Druze atau Ahl al-Tawhid.

American Progress dan Swedish Institute of International Affair menulis secara struktural bahwa oposisi Suriah dipa­yungi The National Coalition of Syrian Revolution and Opposition Forces—juga dikenal dengan Koalisi Oposisi Suriah (SOC). Badan ini dibentuk November tahun lalu di Doha, Qatar. Ia terdiri atas 71 perwakilan, antara lain Syrian National Council, Muslim Brotherhood of Syria, Syrian Revolution General Commission, Local Coordination Committees, dan puluhan komite lokal. Pebisnis Ghassan Hitto ditunjuk sebagai perdana menteri serta guru, mantan komunis, dan pemimpin Syrian National Council, George Sabra, menjadi presiden.

SOC menerima dukungan politik serta dana negara Arab dan Barat, seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Meski demikian, tugasnya tak berjalan mulus. "Persoalannya, kelompok-kelompok di bawahnya hanya loyal berdasarkan bantuan dana dan senjata," tulis Ken Soferdan Juliana Shafrothdari American Progress.

Di bawah SOC, ada sayap militer The Supreme Joint Military Command (SMC). Dewan ini bertindak layaknya departemen pertahanan SOC, tapi dengan otoritas tersendiri. Komandan pemberontak seantero Suriah—sekitar 260 orang—ikut mendirikan SMC pada Desember tahun lalu. Sama seperti SOC, SMC yang dipimpin Jenderal Salim Idriss ini tak mampu menyatukan faksi-faksi yang ada.

Perpecahan internal oposisi akhirnya justru menguntungkan rezim Assad. Kini makin tak ada yang tahu kapan perang yang hingga akhir September lalu, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sudah menewaskan lebih dari 115 ribu orang itu akan berakhir. Di Foreign Policy, Kenneth Pollack dari Saban Center for Middle East Policy di Brookings Institution, Massachusetts, Washington, mengatakan hanya ada satu cara untuk mengerti dinamika militer dalam perang saudara Suriah, yaitu dengan memikirkan Jim Morrison dan kelompok musiknya, The Doors. "Mereka (pemerintah) punya senjata, tapi kami (oposisi) lebih banyak orang."

Raju Febrian (Al-Jazeera, BBC, Economist, Foreign Policy, americanprogress.org)


Kekuatan Kelompok Oposisi Suriah

The National Coalition of Syrian Revolution and Opposition Forces

The Supreme Joint Military Command

Free Syrian Army
- Koalisi 34 brigade pemberontak
- Kekuatan 50 ribu orang
- Beroperasi di sebagian besar Idlib dan Aleppo

Front Pembebasan Suriah
- 20 brigade
- Berkekuatan 37 ribu orang

Front Islam Suriah*
- 11 brigade
- Kekuatan 13 ribu orang

Kelompok lain, termasuk etnis Kurdi
- 9 brigade
- Kekuatan 15 ribu orang

Jabhat al-Nusra
- Kelompok yang terkait dengan Al-Qaidah
- Kekuatan 6.000 orang
*Bertujuan mendirikan negara Islam di Suriah

Wilayah oposisi
Aktivitas pemberontak

Wilayah rezim
Pangkalan udara yang diperebutkan

Diperebutkan
Alawite
TURKI
Qamishli
Al-Hasakah
Ar-Raqqah
Deir az-Zawr
Aleppo
Idlib
Hama
Latakia
Tartus
Homs
Palmyra
SURIAH
Qusair
LIBANON
Laut Mediterania
Damaskus
Dataran Tinggi Golan
ISRAEL
Dera'a
YORDANIA
IRAK
Sungai Efrat

Sumber: Center for American Progress, Swedish Institute of International Affair

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus